Petani Indonesia adalah pilar utama dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Namun ironisnya, banyak dari mereka justru terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan akibat ketergantungan yang tinggi terhadap tengkulak.
Ketergantungan ini bukan hanya berkaitan dengan akses permodalan, tetapi telah menjadi struktur sosial dan ekonomi yang menjerat mereka selama bertahun-tahun. Kondisi ini menggambarkan ketimpangan yang mendalam dalam sistem agraria Indonesia, di mana para produsen pangan justru menjadi kelompok paling rentan dan termiskin di sektor pertanian.
Berdasarkan Sensus Pertanian 2023, lebih dari 60% petani di Indonesia digolongkan sebagai petani gurem, yakni mereka yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Jumlahnya mencapai 17,25 juta dari total 27,8 juta petani. Luas lahan yang sangat sempit ini menyebabkan rendahnya kapasitas produksi dan terbatasnya akses ke pembiayaan formal.
Tak heran hampir setengah dari rumah tangga petani tepatnya sekitar 49,4% masih hidup dalam garis kemiskinan. Akses terhadap lembaga keuangan formal seperti perbankan masih menjadi tantangan besar, karena selain minim jaminan, mayoritas petani juga menghadapi kendala administratif dan literasi keuangan yang rendah.
Di tengah keterbatasan tersebut, tengkulak hadir menawarkan solusi instan berupa pinjaman modal baik dalam bentuk uang maupun barang yang umumnya tanpa jaminan. Namun, bantuan ini tidak datang secara cuma-cuma.
Tengkulak mensyaratkan agar hasil panen wajib dijual kembali kepada mereka dengan harga yang ditentukan sepihak. Dalam praktiknya, harga yang diberikan jauh di bawah harga pasar sehingga margin keuntungan petani sangat kecil bahkan sering kali merugi. Alur ini membentuk lingkaran jerat yang makin hari makin sulit dilepaskan.
Baca juga:Â Puluhan Ribu Petani dan Penyuluh Hadir di Soreang, Mentan Amran: Kalian adalah Pahlawan Pangan Indonesia
Salah satu contoh nyata dapat dilihat di daerah Indramayu, Jawa Barat. Menurut studi dari Lembaga Penelitian SMERU (2022), banyak petani padi di sana yang terpaksa menjual hasil panen ke tengkulak dengan harga sekitar Rp3.800 per kilogram, padahal harga pasar bisa mencapai Rp5.000–Rp5.200 per kilogram.
Tengkulak berdalih bahwa harga tersebut sudah dikurangi biaya utang, bunga, dan jasa pengangkutan. Petani tidak punya pilihan lain karena mereka tidak memiliki akses ke gudang penyimpanan, transportasi, atau saluran pemasaran yang lebih adil.
Tengkulak kerap menentukan komoditas apa yang boleh ditanam, teknik produksi apa yang digunakan, bahkan waktu panen yang disesuaikan dengan kepentingan pasar mereka. Akibatnya, petani kehilangan otonomi dan inovasi di sektor pertanian menjadi sangat terbatas.
Tak hanya itu, tekanan ekonomi dari jeratan utang juga menciptakan trauma sosial. Di beberapa daerah seperti Bima, Nusa Tenggara Barat, kasus eksploitasi oleh tengkulak telah menyebabkan para petani harus menjual aset produktif mereka, menunggak biaya sekolah anak, bahkan mengalami tekanan psikologis berat karena gagal panen yang tetap dibebani utang.
Pola hubungan antara petani dan tengkulak ini sesungguhnya sudah mengakar lama dalam budaya desa. Tengkulak tak hanya berperan sebagai pemberi modal, tetapi juga sebagai pihak yang memiliki hubungan sosial kuat dengan petani. Hubungan ini sangat personal, sehingga kepercayaan antara kedua belah pihak menjadi faktor utama.
Dalam banyak kasus, petani bahkan lebih percaya kepada tengkulak dibandingkan lembaga resmi pemerintah. Ini membuat program pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau koperasi sering kali tidak efektif, karena dianggap terlalu rumit dan tidak fleksibel dibandingkan dengan mekanisme informal dari tengkulak.
Masalah ini menjadi sangat kompleks ketika generasi muda di pedesaan mulai enggan melanjutkan profesi sebagai petani. Ketika mereka menyaksikan orang tua mereka terus-menerus hidup dalam jeratan utang, tanpa kepastian harga dan hasil yang layak, pertanian tidak lagi dianggap sebagai masa depan yang menjanjikan.
Ini menimbulkan krisis regenerasi petani yang dalam jangka panjang dapat mengancam ketahanan pangan nasional. Jika anak-anak petani tidak ingin bertani, maka siapa yang akan memproduksi pangan Indonesia di masa depan?
Untuk memutus rantai ketergantungan ini, dibutuhkan pendekatan sistemik dan kolaboratif. Pertama, pemerintah perlu menyederhanakan akses pembiayaan formal bagi petani yang selama ini dikenal rumit. Program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) perlu dievaluasi agar lebih fleksibel dan realistis dengan kondisi petani di lapangan.
Banyak petani yang kesulitan memenuhi syarat administratif seperti jaminan atau dokumen legalitas lahan. Untuk itu, pelibatan unit mikro keuangan di tingkat desa seperti koperasi sangat penting. Alternatif pembiayaan seperti koperasi berbasis syariah bisa menjadi solusi dengan sistem bagi hasil yang lebih adil dan tanpa bunga mencekik.
Kedua, pembangunan infrastruktur dasar harus menjadi prioritas dalam kebijakan pertanian nasional. Jalan desa yang rusak, minimnya gudang penyimpanan, serta terbatasnya akses ke pasar membuat petani kehilangan daya tawar dalam menjual hasil panen. Akibatnya, mereka terpaksa menjual kepada tengkulak dengan harga murah karena tidak memiliki pilihan lain.
Pemerintah perlu menyediakan fasilitas pasca panen seperti dryer, warehouse, dan jalur distribusi yang efisien. Dengan infrastruktur yang memadai, petani akan lebih leluasa menentukan waktu dan tempat penjualan hasil panennya.
Ketiga, peningkatan literasi digital bagi petani menjadi kunci dalam menghadapi era pertanian modern. Banyak petani yang belum memiliki akses atau keterampilan dalam menggunakan teknologi digital untuk kebutuhan usaha tani.
Padahal dengan pemanfaatan platform agritech, mereka dapat langsung memantau harga pasar, menjual produk, hingga mengakses informasi pertanian terbaru. Pemerintah dan sektor swasta harus berkolaborasi menyediakan pelatihan dan platform digital yang mudah dipahami serta sesuai kebutuhan petani.
Aplikasi pertanian yang ramah pengguna dengan fitur sederhana dan layanan logistik terintegrasi akan sangat membantu dalam memangkas peran perantara yang merugikan.
Keempat, koperasi harus dihidupkan kembali sebagai instrumen kolektif yang memperkuat posisi tawar petani di pasar. Selama ini banyak koperasi tidak berjalan optimal karena pengelolaan yang kurang profesional dan minim pengawasan.
Padahal, koperasi yang dikelola dengan baik dapat menjadi pusat layanan petani mulai dari distribusi sarana produksi, pengolahan hasil panen, hingga pemasaran. Pemerintah harus memberikan dukungan berupa pelatihan manajemen, akses modal, dan insentif bagi koperasi yang menerapkan prinsip keadilan dan transparansi.
Selain itu, pengawasan ketat perlu dilakukan agar koperasi tidak kembali menjadi alat eksploitasi baru yang merugikan anggotanya.
Selain itu, penguatan regulasi juga dibutuhkan. Tengkulak harus diberi legalitas usaha agar bisa dipantau dan dikenakan sanksi jika melakukan praktik yang merugikan petani.
Pemerintah juga harus menegakkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk komoditas strategis, agar petani tidak lagi menjual di bawah harga wajar hanya karena tekanan utang atau kebutuhan mendesak. Terakhir, regenerasi petani muda harus digalakkan.
Ini bisa dilakukan melalui pelatihan, magang di sektor agroindustri, beasiswa khusus pertanian, hingga program wirausaha tani muda dengan dukungan modal dan pendampingan. Komoditas pertanian juga perlu didiversifikasi agar petani tidak bergantung pada satu jenis hasil panen yang fluktuatif.
Masalah tengkulak bukan sekadar soal utang, tetapi tentang keadilan struktural dalam sektor pangan. Jika petani terus dibiarkan menjadi pihak yang paling lemah dalam rantai pasok, maka kesejahteraan mereka tidak akan pernah tercapai.
Sudah saatnya kita membangun sistem pertanian yang adil dan berdaulat, di mana petani tidak hanya menjadi produsen, tetapi juga pengambil keputusan dan pemilik nilai. Masa depan pangan Indonesia sangat bergantung pada keberanian kita membebaskan petani dari jeratan ketergantungan ini. Jika tidak, maka kita akan terus mewarisi kemiskinan yang turun-temurun dan krisis pangan hanya tinggal menunggu waktu.
Penulis: Alin Ndean Adzzahra
Mahasiswa Agribisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News