Makan di Restoran Kena PPN 12%? Apakah Betul Demikian?

Pajak Restoran 12%
Sumber: Media Sosial Instagram @ditjenpajakri

“Zaman sekarang semuanya apa-apa serba dipajaki. Mau makan aja kena pajak, nggak lama lagi mungkin nafas kita juga bakal kena pajak. Udah malah sekarang tarif pajaknya dinaikkan lagi.” 

Isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula sebesar 11% menjadi 12% sempat hangat diperbincangkan oleh masyarakat luas.

Meskipun hanya naik sebesar 1%, banyak ekonom berpendapat bahwa dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan tarif ini bisa masif dan meluas.

Oleh karena itu, meskipun digadang mampu meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini dapat membawa dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia, terutama bagi masyarakat miskin, sektor usaha kecil, dan daya beli masyarakat secara keseluruhan.

Bacaan Lainnya

Tak heran jika banyak warga yang menentang kebijakan kenaikan tarif PPN ini.

Kutipan di atas merupakan salah satu keluh kesah masyarakat pasca Pemerintah mengumumkan kenaikan tarif PPN menjadi 12%.

Baca Juga: PPN Naik ke 12%, Apakah Beban bagi Masyarakat?

Penting untuk diingat bahwa setiap orang berhak untuk berpendapat dan menyampaikan pandangannya.

Kita hidup di negara yang menjunjung tinggi kebebasan berbicara, sehingga segala opini yang muncul adalah hal yang wajar.

Namun, apabila ditelusuri lebih dalam, terdapat beberapa hal pada pernyataan tersebut yang masih kurang tepat.

Oleh karena itu, penjelasan lebih lanjut diperlukan untuk meluruskan miskonsepsi yang terjadi sekaligus memberikan sudut pandang yang lebih luas agar pembaca dapat mengambil kesimpulan dengan lebih bijak.

Kalimat pembuka dari pernyataan tersebut memberikan kesan bahwa keberadaan pajak hanyalah sekadar untuk menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat tanpa pertimbangan suatu apapun.

Padahal para pembuat kebijakan tidak secara sembarangan melakukan pengenaan pajak, melainkan mereka mendasarinya pada regulasi yang sudah ditetapkan dengan tujuan yang jelas.

Baca Juga: Implikasi Rencana Kenaikan PPN 12% terhadap Realisasi Program Makan Bergizi Gratis

Pajak adalah kontribusi wajib yang harus dibayarkan oleh orang pribadi atau badan kepada negara.

Tidak seperti retribusi, dampak atas pajak ini tidak dapat dirasakan langsung oleh pembayarnya. Hal ini membuat para pembayar pajak menjadi skeptis akan penggunaan dana pajak.

Padahal, sudah dinyatakan dengan jelas pada Pasal 23 UUD 1945 bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang sumber utamanya berasal dari pajak, digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Hasil dari pajak yang dibayarkan tentunya dapat masyarakat luas rasakan dalam keseharian mereka, diantaranya seperti pembangunan infrastruktur, penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan, serta program sosial yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

Pernyataan tersebut juga berisikan satu hal yang sering kali disalahpahami oleh masyarakat luas, yaitu terkait pajak yang dikenakan pada makanan dan minuman yang disajikan di restoran.

Banyak orang beranggapan bahwa pajak yang tertera pada struk pembayaran di restoran adalah PPN. Padahal, makanan dan minuman di restoran bukanlah objek PPN.

Baca Juga: Pajak Sarang Burung Walet: Potensi Besar yang Belum Tergali Maksimal

Hal ini secara jelas tercantum dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang telah diperbaharui dengan UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Di dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya tidak dikenakan PPN karena merupakan objek pajak daerah.

Semula, berdasarkan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), pajak atas makanan dan minuman yang disajikan oleh restoran dikenakan pajak daerah yang dinamakan pajak restoran.

Namun, dengan terbitnya UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), istilah pajak restoran dalam UU PDRD dihapuskan dan digantikan dengan istilah baru, yaitu Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

PBJT merupakan integrasi dari lima pajak daerah berbasis konsumsi yang terdiri atas pajak restoran, pajak hotel, pajak hiburan, pajak parkir, dan pajak penerangan jalan.

Dalam konteks PBJT atas makanan dan minuman yang disajikan di restoran, beban pajak terletak pada konsumen.

Konsumen membayar PBJT kepada restoran sebagai penyedia makanan dan minuman.

Baca Juga: Polemik Pemungutan Opsen Pajak, Apa Benar Menguntungkan?

Kemudian, restoran memiliki kewajiban untuk menyetorkan pajak yang dipungut kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Besarnya tarif PBJT atas makanan dan minuman di restoran berada di rentang 5% hingga maksimal 10%.

Besaran tarif ini dapat bervariasi antar daerah, tergantung pada peraturan daerah yang berlaku di masing-masing wilayah.

Miskonsepsi antara PPN dengan pajak atas makanan dan minuman di restoran muncul akibat tarif PPN yang sebelumnya ditetapkan sebesar 10%.

Tarif PPN sebesar 10% ini berlaku di Indonesia sejak 1 April 1985 sampai dengan 31 Maret 2022. Setelah itu, dengan ditetapkannya UU HPP, tarif PPN dinaikkan menjadi 11% per 1 April 2022.

Meskipun tarif pajak restoran dapat berbeda antar daerah, mayoritas pemerintah daerah menetapkan tarif maksimal untuk pajak restoran sebesar 10%.

Baca Juga: Kenaikan Pajak dan Implikasinya pada UMKM

Hal ini menyebabkan kebingungan karena tarif pajak restoran dan tarif PPN memiliki besaran yang sama sehingga masyarakat sering kali menganggap keduanya adalah pajak yang sama.

Terlebih lagi, kedua pajak ini dikenakan pada konsumsi dan sama-sama ditanggung oleh konsumen.

Walaupun terkesan sama, sebenarnya konsep antara PPN dengan pajak restoran atau yang sekarang dikenal dengan PBJT atas makanan dan minuman memiliki perbedaan mendasar.

PPN adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah pusat atas barang dan jasa yang diperdagangkan, baik itu yang diproduksi di dalam negeri atau yang diimpor.

Kata “diperdagangkan” dalam konteks PPN memang dapat menyebabkan kebingungan.

Pasalnya, restoran juga melakukan aktivitas jual beli makanan dan minuman yang dapat dipersamakan dengan “dagang.”

Baca Juga: Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor: Solusi Jangka Pendek dan Dampak Jangka Panjang

Namun, selain konteks transaksi, objek pajak menjadi satu hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan.

Meskipun restoran menjual makanan dan minuman, dalam UU PPN dan UU HPP, makanan dan minuman yang disajikan di tempat makan masuk dalam kategori objek pajak daerah, bukan objek yang dikenakan PPN.

Oleh karena itu, pajak yang dikenakan pada makanan dan minuman di restoran bukanlah PPN, melainkan PBJT yang dikelola oleh pemerintah daerah.

Hal lain yang perlu dipahami oleh masyarakat adalah bahwa tidak semua restoran atau tempat makan wajib memungut PBJT.

Sama halnya dengan PPN, terdapat batasan peredaran usaha tertentu yang harus dipenuhi oleh restoran untuk dapat memungut PBJT.

Besaran batasan peredaran usaha antar daerah berbeda-beda tergantung pada peraturan daerah masing-masing.

Restoran yang memiliki peredaran usaha dibawah jumlah yang telah ditetapkan tidak memiliki kewajiban untuk memungut PBJT.

Baca Juga: Mahasiswa PMM UMM Melakukan Sosialisasi Perpajakan kepada Masyarakat Desa Dawuhan

Sebagai contoh, di Jakarta, restoran dengan peredaran usaha di bawah Rp42 juta per bulan dikecualikan dari objek PBJT makanan dan minuman.

Sementara itu, di Kabupaten Blitar, restoran dengan peredaran usaha di bawah Rp3 juta per bulan juga dikecualikan dari kewajiban memungut PBJT.

Meskipun terdapat perbedaan dalam objek pajak dan cara pemungutannya, baik PPN maupun PBJT memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendukung kemakmuran rakyat.

Pajak daerah yang merupakan sumber pendapatan asli daerah dapat digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan dan pembangunan yang dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat.

Sementara itu, PPN yang merupakan pajak pusat juga bertujuan untuk meningkatkan kapasitas negara dalam menyediakan berbagai layanan publik nasional, seperti program perlindungan sosial, pembangunan infrastruktur besar, dan pengembangan sektor-sektor penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi.

 

Evangelina Christian

Penulis: Evangelina Christian
Mahasiswa Prodi D IV Akuntansi Sektor Publik, Politeknik Keuangan Negara STAN

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses