Dewasa ini, banyak alumni-alumni HMI yang terjun ke dunia politik. Apabila dibandingkan dengan organisasi-organisasi yang lain, bisa dipastikan HMI-lah yang paling banyak berkontribusi dalam menyediakan kader politisi. Namun, ini bukan berarti bahwa HMI adalah organisasi politik. Dalam lini-lini kehidupan selain politk, sangat bisa ditemukan kader-kader HMI, terutama dalam birokrasi kampus, birokrasi pemerintahan, pengurus ormas, aktivis LSM, wirausaha, bahkan militer.
Pasal 6 Anggaran Dasar (AD) telah menerangkan bahwa HMI adalah organisasi yang bersifat independen. Sifat independensi ini pun diperlihatkan dalam dunia politik. Perbedaan pilihan dalam memilih partai politik sudah dianggap biasa oleh para kader HMI. Walaupun dengan perbedaan ini, para alumni HMI tetap bisa berkumpul dengan penuh kehangatan, seperti satu keluarga yang dinamis. Sama sekali tidak ada fanatisme dari perbedaan pilihan partai politik.
Banyak kader HMI yang terjun ke dunia politik, membuat banyak orang yang mengira bahwa HMI merupakan organisasi politk. Padahal sudah jelas dalam Anggaran Dasar (AD) HMI, pasal 8 sifat menyatakan bahwa HMI berfungsi sebagai organisasi kader.
Kader (dalam Oxfford Dictionary) adalah sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar. Seluruh aktivitas yang dilakukan HMI merupakan proses kaderisasi, sehingga HMI hanya selalu berfungsi membentuk kader-kader muslim intelektual yang profesional.
Melihat banyak sekali kader HMI terjun ke dunia politik, membuat Ketua Umum Pengurus Besar HMI R. Sadam al-Jihad berkata, “Kaderisasi Yes Politisasi No”. Dalam forum LK-2 Cabang Bogor, Kanda Sadam al-Jihad, Ketum PB HMI, menyatakan bahwa HMI merupakan organisasi kader. Kanda Sadam menyarankan agar peserta forum bisa berkecimpung tidak hanya di dunia politik saja, bisa memilih terjun ke dunia bisnis, pendidikan, dll.
Saran tersebut menurut penulis sangat bagus. Memanfaatkan era revolusi industri 4.0, kader HMI bisa dengan mudah berbisnis tanpa harus keluar rumah. Namun, mengatakan “politisasi no”, menurut penulis merupakan suatu kekeliruan. Sebab, penulis takutkan nanti tidak ada lagi kader-kader HMI yang akan terjun ke dunia politk.
Padahal, Indonesia saat ini telah mengalami krisis kepemimpin. HMI sebagai orgaisasi yang berorientasi terhadap ke-Indonesiaan dan ke-Islaman, seharusnya bisa bersumbangsi terhadap negara dengan memberikan pemimpin yang ideal bagi negara Indonesia. Kader HMI sebisa mungkin harus bisa melakukan politisasi, sehingga ke depannya bisa mengangkat pemimpin dari kalangan HMI. Dengan catatan, kader tersebut merupakan kader yang benar-benar menjiwai NDP serta paham akan tujuan organisasi HMI.
Menurut al-Ghazali, kategori pemimpin ideal adalah ‘ilmu al-ulamaa’, amwaalu al-aghniyaa’, siyasatu al-mulk wa al-malaa’. Singkatnya pemimpin yang baik haruslah berilmu, berharta, dan berkuasa. Tiga kategori inilah yang seharusnya dilakukan dalam proses kaderisasi ketika ber-HMI.
Apalagi HMI sebagai pressure group (kelompok penekan), harus siap menjadi pejuang Tuhan (sabilillah) dan pembela mustadh’afiin (kaum tertindas). Dengan pengetahuan, kader bisa memberikan gagasan-gagasan solutif untuk membela mustadh’afiin. Dengan pengetahuan dan harta, kader bisa memberikan gagasan-gagasan solutif serta dapat mempraktekan langsung di lapangan, tapi masih sangat terbatas. Namun dengan pengetahuan, harta, dan kekuasaan, kader dapat mengajakan semua orang bekerja sama melakukan hal-hal tersebut dengan cara mengikatnya dalam satu aturan, sehingga kaum mustadh’afiin yang dapat dirangkul lebih banyak karena tidak ada batasan dalam melakukan perjuangan.
Kesamaan hak yang dijunjung tinggi oleh HMI, membuat kader-kader HMI bisa bersaing secara bebas untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin organisasi. Tradisi ini menjadikan kader-kader HMI mengalami tempaan keras, terutama secara mental, karena harus mengalami tekanan dan tantangan berat dalam menjalani proses kompetisi.
Kebiasaan dalam suasana persaingan ketat inilah yang membuat kader-kader HMI memiliki kesiapan untuk menjalani dunia politik yang memang bisa dikatakan tidak pernah sepi dari kompetisi untuk memperebutkan posisi-posisi politik yang dianggap strategis. Tentu saja tujuan idealnya adalah agar bisa menjadikan posisi-posisi tersebut sebagai sarana untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Keberadaan mereka di berbagai partai dan instansi-instansi lainnya, memungkinkan mereka membangun jaringan. Terciptanya “intelectual community” adalah tujuan yang akan dicapai, sehingga nantinya mereka akan saling bahu-membahu mewujudkan tujuan yang diinginkan bersama. Para alumni HMI tetap mampu menjalin komunikasi yang sangat intensif. Walaupun dalam konteks-konteks tertentu mereka terlibat konflik yang sangat sengit, tetapi dalam konteks-konteks yang lain mereka mampu bersinergi dengan sangat baik.
Komunikasi antaralumni HMI menjadi sarana yang sangat efektif untuk mengusung agenda-agenda politik tertentu. Tentu saja komunikasi ini menjadi sarana yang terbilang netral. Dengan kata lain, komunikasi ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan sinergi untuk menghasilkan sesuatu yang positif.
Akhirnya, HMI sebagai kawah candradimuka harus selalu melahirkan kader politisi. Politiklah yang bisa memengaruhi secara dominan perubahan negara dan masyarakat. Jika politik diisi oleh orang-orang yang baik, negara dan masyarakat akan baik. Namun, jika didominasi oleh mereka yang jahat, negara dan masyarakat juga akan rusak. Untuk itu, HMI memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan kaderisasi yang bisa melahirkan politisi yang baik agar tujuan mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wa ta’ala. benar-benar terwujud. Wallahu a’lam bi al-Shawaab.
Kodrat Alamsyah
Peserta LK-2 Nasional HMI Cabang Bogor;
Mahasiswa Syariah dan Hukum UIN Walisongo