Meningkatkan Eksistensi dan Toleransi Budaya Melalui Media Sosial

Eksistensi dan toleransi budaya

Media Sosial dan Pemuda Masa Kini

Kita sering mendengar istilah media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Namun, apa sebenarnya media sosial itu? Media sosial merupakan sebuah media untuk bersosialisasi yang dilakukan secara daring. Sehingga memungkinkan manusia untuk tetap berinteraksi tanpa dibatasi jarak dan waktu. Berbagai macam media sosial sudah digunakan oleh berbagai kalangan di Indonesia, terutama kalangan muda. Menurut website Databoks 2020, YouTube menjadi juara pertama pengguna terbanyak yakni 88% dari seluruh pengguna sosial media di Indonesia. Disusul oleh WhatsApp dengan presentase pengguna 84%, Facebook sebesar 82%, Instagram sebesar 79%, dan Twitter sebesar 56%. Berdasarkan data tersebut, media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat masa kini.

Berbagai dampak dari media sosial, baik dampak positif maupun negatif sudah jelas terlihat di sekitar kita. Pemuda adalah salah satu pihak yang dapat diandalkan untuk menangkal efek negative tersebut. Apalagi di masa pandemi seperti ini, kekreatifan pemuda harus lebih terasah karena banyaknya waktu luang yang dimiliki. Salah satu caranya yakni dengan memanfaatkan media sosial sebagai sarana meningkatkan eksistensi dan toleransi berbudaya di Indonesia.

Meningkatkan Eksistensi Budaya Lewat Media Sosial

Hal kecil yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari dan sedang tren di masa pandemi yaitu pengumpulan tugas di media sosial bagi para mahasiswa. Mulai dari kegiatan menyampaikan pendapat sampai dengan hal-hal yang berkaitan dengan pelestarian budaya. Mungkin banyak mahasiswa yang merasa malu untuk mengunggah hasil pekerjaannya di media sosial. Tanpa kita sadari, hal kecil tersebut cukup berpengaruh bagi banyak orang. Terutama penyampaian tugas terkait budaya-budaya di Indonesia yang jarang diketahui.

Bacaan Lainnya
DONASI

Cara unik lainnya yang belum lama ini menjadi tren dalam rangka meningkatkan eksistensi budaya di Indonesia adalah Lathi Challenge. Kombinasi lipsync lagu bahasa Jawa dengan bahasa Inggris yang dipadukan dengan riasan wajah yang seram tersebut sudah menjadi tren hingga ke Amerika Serikat. Selain itu, berbagai lomba fotografi dengan tema budaya kerap digelar oleh berbagai instansi sebagai cara alternatif untuk melestarikan budaya di Indonesia. Contohnya Instagram Photo Competition – Pesona Cagar Budaya: Mahakarya Bidikan Kamera yang diselenggarakan oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Jakarta Photo Club pada Juli 2019 lalu.

Tidak hanya itu, penggunaan media sosial yang dapat dilakukan untuk melestarikan budaya juga dapat kita lihat di YouTube. Salah satunya pada kanal IndonesiaKaya yang sudah memiliki 144 ribu pengikut. Akun tersebut berisikan ratusan video bertemakan budaya Indonesia. Mulai dari tari tradisional, pameran batik, hingga berbagai pertunjukan wayang yang kerap ditayangkan secara live streaming. Banyaknya pengikut di suatu kanal YouTube seperti di kanal tersebut merupakan keuntungan tersendiri bagi pemiliknya. Karena YouTube menawarkan bayaran fantastis yang tentu saja baru bisa didapatkan dengan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Salah satu syaratnya yakni harus memiliki seribu pengikut. Oleh karena itu, tidak heran jika YouTube menjadi media sosial dengan pengguna terbanyak di Indonesia.

Kurangnya Toleransi Berbudaya

Berbagai upaya di atas tidak jarang menimbulkan konflik karena kurangnya toleransi di masyarakat. Sebagai contoh, sebuah video berdurasi sekitar 30 detik yang berisikan tradisi daerah memasak babi guling pernah beredar di media sosial TikTok dan sangat banyak menuai kecaman. Terutama dari kalangan mayoritas yang mengatakan bahwa memakan babi adalah hal yang haram. Padahal, sebagai masyarakat Indonesia yang heterogen, toleransi sangat diperlukan agar tidak terjadi perpecahan. Selain itu, konflik juga ditimbulkan karena adanya sifat etnosentrisme. Yaitu menilai kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri. Sehingga mereka selalu menganggap kebudayaan mereka lebih baik daripada kebudayaan lainnya.

Hal lain yang memicu konflik adalah kurang terbukanya pemikiran masyarakat Indonesia dengan video-video yang beredar di media sosial. Ada saja komentar yang menghubungkan tradisi suatu suku dengan ajaran agama. Padahal, tradisi-tradisi tersebut sudah ada sejak zaman nenek moyang dan akan terus dilakukan selama masih ada tokoh adat yang mengerti tentang pelaksanaan tradisi tersebut. Sebagai pemuda masa kini, seharusnya kita dapat berpikir lebih jauh tentang apa sebenarnya makna yang terkandung dari berbagai tradisi yang terkadang tidak logis jika dipikir menggunakan nalar. Maka dari itu, sikap saling memaklumi dan toleransi sangat diperlukan untuk tetap menjaga keutuhan bangsa ini.

Mensiasati Minimnya Toleransi Berbudaya

Menjadi penggerak toleransi berbudaya adalah “pekerjaan rumah” tersendiri bagi pemuda Indonesia. Memang hal tersebut tidaklah mudah, tetapi kita dapat memulai dari diri kita sendiri. Cara pertama adalah dengan refleksi diri, bayangkan apabila kita berada di posisi pihak yang dipojokkan, pasti kita akan merasa tidak nyaman. Oleh karena itu, kita tidak akan memojokkan orang lain hanya karena budaya mereka berbeda dengan kita.

Cara kedua adalah berteman dengan banyak orang dan tidak menutup diri dari pergaulan. Sejatinya, semakin banyak teman yang berasal dari berbagai latar belakang, kita akan lebih mudah belajar menyesuaikan sikap yang tepat dalam bergaul. Apalagi jika kita sudah nyaman berteman dengan seseorang atau suatu kelompok pergaulan, segala perbedaan yang ada di antara kita pasti dapat kita maklumi dengan mudah.

Setelah kita memulai belajar toleransi, barulah kita dapat menjadi penggerak toleransi di lingkungan sekitar kita. Banyak sekali hal-hal kreatif yang dapat kita lakukan untuk mengampanyekan toleransi budaya, salah satu cara yang sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari adalah sebuah video singkat maupun film pendek mengenai toleransi dengan konsep yang menarik. Skenario yang mengandung komedi dan sindiran justru lebih digemari masyarakat sehingga pesan yang disampaikan pada film tersebut akan mudah sampai kepada penonton. Jangan berputus asa apabila niat baik kita belum mendapat respon positif dari banyak orang, terkadang video yang bermanfaat cenderung kurang digemari masyarakat dibandingkan video lucu yang dapat viral dengan cepat.

Era Modern

Pada masa modern ini, pemuda dan media sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun zaman sudah modern, eksistensi kebudayaan di Indonesia tidak boleh pudar, justru menjadi tugas tersendiri bagi para pemuda untuk meningkatkan eksistensi budaya di Indonesia. Kombinasi ketersediaan sarana, kreativitas, dan keinginan pemuda menjadi dasar yang kokoh untuk terus mengembangkan eksistensi kebudayaan meskipun sering kali dihadapkan dengan berbagai konflik karena kurangnya toleransi berbudaya di Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan eksistensi budaya harus diiringi pula dengan peningkatan toleransi. Apabila kita sebagai pemuda sudah mengusahakan hal tersebut sebaik mungkin, media sosial akan lebih banyak memberikan banyak manfaat bagi bangsa ini.

Kurnia Putri Mirani
Mahasiswa UPN Veteran Jakarta

Editor: Diana Pratiwi

Baca Juga:
Menjadi Orang Yang Positif di Media Sosial
Pengaruh Media Sosial Terhadap Aqidah Manusia
Tawarkan Banyak Kemudahan, Gadget dan Media Sosial Juga Bisa Jadi Racun Bagi Generasi Muda

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI