Korea Utara, negara yang kerap disebut sebagai “Kerajaan Pertapa”, telah menjadikan senjata nuklir sebagai fondasi kebijakan pertahanannya selama puluhan tahun.
Dengan dalih melindungi kedaulatan dan menghadapi anjaman “imperialis” dari Amerika Serikat dan sekutunya.
Rezim Pyongyang mengklaim bahwa kepemilikan senjata nuklir adalah satu-satunya cara untuk menjamin kelangsungan hidup negara.
Namun, di balik retorika ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah senjata nuklir benar-benar memberikan keamanan atau justru menciptakan paradoks yang memperdalam kerentangan dan ketidakstabilan?
Nuklir sebagai “Penjamin” Keamanan: Perspektif Korea Utara
Bagi Korea Utara, senjata nuklir bukan sekedar alat militer melainkan simbol legitimasi politik dan jaminan eksistensi rezim.
Sejarah invasi asing seperti Perang Korea (1950-1953) serta nasib rezim, seperti Saddan Hussein di Irak atau Muammar Gaddafi di Libya yang diselenggarakan setelah meninggalkan program senjata pemusnah massal, memperkuat keyakinan Pyongyang bahwa hanya dengan memiliki nuklir mereka bisa menghindari intervensi asing.
Dari sudut pandang ini, nuklir adalah “asuransi” yang menjamin bahwa ancaman eksternal tidak akan berani menyerang.
Paradoks Keamanan: Ketika Deterrence Menciptakan Ketidakamanan
Di satu sisi, kepemilikan nuklir mungkin efektif mencegah serangan langsung. Namun, strategi ini justru melahirkan paradoks: semakin Korea Utara memperkuat kemampuan nuklirnya, semakin besar tekanan dan isolasi yang diterimanya.
Sanksi ekonomi internasional yang diperberat oleh uji coba nuklir dan rudal telah menghancurkan ekonomi domestik, memperdalam penderitaan dan memaksa negara itu bergantung pada bantuan asing.
Selain itu, eskalasi militer di semenanjung korea memicu respons balik dari negara-negara, seperti Korea Selatan, Jepang, dan AS, yang memperkuat aliansi pertahanan, menggelar latihan militer rutin, atau bahkan mempertimbangkan peningkatan kapabilitas nuklir sendiri.
Dampak lain dari paradoks ini adalah risiko kesalahpahaman atau eskalasi tak terduga, uji coba rudal balistik korea utara yang kerap dilakukan di perairan regional meningkatkan ketegangan, sementara retorika saling ancam antara pemimpin Kim Jong-Un dan pimpinan AS (seperti era Trump) berpotensi memicu konflik yang tidak diinginkan.
Dalam hal ini, nuklir tidak menjadi alat perdamaian, melainkan pemicu ketidakstabilan.
Nuklir dan Ilusi Keamanan Absolut
Rezim Korea Utara mungkin merasa aman secara militer, tetapi keamanan suatu negara tidak hanya tentang pertahanan fisik.
Keamanan yang sesungguhnya mencakup stabilitas ekonomi, kesejahteraan rakyat, yang pada gilirannya mengikis legitimasi pemerintah dalam jangka panjang.
Selain itu, ketergantungan pada nuklir mengabaikan resiko proliferasi. Jika korea utara suatu hari menjual teknologi nuklir atau rudal ke aktor non-negara atau negara bermasalah, hal itu akan menciptakan ancaman Pyongyang sendiri.
Alternatif dari Paradoks: Diplomasi atau Kehancuran?
Pertanyaan kritisnya adalah: adakah jalan keluar dari paradoks ini? Sejarah menunjukan bahwa tekanan militer dan sanksi tidak cukup untuk mengubah kebijakan Korea Utara.
Pendekatan diplomasi, meskipun rentan gagal, tetap menjadi satu-satunya opsi realistis.
Upaya seperti perjanjian Kerangka 1994, kesepakatan 6 pihak, atau pertemuan puncak Kim-Trump pada 2018-2019 membuktikan bahwa Pyongyang bersedia bernegosiasi jika ada insentif konkret, seperti keringanan sanksi atau jaminan keamanan.
Senjata nuklir mungkin memberikan Korea Utara ilusi keamanan jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, alat ini justru memperdalam kerentanan dan mengorbankan masa depan rakyatnya.
Paradoks keamanan ini hanya bisa dipecahkan jika Pyongyang dan komunitas internasional bersama-sama mencari solusi yang mengutamakan kepercayaan, kesejahteraan, dan stabilitas kolektif.
Tanpa itu, nuklir tidak akan pernah menjadi jaminan keamanan melainkan bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Pertanyaan tentang “nuklir dan keamanan” tidak hanya relevan untuk Korea Utara, tetapi juga menjadi refleksi bagi dunia: dalam era di mana ancaman perang nuklir masih nyata apakah senjata pemusnah massal benar-benar menjadi solusi atau justru akar ketakutan abadi.
Kesimpulan
Senjata nuklir Korea Utara adalah contoh nyata paradoks keamanan dalam hubungan internasional.
Di satu sisi, rezim Pyongyang melihat nuklir sebagai jaminan survival politik dan perlindungan dari intervensi asing sesuai logika deterrence.
Namun, di sisi lain kepemilikan senjata ini justru memperdalam isolasi, memicu sanksi ekonomi, dan meningkatkan risiko konflik di semenanjung korea.
Fakta bahwa rakyat Korea Utara hidup dalam krisis kemanusiaan akibat prioritas militer, sementara ancaman perang tetap ada membuktikan bahwa nuklir hanya ilusi keamanan.
Alih-alih menstabilkan situasi, senjata malah memperburuk security dilemma, memacu perlombaan senjata regional, dan mengikis upaya non-proliferasi global.
Pada akhirnya, keamanan senjata tidak bisa dicapai melalui ancaman mutual destruction melainkan lewat diplomasi inklusif, pembangunan ekonomi, dan kerjasama keamanan kolektif.
Kasus Korea Utara mengajarkan bahwa nuklir mungkin melindungi rezim, tetapi tidak menjamin perdamaian atau kesejahteraan rakyat dan itulah paradoks paling tragis dari senjata pemusnah massal ini.
Penulis: Desiana Demena
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News