Kultus terhadap Timnas Indonesia U-23 di Media Sosial (2023–2024)

Timnas Indonesia
Timnas Indonesia (Sumber: Penulis)

Berdasarkan riset dari PT Binokular Media Utama (Binokular), tim nasional sepak bola Indonesia U-23 menjadi topik hangat di media sosial, terutama setelah keberhasilan mereka menembus babak semifinal Piala Asia U-23 2024 di Qatar.

Manajer Social Media Data Analytics (Socindex) Binokular, Danu Setio Wihananto, menyebut bahwa respons warganet didominasi oleh komentar positif. Mayoritas netizen memberikan apresiasi atas kemenangan dramatis timnas melawan Korea Selatan. Selain itu, perbincangan juga banyak menyoroti komentar pengamat sepak bola Tommy Welly (alias Bung Towel) yang kerap mengkritik pelatih timnas, Shin Tae-yong (STY).

Capaian bersejarah ini tidak hanya menarik perhatian publik umum, tetapi juga para tokoh berpengaruh. Sejumlah politisi, selebritas, dan pengamat turut menyuarakan dukungan dan kebanggaan mereka, seperti Presiden Joko Widodo, Prabowo Subianto, Menteri Erick Thohir, Justinus Lhaksana, Ernest Prakasa, Zaskia Adya Mecca, dan Judika. Tokoh politik lainnya seperti Mahfud MD dan Sandiaga Uno juga ikut mengapresiasi performa luar biasa timnas U-23.

Fenomena ini menunjukkan bahwa keberhasilan timnas tidak hanya berdampak di lapangan, tetapi juga menciptakan gelombang semangat nasionalisme dan kebanggaan kolektif di ranah digital.

Bacaan Lainnya

 

Analisis dengan Konsep Resistensi Budaya dan Subkultur (Hebdige)

Dick Hebdige, dalam karya klasiknya Subculture: The Meaning of Style, melihat subkultur sebagai bentuk resistensi simbolik terhadap budaya dominan. Subkultur sering memproduksi makna melalui gaya, simbol, dan praktik keseharian untuk melawan hegemoni atau struktur dominan.

Dalam konteks ini, para pendukung Timnas Indonesia U-23, terutama di media sosial, dapat dipahami sebagai semacam “subkultur digital” yang muncul dengan ekspresi simbolik tersendiri—memuja pemain muda, mengglorifikasi kemenangan, hingga menyerang atau menertawakan pihak yang dianggap tidak mendukung, seperti pengamat atau elit yang kontra terhadap pelatih Shin Tae-yong.

Baca juga: Kutukan Itu Akhirnya Terpatahkan dengan Kemenangan Timnas U-23 Indonesia atas Korea Selatan di Laga sangat Bersejarah

Resistensi budaya tampak jelas saat masyarakat digital membangun narasi positif sendiri tentang Timnas dan pelatihnya, di luar narasi elite atau pengamat resmi yang bersikap skeptis. Kritik Bung Towel, misalnya, menjadi “musuh bersama” yang secara simbolik dilawan melalui meme, komentar negatif, atau ejekan.

Di sinilah terjadi proses resistensi: publik mengklaim otonomi narasi dan makna atas sepak bola nasional, yang selama ini kerap dimonopoli oleh elite, federasi, atau komentator profesional.

Kultus terhadap Timnas ini menciptakan identitas kolektif baru, fans bola sebagai komunitas digital dengan kode-kode tersendiri: semangat nasionalisme baru, glorifikasi pelatih Korea (STY), dan pembentukan heroisme terhadap pemain muda. Ini merupakan subkultur yang menandingi budaya arus utama yang cenderung elitis dan formal.

 

Praktik Budaya yang Merefleksikan, Mempertahankan, atau Menantang Struktur Kekuasaan dan Ideologi

1. Refleksi terhadap Struktur Kekuasaan

Kultus terhadap Timnas U-23 mencerminkan pencarian identitas kolektif dan nasionalisme yang baru. Dalam situasi di mana masyarakat merasa kecewa pada institusi negara, politik, atau elite, keberhasilan Timnas U-23 menjadi semacam “katarsis sosial” dan tempat pelarian emosional. Dukungan terhadap mereka menjadi cara masyarakat menyalurkan rasa kebanggaan yang langka terhadap institusi negara.

2. Tantangan terhadap Struktur Ideologi

Fenomena ini juga menantang narasi hegemonik tentang siapa yang punya otoritas bicara soal sepak bola. Biasanya, otoritas itu dimiliki oleh federasi, pengamat senior, atau pejabat olahraga. Namun media sosial membalikkan struktur ini. Kini, pengaruh dan pembentukan opini lebih ditentukan oleh netizen, influencer, bahkan akun-akun bola anonim. Muncul semacam demokratisasi opini publik yang menggeser kekuasaan wacana.

3. Bentuk Ko-Opsi (Kooptasi)

Tokoh-tokoh politik seperti Jokowi, Prabowo, Erick Thohir, hingga selebriti turut “menumpang” dalam euforia publik. Ini bisa dibaca sebagai bentuk kooptasi budaya: bagaimana elite memanfaatkan sentimen positif massa demi legitimasi atau popularitas politik. Maka resistensi budaya di satu sisi menciptakan otonomi, tapi juga rentan direklamasi kembali oleh kekuasaan.

 

Refleksi Kritis dan Rumusan Tindakan Praksis

Refleksi Kritis:

Fenomena ini menunjukkan bahwa sepak bola bukan sekadar hiburan, melainkan medan pertarungan makna, simbol, dan kekuasaan. Di satu sisi, euforia publik adalah bentuk resistensi terhadap narasi elite dan kegagalan negara. Namun di sisi lain, resistensi ini belum cukup terorganisasi secara kritis. Ia masih emosional, reaktif, dan mudah dimanipulasi oleh kekuatan politik atau kapital (endorsement, brand, dll.).

Rumusan Tindakan Praksis:

  1. Membentuk ruang diskusi kritis antara fans, pengamat independen, dan aktor sepak bola untuk memperkuat budaya suporter yang kritis dan emansipatoris.
  2. Mendorong literasi media sosial, agar publik tak hanya menjadi “konsumen euforia” tetapi juga aktor perubahan dalam struktur sepak bola nasional.
  3. Mendekonstruksi narasi selebritas-politik yang menunggangi euforia, agar sepak bola tetap milik rakyat, bukan alat politik.

Alternatif Teori atau Tindakan Emansipatoris

Kita bisa mengaitkan ini dengan teori public sphere (Habermas) – idealnya, media sosial sebagai ruang publik seharusnya jadi arena deliberasi rasional. Namun dalam praktiknya, kita melihat echo chamber dan populisme emosional. Maka, perlu pendekatan post-Habermasian seperti yang ditawarkan oleh Nancy Fraser: mengakui adanya subaltern counterpublics, ruang alternatif bagi kelompok yang termarjinalkan.

Dalam konteks ini, komunitas fans bola bisa menjadi counterpublic yang memperjuangkan tata kelola sepak bola yang lebih adil, transparan, dan inklusif. Hal ini bisa ditindaklanjuti lewat:

  1. Forum digital independen,
  2. Jurnalisme sepak bola akar rumput,
  3. Aksi kolektif menuntut reformasi federasi secara konkret.

 

Simpulan

Kultus terhadap Timnas U-23 di media sosial adalah fenomena subkultur yang memuat potensi resistensi terhadap struktur kekuasaan dan ideologi dominan, namun sekaligus mengandung kerentanan terhadap kooptasi. Ia merefleksikan kerinduan kolektif masyarakat terhadap identitas nasional yang positif, namun masih perlu diarahkan agar menjadi gerakan budaya yang emansipatoris dan kritis.

Jika dikelola secara sadar dan terorganisasi, komunitas pendukung sepak bola bisa menjadi aktor budaya yang bukan hanya mencintai timnas, tetapi juga memperjuangkan perubahan struktural dalam dunia olahraga nasional.

 

Penulis: Narendra Arga Dahana
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Dosen Pengampu: Dr. Merry Fridha., M.Si

 

Referensi

https://www.antaranews.com/berita/4077129/hasil-riset-sebut-timnas-u-23-jadi-pusat-perbincangan-di-media-sosial

https://www.bola.com/indonesia/read/5581895/terima-kasih-wasit-takdir-timnas-indonesia-tembus-semifinal-piala-asia-u-23-berbalik-berkat-var-saat-adu-penalti

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses