Jejak Digital

Jejak Digital
Jejak Digital (Sumber: Media Sosial)

Malam itu, di sebuah apartemen yang menghadap kilau lampJejak Digitalu kota, Anya menelusuri layar ponselnya dengan tangan yang bergetar. Notifikasi dari akun Instagram miliknya terus bermunculan. Awalnya, itu hanya komentar-komentar biasa tentang foto-foto senja yang ia unggah. Namun, beberapa hari terakhir, semuanya berubah menjadi teror yang dingin dan menusuk.

Komentar-komentar itu dimulai dengan kalimat-kalimat ambigu, seperti, “Senja yang indah… sebentar lagi akan menjadi gelap selamanya,” atau “Bayangan selalu mengintai di balik cahaya.” Anya awalnya mengira itu hanya ulah haters iseng. Namun, Kalimat tersebut terus berdatangan  dan meningkat menyerang dirinya.

“Kau tidak bisa bersembunyi, Anya. Jejakmu ada di mana-mana.”

“Setiap unggahanmu adalah peta menuju akhirmu.”

Bacaan Lainnya

Anya mulai merasa diawasi. Setiap kali ia keluar rumah, ia merasa ada mata yang mengikutinya. Ia memeriksa sekelilingnya dengan paranoid, namun Anya tidak pernah menemukan sesuatu yang mencurigakan. Teror itu hanya ada di layar ponselnya, namun dampaknya terasa begitu nyata, merayap ke dalam setiap sudut kehidupannya.

Sahabatnya, Risa, seorang jurnalis muda yang idealis, mencoba menenangkannya.

Mungkin hanya orang iseng, Anya. Jangan terlalu dipikirkan. Blokir saja akunnya.

Anya sudah mencoba memblokir beberapa akun, namun akun-akun baru terus bermunculan dengan pesan-pesan yang semakin mengerikan. Mereka seolah tahu setiap detail kehidupannya, aktivitasnya sehari-hari, bahkan percakapannya dengan Risa.

~~~~~

Suatu malam, Anya menerima pesan langsung (DM) yang membuatnya membeku ketakutan. Pesan itu berisi fotonya saat ia sedang tertidur di kamarnya beberapa hari yang lalu. Foto itu diambil dari sudut yang tidak mungkin dijangkau oleh orang lain kecuali seseorang yang masuk ke apartemennya tanpa izin. Anya melaporkan kejadian ini ke polisi. Inspektur Rahman, seorang polisi senior yang terkenal, menerima laporannya dengan serius. Namun, minimnya bukti fisik dan anonimitas pelaku di dunia maya menjadi tantangan besar.

Kami akan menyelidiki, Nona Anya. Tapi Anda juga harus berhati-hati. Jangan unggah informasi pribadi terlalu banyak di media sosial,” pesan Inspektur Rahman.

Kata-kata inspektur itu justru membuat Anya semakin takut. Bukankah seharusnya media sosial menjadi ruang untuk berbagi?

Risa, yang merasa bersalah karena awalnya meremehkan kekhawatiran Anya, mulai melakukan penyelidikan sendiri. Sebagai jurnalis, ia memiliki akses ke beberapa sumber informasi dan pemahaman tentang jejak digital. Ia mempelajari setiap unggahan Anya, setiap komentar, setiap interaksi di media sosialnya.

Ada pola, Nya,” kata Risa suatu sore saat mereka bertemu di sebuah kafe yang ramai. “Pelaku ini seolah merespons unggahanmu secara spesifik. Misalnya, saat kau mengunggah foto di pantai, beberapa jam kemudian muncul komentar tentang ombak yang bisa menyeretmu.

Risa juga menemukan bahwa beberapa akun anonim yang meneror Anya memiliki kesamaan dalam pola penulisan dan waktu aktivitas. Mereka seolah terhubung satu sama lain,  Anya mencoba mengingat-ingat, apakah ada seseorang dari masa lalunya yang mungkin menyimpan dendam? Apakah ada interaksi di media sosial yang mungkin menyinggung seseorang? Namun, pikirannya buntu oleh rasa takut dan kebingungan.

Sementara itu, teror terus berlanjut. Bukan hanya di media sosial, tetapi juga mulai merambah dunia nyata. Anya menemukan catatan-catatan aneh di depan pintunya, bunga bangkai di dalam pot tanamannya, dan suara-suara aneh di malam hari.

Inspektur Rahman dan timnya mulai melakukan penyelidikan, mencari jejak digital pelaku. Mereka melacak alamat IP, menganalisis metadata foto, dan mencoba mengidentifikasi pola aktivitas akun-akun anonim tersebut. Namun, pelaku sangat berhati-hati, menggunakan VPN dan akun-akun palsu yang sulit dilacak.

~~~~~

Suatu malam, saat Anya sedang memeriksa notifikasi di ponselnya dengan perasaan cemas, ia menemukan sebuah akun baru yang mengikuti Instagramnya. Nama akun itu adalah @MataYangMelihat. Foto profilnya hanya siluet mata yang menatap tajam.

Begitu Anya membuka profil itu, ia menemukan sebuah unggahan tunggal: sebuah video singkat yang menampilkan dirinya sedang berjalan di lorong apartemennya beberapa hari yang lalu. Video itu diambil dari kamera tersembunyi.

Ketakutan Anya mencapai puncaknya. Ini bukan lagi sekadar teror di dunia maya, tetapi ancaman nyata terhadap keselamatannya. Ia menghubungi Inspektur Rahman dengan panik.

Dia ada di dekat saya, Inspektur! Dia mengawasi saya!

Inspektur Rahman segera memerintahkan anggotanya untuk meningkatkan pengawasan di sekitar apartemen Anya. Mereka juga meminta bantuan tim siber untuk melacak akun @MataYangMelihat.

Risa, terus mencari petunjuk. Ia kembali memeriksa interaksi Anya di media sosial, kali ini lebih dalam. Ia memperhatikan satu akun yang sering memberikan komentar-komentar yang tampak biasa, namun selalu hadir di setiap unggahan Anya. Akun itu bernama @PenikmatSenja.

Awalnya, Risa tidak terlalu curiga karena namanya mirip dengan nama akun Anya. Namun, ketika ia memeriksa lebih lanjut, ia menemukan bahwa @PenikmatSenja baru dibuat beberapa minggu terakhir dan tidak memiliki unggahan sama sekali.

Baca juga: Literasi Digital: Antara Peluang dan Tantangan

Satu-satunya aktivitasnya adalah mengikuti akun Anya dan memberikan komentar-komentar yang tampak tidak berbahaya. Risa merasa ada sesuatu yang janggal. Ia mencoba mencari informasi tentang pemilik akun @PenikmatSenja, namun tidak menemukan apa pun. Akun itu benar-benar anonim.

Dengan bantuan seorang teman yang ahli di bidang IT, Risa berhasil melacak alamat IP dari beberapa komentar yang ditinggalkan oleh akun-akun anonim peneror Anya. Hasilnya mengejutkan. Beberapa alamat IP tersebut mengarah ke lokasi yang sama: sebuah warung internet (warnet) di pinggiran kota.

Risa dan tim polisi segera bergerak menuju warnet tersebut. Di sana, mereka menemukan beberapa bilik komputer yang masih menyala. Dari riwayat penjelajahan salah satu komputer, mereka menemukan jejak aktivitas akun-akun anonim yang meneror Anya.

Pemilik warnet memberikan keterangan bahwa ada seorang pemuda yang sering datang dan menghabiskan waktu berjam-jam di komputer tersebut. Pemuda itu selalu memakai topi dan masker, sehingga wajahnya sulit dikenali.

Sementara itu, tim siber berhasil melacak akun @MataYangMelihat. Alamat IP-nya mengarah ke sebuah rumah kosong di dekat apartemen Anya. Polisi segera melakukan penggerebekan.

Di dalam rumah kosong itu, mereka menemukan sebuah ruangan yang dipenuhi dengan layar monitor yang menampilkan aktivitas media sosial Anya secara real-time. Mereka juga menemukan kamera tersembunyi yang dipasang di berbagai sudut apartemen Anya.

Pelaku seolah menciptakan ruang kontrol digital untuk mengawasi setiap gerak-gerik Anya. Di salah satu sudut ruangan, polisi menemukan sebuah buku catatan. Di dalamnya tertulis kalimat-kalimat obsesif tentang Anya, rasa marah dan sakit hati yang mendalam, serta rencana-rencana teror yang semakin mengerikan.

Dari catatan itu, terungkaplah identitas pelaku: Arya, mantan teman sekelas Anya di SMA. Arya ternyata menyimpan obsesi terpendam terhadap Anya. Ia merasa ditolak dan diabaikan oleh Anya bertahun-tahun yang lalu. Ketika Anya mulai aktif di media sosial dan mendapatkan banyak perhatian, rasa iri dan dendam Arya semakin membara.

Ia menciptakan akun-akun anonim untuk meneror Anya, menikmati ketakutan dan keputusasaan yang ia timbulkan. Ia mempelajari setiap detail kehidupan Anya melalui media sosialnya, menggunakan informasi itu untuk mengintimidasinya. Pemasangan kamera tersembunyi adalah langkah terakhir dalam rencana gilanya untuk mengontrol hidup Anya sepenuhnya.

~~~~~

Saat polisi sedang mengumpulkan bukti di rumah kosong itu, mereka menerima laporan bahwa Arya terlihat di sekitar apartemen Anya. Inspektur Rahman segera memerintahkan anggotanya untuk melakukan pengejaran.

Anya, yang merasa trauma dan marah, memutuskan untuk tidak bersembunyi lagi. Ia ingin menghadapi Arya secara langsung. Dengan didampingi Risa dan beberapa polisi yang menyamar, Anya menunggu di apartemennya.

Tak lama kemudian, Arya muncul. Ia menyelinap masuk ke apartemen Anya dengan wajah tertutup masker. Namun, gerakannya sudah terendus oleh polisi. Terjadi kejar-kejaran singkat di dalam apartemen. Arya, yang terpojok, mencoba menyerang Anya dengan pisau. Namun, polisi dengan sigap melumpuhkannya. Saat masker Arya dibuka, Anya terkejut melihat wajah yang familiar, wajah teman sekelasnya yang dulu tampak pendiam dan tidak berbahaya.

Di kantor polisi, Arya mengakui semua perbuatannya. Ia mengaku terobsesi dengan Anya dan merasa sakit hati karena Anya tidak pernah menyadari keberadaannya. Media sosial menjadi wadah baginya untuk melampiaskan rasa frustrasi dan dendamnya.

Kasus teror media sosial yang dialami Anya menjadi perhatian publik. Banyak orang mulai menyadari betapa rentannya privasi di era digital ini dan betapa berbahayanya penyalahgunaan anonimitas di dunia maya.

Anya membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkan diri dari trauma yang dialaminya. Ia memutuskan untuk mengurangi aktivitasnya di media sosial dan lebih berhati-hati dalam berbagi informasi pribadi.

Risa menulis sebuah artikel investigasi tentang kasus Anya, menyoroti bahaya teror media sosial dan pentingnya literasi digital. Artikel itu menjadi viral dan memicu diskusi tentang keamanan dan etika di dunia maya.

 

-TAMAT-

 

Penulis: Riska
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Poin Poin Artikel

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses