Pindah rumah bukan hal baru. Tapi ketika orang-orang kaya dan berpendidikan dari kota sekelas London memilih pindah ke Dubai, kita tidak sedang membicarakan soal sekadar selera.
Ini bukan soal lebih suka matahari daripada hujan. Ini tentang keamanan, kenyamanan, dan sebuah pertanyaan besar: masihkah London bisa disebut kota global?
Beberapa tahun terakhir, makin banyak warga Inggris yang meninggalkan London dan menetap di Dubai.
Tren ini tidak hanya terjadi pada pebisnis dan ekspatriat, tapi juga keluarga muda yang merasa kota asalnya sudah tak lagi aman untuk ditinggali.
Dalam satu survei, disebutkan lebih dari 240.000 warga Inggris saat ini tinggal di Uni Emirat Arab, sebagian besar di Dubai. Ini adalah jumlah yang besar lebih banyak daripada total mahasiswa di Oxford.
Baca juga: Menyikapi Plagiarisme: Perlunya Kesadaran dan Budaya Menulis Orisinil Berlandaskan Pancasila
Lalu, apa yang sebenarnya sedang terjadi di London?
Data dari Kantor Statistik Nasional Inggris (ONS) menyebutkan bahwa kasus kejahatan dengan senjata tajam meningkat signifikan di London.
Dalam periode 2023–2024, lebih dari 16.000 insiden dilaporkan. Artinya, setiap setengah jam, seseorang jadi korban kekerasan yang melibatkan pisau.
Banyak diantaranya terjadi di tempat umum, siang hari, bahkan di sekitar area sekolah dan stasiun. London yang dulu penuh aura elit, kini mulai terasa tak nyaman bagi banyak orang.
Sementara itu, Dubai tampil sebagai kontras yang mencolok. Kota ini dikenal dengan sistem keamanan super ketat, pengawasan digital, dan hukum yang keras. Bagi sebagian orang, itu berarti pembatasan.
Tapi bagi banyak warga London yang lelah waspada setiap keluar rumah, Dubai justru terasa seperti tempat yang akhirnya bisa membuat mereka bernapas tenang.
Survei dari InterNations menyebutkan 95% ekspatriat merasa aman di Dubai.
Bahkan ada yang menyebut, “Di sini saya bisa meninggalkan mobil tanpa dikunci, dan tidak khawatir ponsel saya hilang kalau tertinggal di kafe.”
Tak hanya soal rasa aman.
Dubai juga menawarkan insentif finansial yang menggoda: tidak ada pajak penghasilan, lingkungan bisnis yang mendukung, hingga peluang untuk mendapatkan golden visa bagi yang berinvestasi properti.
Fasilitas publik juga disiapkan bukan sekadar untuk bertahan hidup, tapi untuk membuat siapa pun merasa seperti elite dunia.
Sekolah internasional, layanan kesehatan premium, dan perumahan eksklusif bukan hal yang sulit dijangkau, tentu saja bagi mereka yang datang dengan tabungan cukup.
Baca juga: United Arab Emirates of Dubai as the World&Best Citizenship Country
Tapi tentu, Dubai bukan utopia.
Hukum yang keras berarti tidak ada toleransi untuk kesalahan sepele.
Kritik terhadap pemerintah bisa berujung deportasi, bahkan penahanan.
Ada batas dalam kebebasan berbicara, dan kehidupan di sana tetap terikat norma sosial yang ketat.
Namun bagi sebagian besar ekspat dari London, ini harga yang layak dibayar demi hidup yang tenang.
Dalam perspektif Hubungan Internasional, fenomena ini menarik untuk dibaca lebih dalam.
Ini bukan sekadar soal pindah tempat tinggal, tapi mencerminkan bagaimana rasa aman kini menjadi komoditas global.
Kota-kota besar tak lagi hanya bersaing dalam hal teknologi dan bisnis, tapi juga dalam menciptakan rasa nyaman untuk ditinggali.
Dubai berhasil menjual citra sebagai “kota masa depan” yang aman dan efisien. London, sayangnya, justru terlihat tertinggal, seperti rumah besar yang mulai kehilangan penghuninya.
Pasca-Brexit, Inggris memang sedang menata kembali arah kebijakan luar negerinya.
Tapi yang luput disadari: kepercayaan warga sendiri terhadap negaranya ikut goyah.
Baca juga: Tembok Tak Lagi Cukup: Ketika Politik Migrasi Menguji Identitas Eropa
Ketika warga memilih meninggalkan negaranya sendiri demi rasa aman di negeri lain, itu bukan lagi soal politik atau ekonomi. Itu soal kehilangan rasa memiliki.
Mungkin inilah peringatan yang paling nyata untuk kota-kota besar di Eropa.
Bahwa membangun gedung tinggi dan pusat perbelanjaan mewah saja tak cukup untuk menjaga reputasi global.
Dunia kini berubah, dan orang-orang tak hanya mencari tempat untuk bekerja mereka mencari tempat untuk hidup.
Dan jika London tidak segera berbenah, bisa jadi eksodus ke Dubai hanya awal dari gelombang yang lebih besar.
Bukan hanya warga negara yang pindah, tapi juga kepercayaan dunia pada kota yang dulu disebut pusat dunia.
Penulis: Netha
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Andalas
Dosen Pengampu:
1. Dr. Muhammad Yusra, S.IP, MA
2. Rifki Dermawan, S.Hum, M.Sc
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News