Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Pembuktian di PTUN

Hukum
Ilustrasi: istockphoto

Pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti elektronik di persidangan mempunyai perdebatan tersendiri seperti pada kasus pemeriksaan saksi menggunakan teleconference pada kasus BULOG dan perkawinan/ ijab qobul yang dilakukan beda negara.

Selain itu terdapat beberapa kendala lainnya seperti: 1. Autentikasi alat bukti elektronik; 2. Tata cara memperlihatkan alat bukti elektronik; dan 3. Tanda tangan elektronik.

Penerapan Peradilan Elektronik (E-court) sangat membantu terwujudnya Visi Mahkamah Agung menjadi Badan Peradilan Indonesia yang agung, yang pada poin ke-10 perwujudan Visi Mahkamah Agung dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 adalah mewujudkan Badan Peradilan Modern dengan berbasis teknologi informasi terpadu.

Dalam upaya mewujudkan Visi Mahkamah Agung tersebut, telah dinyatakan adanya Modernisasi Manajemen Perkara, mulai dari Pelaporan Perkara berbasis Elektronik, Migrasi ke Manajemen Perkara Berbasis Elektronik, hingga Pengadilan Online.

Bacaan Lainnya

Hukum pembuktian di Indonesia (dalam hal ini hukum acara sebagai hukum formal) belum mengakomodasi dokumen elektronik sebagai alat bukti, sementara beberapa undang-undang yang baru telah mengatur dan mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, yaitu antara lain dalam: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan lebih jauh UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang telah mengatur mengenai Keputusan Pejabat berbentuk Elektronik (hal mana telah menggeser konsep objek dalam sengketa TUN, yang bersifat tertulis).

Suatu alat bukti elektronik yang dapat diterima ialah yang sesuai dalam Pasal 1 Ayat (1) UU ITE. Dalam UU ITE telah mengatur bahwa alat bukti elektronik ialah sekumpulan data elektronik berupa tulisan, suara, atau gambar, peta, rancangan, foto, surat elektronik, telegram, teleks, dan lain sebagainya yang telah diolah dan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kredibilitas untuk itu.

Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Perkara dan Persidangan di Peradilan secara Elektronik mencoba menata secara sederhana dan efesien prosedur teknis perkara perkara di lingkungan Mahkamah Agung dengan media elektronik di persidangan (E-Litigation).

Hukum acara elektronik pada dasarnya memberikan kemudahan terhadap pencari keadilan mulai dari pendaftaran, pemanggilan, dan proses persidangan. Di sisi lain hukum acara elektronik ini juga akan berimplikasi pada efektif dan efesiennya proses berperkara, sehingga tidak banyak waktu yang terbuang dan tidak banyak biaya yang dikeluarkan.

Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 disebutkan bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem elektronik.

Dengan demikian tidak ada keraguan mengenai eksistensi bukti elektronik, oleh karena sudah secara tegas diakui di dalam peraturan perundang-undangan mengenai keberadaannya sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum.

Hakim dalam menilai otentifikasi bukti elektronik maksudnya adalah hakim harus melakukan penilaian terhadap bukti elektronik tersebut adalah asli dan tidak dimanipulasi yang dapat menunjukkan data yang disajikan berupa dokumen atau informasi elektronik adalah data yang asli.

Sedangkan yang dimaksud hakim dalam menilai integritas bukti elektronik maksudnya hakim harus melakukan penilaian bahwa kondisi bukti elektronik tersebut sama ketika dihadirkan di persidangan dengan pada saat bukti elektronik tersebut ditemukan (terjaga integritasnya).

Urgensi otentifikasi bukti elektronik di persidangan adalah untuk menilai apakah bukti elektronik tersebut dapat diterima di persidangan sebagai alat bukti yang sah sehingga dapat meyakinkan hakim dalam menjatuhkan putusan. Untuk itu di dalam proses persidangan ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan hakim dalam hal menilai otentifikasi bukti elektronik, antara lain:

  1. Admissable, yaitu diperkenankan atau diakui oleh UU untuk dipakai sebagai alat bukti atau dengan kata lain harus ada pengaturan yang tegas terhadap bukti elektronik yang dijadikan sebagai alat bukti di persidangan;
  2. Reliable, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya;
  3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta;
  4. Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang dibuktikan.

Selanjutnya, selain beberapa kriteria tersebut di atas, secara umum terdapat empat prinsip yang mendasari seluruh rangkaian kegiatan dalam menangani bukti elektronik agar bukti tersebut dapat menjadi sah untuk disajikan ke pengadilan, yaitu:

  1. Prinsip menjaga integritas data, data yang ditemukan harus dijaga keasliannya dengan cara tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan data yang tersimpan di dalamnya menjadi berubah atau rusak;
  2. Prinsip personel yang kompeten, personel yang menangani bukti elektronik harus berkompeten, terlatih dan mampu memberikan penjelasan atas setiap keputusan yang dibuat dalam proses identifikasi, pengamanan, dan pengumpulan bukti elektronik;
  3. Prinsip Audit Trail, atau istilah teknis yang dikenal sebagai Chain of Custody (CoC) harus dipelihara dengan cara mencatat setiap tindakan yang dilakukan terhadap bukti elektronik;
  4. Prinsip Kepatuhan Hukum, personel yang bertanggung jawab terhadap penanganan kasus terkait pengumpulan, akuisisi dan pemeriksaan serta analisis bukti elektronik tersebut harus dapat memastikan bahwa proses yang berlangsung sesuai dengan hukum yang berlaku.

Walaupun hingga saat ini belum ada peraturan yang mengatur tentang bagaimana penanganan bukti elektronik yang dilakukan oleh hakim ketika bukti elektronik tersebut diajukan ke persidangan, akan tetapi hakim sebagai pejabat peradilan yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara di sidang pengadilan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses menilai dan berwenang mengevaluasi secara adil terhadap bukti yang diajukan ke persidangan untuk dapat mengungkap kebenaran suatu fakta dalam suatu peristiwa hukum.

Penulis: Della Angelica Putri
Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses