Puasa secara fikih adalah menahan diri untuk makan, minum, hubungan suami istri, serta semua yang dapat membatalkan. Dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Semoga Allah yang Maha Esa dan menguasai setiap kejadian meggolongkan kita menjadi orang yang beriman dan bisa mengendalikan diri. Diri sendiri adalah musuh terbesar yang harus kita waspadai. Syariatnya, kita tidak akan celaka kecuali karena diri kita sendiri.
Ibaratnya seperti motor yang keren dan kapasitas mesinnya besar, tapi pengendaranya tidak terampil dalam mengendarai. Ketika hal tersebut terjadi, maka pengendara tidak akan merasa nyaman dan tidak bisa menikmati lajunya dengan motor keren itu. Bisa saja kita menabrak pengendara lain atau kita yang ditabrak pengendara lain. Maka, mengendalikan diri bagi kita hukumnya wajib atau fardhu’ain.
Kita lebih sering sibuk dengan musuh yang berwujud, namun lalai untuk mengendalikan diri dari musuh yang tak berwujud seperti hawa nafsu kita. Bila kita renungkan, sebenarnya musuh yang lahir atau yang berwujud adalah bentuk bonus dari Allah. Media supaya kita mendapat kesempatan berjihad di jalan Allah.
Ketika Salman Rusdhi menghujat Nabi Muhammad sallallaahu’alaihi wasallam, seketika dunia Islam bergejolak. Seseorang yang dulu diam seakan tidak tahu menjadi ikut membela Rasullullah sallallaahu’alaihi wasallam. Orang-orang seperti Salman Rusdhi merupakan karunia tersendiri dari Allah, media yang bisa membuat hati kita tergugah dan tergerak untuk berbuat baik. Terkadang kebencian yang membara membuat kita tidak bisa mengendalikan diri yang akhirnya membuat kita rugi. Padahal musuh-musuh yang kita hadapi itu tidak terlalu berbahaya, yang berbahaya adalah ketika kita tidak bisa mengendalikan diri.
Ketika kita berkelahi dan dipukul oleh lawan, sesungguhnya kita tidak rugi bila kita dalam keadaan niat yang benar. Mungkin yang kita rasakan adalah sakit atau hanya terluka sedikit di wajah, tapi hal itu dapat menggugurkan dosa-dosa kita.
Perkelahian itu bukan masalah menang atau kalah melawan musuh. Kita harus belajar dari kisah sahabat Ali bin Abi Thalib radiyallaahu’anhu ketika beliau melawan dengan musuhnya. Saat si musuh sudah jatuh tersungkur dan hendak ditusuk oleh Ali radiyallaahu’anhu, pada saat itu musuhnya meludah tepat mengenai wajah Ali bin Abi Thalib radiyallaahu’anhu. Namun pada akhirnya beliau malah tidak jadi membunuhnya.
“Ali, kenapa engkau tidak jadi membunuhku ?” tanya musuhnya.
“Karena aku khawatir membunuhmu bukan karena Allah, melainkan karena engkau meludai wajahku,” jawab Ali bin Abi Thalib.
Allah memang sudah menciptakan setan untuk menjadi musuh kita yang menjerumuskan kita melalui hawa nafsu. Jika kita tidak berhati-hati, maka setan akan menjadi panutan kita. Kalau diumpamakan, nafsu itu seperti kuda dan setan itu pelatihnya. Jika kuda itu mengikuti perintah kita, bukan kepada setan. Maka Insyaa Allah kita bisa lebih cepat sampai di tujuan. Tapi apabila kuda (nafsu) ini tidak dikendalikan, maka akan seperti rodeo. Terombang-ambing, terpelanting, dan akhirnya terinjak.
Begitulah nasib orang yang tidak bisa mengendalikan diri. Dia akan hancur karena dirinya sendiri, kemuliaanya pun jatuh hanya karena hawa nafsu yang tak terkendali.
Tabiat nafsu adalah selalu tidak sebanding antara kesenangan yang didapat dengan akibat dan risiko yang harus ditanggung. Misalnya, ketika makanan haram masuk ke mulut kita. Memang enak, tetapi enak yang kita rasakan itu tidak akan lama karena hukum enak itu sedikit dan sebentar.
Cokelat terasa enak kalau kita makannya sedikit dan sebentar. Tapi jika kita makan dalam porsi yang banyak pasti akan menjadi masalah. Semua makanan itu tidak pernah lama di mulut kita. Tidak mungkin kita mengunyahnya selama berjam-jam. Sebab memang, yang namanya nikmat itu sudah dirancang oleh Allah. Sedikit dan sebentar, akan tetapi risikonya sangatlah besar. Seandainya masuk makanan haram ke perut kita, setidaknya 40 hari amal kita tidak diterima. Kalau jadi daging, haram ke surga dan doa kita tidak akan dijabah.
Di era saat ini sering kita temukan orang yang memakai pakaian yang terbatas, sehingga muncul keinginan sesekali untuk melihat yang tidak baik untuk dilihat. Apalagi ketika kita melihat acara televisi yang tidak layak ditonton karena isinya banyak adegan yang bisa merusak akhlak. Melihatnya hanya beberapa saat, namun bayangannya sulit dilupakan. Na’udzubillahi minzalik. Mudah-mudahan Allah mengampuni kita.
Nafsu syahwat merupakan bagian dari karunia nikmat Allah yang akan jadi amal saleh kalau dengan cara yang benar dan niat yang benar. Pemerkosa, hanya menyenangkan dirinya beberapa saat saja. Akan tetapi, dia telah berbuat keji dan nista. Dia menganiaya orang lain dan menghancurkan masa depan seseorang demi kesenangan yang hanya sesaat.
Bayangkan, hanya untuk kesenangan yang sesaat, mereka korbankan anak yang terlahir tanpa tahu siapa bapaknya. Selama hamil, orangtua gelisah karena tidak siap menerima kehadiran bayinya. Maka dari itu, kita harus mempunyai keahlian dalam mengendalikan hawa nafsu.
Ketika pulang dari perang badar yang sangat berat dan melelahkan, kurang lebih 300 orang kaum muslimin melawan hampir seribu orang kaum kafir. Rasulullah bersabda, “Kita akan menghadapi jihad yang lebih besar.” Para sahabatpun bertanya, “Ya Rasulullah, pertempuran seperti apa lagi? Bukankah baru saja kita mengalami pertempuran yang begitu berat?” Rasulullah menjawab, ”Jihad yang paling berat adalah jihad melawan hawa nafsu.”
Seharusnya bulan ramadhan menjadi saat di mana kita melatih diri secara sistematis dan efektif. Di saat setan-setan diikat, kita dapat melatih diri kita selama sebulan penuh sehingga ketika selesai bulan ramadan, kita sudah kuat menghadapi godaan setan.
Wahyu Deni Nafiul Azis
Mahasiswa Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya
Editor : Sitti Fathimah Herdarina Darsim