Sistem demokrasi yang sehat bergantung pada prinsip pengendalian dan keseimbangan. Prinsip ini diwujudkan dalam struktur kekuasaan Indonesia, di mana legislatif, yudikatif, dan eksekutif bekerja sama dan mengimbangi satu sama lain.
Namun, perubahan yang terjadi dalam politik dan ketatanegaraan Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan pelemahan mekanisme ini, terutama karena dominasi kekuasaan eksekutif yang tidak seimbang di antara fungsi kontrol lembaga lainnya.
Dominasi Eksekutif dan Koalisi Gemuk
Setelah pemilu 2024, koalisi pemerintahan yang sangat besar di DPR membuat oposisi lebih sulit untuk mengawasi bagaimana pemerintah beroperasi. Agenda kekuasaan eksekutif tampaknya menyatu dengan fungsi legislatif yang seharusnya dilakukan secara kritis dan independen. Koalisi yang ketat membuat DPR lebih sering berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah daripada sebagai penyeimbang.
Contohnya adalah pembicaraan tentang Rancangan Undang-Undang strategis yang biasanya berlangsung secara cepat, yang dikenal sebagai legislasi kilat, dan tanpa partisipasi publik yang memadai. DPR tampaknya tidak melakukan apa-apa selain mengawasi kebijakan pemerintah; ini termasuk memilih pejabat publik strategis, merevisi undang-undang sektoral, dan memberikan izin tambang.
Yudikatif yang Terdesak
Selain itu, lembaga yudikatif, terutama Mahkamah Konstitusi (MK), menghadapi banyak tantangan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawal konstitusDi. Pada tahun-tahun sebelumnya, MK kehilangan kredibilitas karena kontroversi etika dan dugaan intervensi politik terhadap hakim konstitusi.
Sebagian besar keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2025 dianggap menguntungkan kelompok politik tertentu daripada menegakkan keadilan konstitusional.
Selain itu, integritas lembaga peradilan dianggap kurang baik oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Mekanisme akuntabilitas internal kurang kuat dan seringkali formal. Ini meningkatkan keyakinan masyarakat bahwa sistem peradilan tidak lagi menjadi penghalang keadilan terakhir.
Implikasi terhadap Demokrasi
Kualitas demokrasi dipengaruhi oleh pelanggaran check and balances. Demokrasi bukan hanya tentang pemilu; itu juga tentang cara kekuasaan diatur dan diawasi secara adil dan akuntabel. Ketika lembaga pengawas menjadi pasif, kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan meningkat.
Selain itu, keadaan ini meningkatkan jarak antara masyarakat dan pihak berkuasa politik. Kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan masyarakat atau mempertimbangkannya cenderung tidak memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi.
Kritik dari Masyarakat Sipil dan Akademisi
Banyak organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan pengamat politik telah menyatakan kekhawatiran mereka. Kritik diarahkan pada kecenderungan untuk konformitas politik di parlemen, kurangnya sistem yang menilai kepatutan dan kelayakan pejabat publik, dan semakin kaburnya perbedaan antara kekuasaan negara dan kepentingan partai politik.
Baca juga:Â Hukum Tata Negara Bukan Sekadar Teori: Mengapa Mahasiswa Harus Peduli?
Selain itu, mereka menuntut agar institusi pengawas independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diperkuat kembali, karena mereka mulai kehilangan kredibilitas. Misalnya, setelah beberapa perubahan undang-undang yang mengurangi otonominya, KPK tidak lagi menunjukkan gebrakan besar dalam mengungkap kasus besar.
Rekomendasi untuk Pemulihan
Beberapa tindakan harus diambil untuk mengembalikan keseimbangan kekuasaan:
1. Reformasi Politik di DPR
Untuk memaksimalkan fungsi pengawasan dan kontrol, diperlukan penguatan mekanisme oposisi dan independensi fraksi-fraksi parlemen.
2. Penguatan Peran Lembaga Yudikatif dan Independen
Perlu ada proses pemilihan yang lebih transparan dan akuntabel bagi para hakim konstitusi dan pejabat pengadilan tinggi agar lembaga yudikatif tidak terpengaruh oleh politik.
3. Mendorong Partisipasi Publik dan Keterbukaan
Pemerintah dan DPR harus memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara luas dalam proses legislasi dan kebijakan strategis lainnya.
4. Revitalisasi KPK dan Lembaga Pengawasan Lainnya
Reformasi struktural dan independensi kelembagaan harus dilakukan untuk mengembalikan fungsi KPK dan lembaga pengawas lainnya.
Tahun 2025 menjadi peringatan penting bahwa ada kemungkinan bahwa prinsip check and balances di demokrasi Indonesia akan dilemahkan. Jika legislatif dan yudikatif tidak dapat mengontrol eksekutif dengan baik, ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang.
Sebagai syarat utama keberlangsungan sistem demokrasi yang sehat dan konstitusional, kritik publik dan dorongan masyarakat sipil harus menjadi bahan refleksi untuk mengembalikan keseimbangan kekuasaan.
Penulis: Rakha Dhito Hario
Mahasiswa Semester 2 Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News