Laut Cina Selatan kembali menjadi panggung utama ketegangan geopolitik di kawasan Asia Tenggara. Tiongkok, dengan klaim sembilan garis putus-putus (nine-dash line), mengklaim hampir seluruh perairan tersebut.
Klaim ini tidak hanya bersinggungan dengan kepentingan negara-negara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, tetapi juga bertentangan dengan prinsip hukum internasional.
Meski Mahkamah Arbitrase Internasional telah menolak klaim historis tersebut pada 2016, Tiongkok tetap bersikukuh.
Mereka melanjutkan aktivitas militer, memperkuat infrastruktur di pulau-pulau buatan dan secara konsisten menunjukkan kehadiran maritim yang agresif (Permanent Court of Arbitration, 2016).
Situasi ini menjadikan Laut Cina Selatan sebagai titik rawan eskalasi ditengah persaingan global yang kian tajam.
ASEAN dan Ujian Kolektivitas
Dalam situasi seperti ini, ASEAN seharusnya tampil sebagai aktor utama. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Perbedaan kepentingan dan ketergantungan ekonomi terhadap Tiongkok membuat beberapa negara anggota cenderung menghindari sikap konfrontatif (Severino, 2006).
Ini menjadi hambatan utama bagi ASEAN dalam membentuk konsensus yang solid. Upaya menyusun Code of Conduct (CoC) dengan Tiongkok telah berlangsung bertahun-tahun, namun hingga kini belum membuahkan hasil konkret.
Tanpa aturan main yang jelas dan mengikat, Laut Cina Selatan tetap menjadi wilayah abu-abu yang mudah dipolitisasi dan didominasi.
Indonesia: Netral tetapi Memiliki Peran Strategis
Indonesia bukan pihak yang terlibat langsung dalam sengketa wilayah, namun posisi geografis dan kepentingannya- khususnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sekitar Natuna, menempatkannya dalam posisi strategis.
Indonesia memiliki potensi besar menjadi jembatan diplomasi, mendorong kerja sama regional, dan menghidupkan kembali peran ASEAN sebagai forum dialog yang efektif.
Langkah konkret seperti patroli maritim bersama, pelatihan militer gabungan, dan penguatan mekanisme berbagi intelijen di antara negara ASEAN dapat menjadi cara untuk menjaga stabilitas dan memperkuat solidaritas kawasan
Menjaga Laut, Menjaga Perdamaian
Laut Cina Selatan adalah cerminan tantangan dan peluang diplomasi kawasan, jika dikelola dengan pendekatan dialog dan kerja sama, kawasan ini dapat menjadi model keberhasilan regionalisme.
Namun, jika dibiarkan, potensi konflik terbuka lebar dan dampaknya dapat meluas ke ranah global (Emmers, 2021).
Indonesia dan ASEAN tidak dapat terus berada di posisi menunggu. Inilah saatnya untuk menjadikan diplomasi sebagai solusi nyata, bukan sekadar harapan idealistik.
Solusi
- Penguatan Peran ASEAN: ASEAN perlu memperkuat kolektivitasnya dan mengesampingkan perbedaan untuk menghasilkan kebijakan bersama. Penyelesaian Code of Conduct (CoC) dengan Tiongkok harus dipercepat agar ada aturan yang jelas dan mengikat di kawasan.
- Peran Strategis Indonesia: Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung dalam sengketa wilayah, posisi geografisnya strategis. Indonesia dapat berperan sebagai mediator atau fasilitator diplomasi, dengan mendorong inisiatif seperti, patroli maritim bersama, Pelatihan militer gabungan antar negara ASEAN, Penguatan berbagi intelijen
- Pendekatan Diplomatik dan Kooperatif: Menekankan pentingnya dialog dan kerja sama antarnegara kawasan agar Laut Cina Selatan bisa menjadi contoh sukses regionalisme, bukan sumber konflik global.
Penulis: Firgi Andre Gerungan
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih
Daftar Pustaka
Emmers, R. (2021). Geopolitik dan Sengketa Maritim di Asia Tenggara. Routledge.
https://ejournal.fisip.unjani.ac.id/index.php/jurnal-dinamika-global/article/download/701/280/
The South China Sea Arbitration (The Philippines v. China): Assessment of the Award on Jurisdiction and Admissibility.
Severino, R. C. (2006). Southeast Asia in search of an Asean community: insights from the former Asean Secretary-general. Penerbitan ISEAS.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News