Menjaga Harmoni dalam Pelangi Budaya: Tantangan Komunikasi Antarbudaya di Indonesia

Budaya Indonesia
Ilustrasi Wayang Kulit (Sumber: Media Sosial dari AI freepik.com)

Indonesia, sebuah negara kepulauan dengan lebih dari 1.300 suku dan 700 bahasa daerah, merupakan ladang subur bagi keragaman budaya. Namun, keberagaman ini bukan tanpa tantangan.

Di balik warna-warni yang membanggakan, ada dinamika komunikasi antarbudaya yang kerap menghadirkan gesekan, terutama dalam era modern yang kian mengaburkan batas-batas antara budaya lokal dan pengaruh global. Maka, penting bagi kita mengelola keharmonisan ini dengan pendekatan komunikasi antarbudaya yang cerdas, adaptif, dan empatik.

 

Benturan Nilai: Tradisional vs Modern

Salah satu tantangan utama komunikasi antarbudaya di Indonesia adalah benturan nilai antara budaya tradisional dan modern. Ambil contoh dalam konteks komunikasi antar generasi.

Bacaan Lainnya

Generasi muda yang tumbuh dengan nilai-nilai global kerap berbenturan dengan nilai adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat desa. Hal ini sering menimbulkan konflik komunikasi, seperti dalam kasus perdebatan antara pelestarian tradisi Kawin Adat dengan hak individu atas pilihan pasangan hidup.

Dalam kerangka komunikasi antarbudaya, ini adalah contoh dari ketidaksesuaian asumsi budaya (assumption mismatch). Masyarakat tradisional menjadikan harmoni kelompok dan kepatuhan sebagai nilai utama (collectivism), sementara generasi muda yang lebih terpapar budaya global cenderung menekankan hak individu dan kebebasan (individualism).

Baca juga: Mahasiswa/i Politeknik Pariwisata Lombok Melestarikan Budaya Tradisional Wayang Sasak di Desa Puyung

 

Bahasa: Penghubung atau Penghalang?

Bahasa adalah instrument komnuikasi utama, namun di Indonesia yang multilingual bahasa bisa jadi penghubung sekaligus penghalang. Misalnya, program pemerintah yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia kadang tidak terserap maksimal di daerah yang masih dominan menggunakan bahasa daerah.

Di sisi lain, penggunaan bahasa Inggris dalam komunikasi bisnis juga bisa menciptakan ekslusivitas, mengabaikan kelompok masyarakat yang belum menguasainya.

Konsep Linguistic Relativity menunjukkan bahwa Bahasa bukan hanya alat menyampaikan pesan, tetapi juga membentuk cara berpikir. Maka dari itu, kebijakan komunikasi publik harus memperhitungkan keragaman Bahasa agar tak terjadi dominasi budaya tertentu atas yang lain.

 

Interaksi Global dan Ancaman Homogenisasi

Globalisasi menciptakan ruang baru dalam komunikasi antarbudaya. Namun, keterbukaan informasi dan budaya asing yang masif juga dapat mengikis identitas lokal. Mislanya, tren K-pop di kalangan remaja yang begitu kuat, kadang disertai pengabaian terhadap music tradisional seperti keroncong atau gamelan. Fenomena ini menunjukkan dinamika cultural imperialism, di mana budaya dominan global menggantikan budaya lokal.

Baca juga: Kebudayaan Lokal dalam Era Globalisasi

Tantangannya adalah bagaimana membuat budaya lokal teteap relevan, bukan dengan, menolak budaya luar melainkan dengan akomodasi kreatif menciptakan ruang interkultur yang menggabungkan keduanya secara sehat.

 

Mengelola Keharmonisan: Pendidikan dan Literasi Budaya

Untuk mengelola komunikasi antarbudaya yang harmonis, perlu upaya sistematis. Pendidikan multicultural harus masuk dalam kerikulum sejak dini.

Anak-anak perlu diajak mengenal tidak hanya kebudayaan daerahnya, tetepai juga budaya lain di Indonesia dan dunia. Program pertukaran pelajar lintas daerah atau program lintas agama juga bisa menjadi wahana efeltif menumbuhkan empati dan sensitivitas budaya.

Di ranah media, penyajian konten yang mewakili keberagaman budaya secara adil dan menarik harus lebih diperkuat. Media massa dan digital memiliki tanggung jawab untuk tidak mereproduksi stereotip, tapi justru menjadi jembatan komunikasi antar kelompok budaya.

 

Komunikasi sebagai Jalan Tengah

Komunikasi antarbudaya bukan tentang menghapus perbedaan, melainkan bagaimana merayakan perbedaan dalam pengertian yang saling menguatkan. Di Tengah tantangan disinformasi, homogenisasi budaya, dan ketimpangan representasi, komunikasi antarbudaya yang bijak adalah kunci untuk menjaga Indonesia tetap utuh dan dalam keberagamannya.

Sebagaimana pepatah Jawa berkata, urip iku urup yang bermakna hidup itu memberi cahaya. Maka mari jadikan komunikasi kita bukan alat untuk membakar, tetapi untuk menerangi perbedaan dengan pengertian.

 

Penulis: Maria Christy Adiningtyas
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses