Menjawab Fenomena Fatherless di Indonesia dengan Konseling Multibudaya

Fenomena Fatherless
Ilustrasi: Mommidhi.

Fenomena fatherless dalam kehidupan anak kini menjadi isu sosial dan budaya yang semakin mendapat sorotan di Indonesia. Selama ini, meskipun istilah fatherless lebih populer di negara-negara Barat, data dan dinamika sosial di tanah air menunjukkan bahwa Indonesia juga tengah menghadapi tantangan serupa.

Fenomena ini mengacu pada kondisi ketika seseorang anak dalam keluarganya tumbuh tanpa kehadiran atau keterlibatan aktif dari ayah kandung, baik karena perceraian, perpisahan, kematian, maupun migrasi kerja.

Faktor fatherless lainnya seperti ayah yang lepas tanggung jawab atau bahkan tidak diketahui identitasnya sehingga timbul budaya patriarkis yang menganggap pengasuhan dalam keluarga hanyalah tugas seorang ibu atau istri.

Dilansir dari NU Online, menurut data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada tahun 2021, sekitar 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah dalam kehidupan mereka. Di sisi lain, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun yang sama mencatat bahwa jumlah anak usia dini di Indonesia mencapai 30,83 juta jiwa.

Bacaan Lainnya

Dari angka tersebut, terdapat 2,67% atau 826.875 anak usia dini tidak tinggal bersama kedua orang tua kandung mereka, serta sekitar 7,04% atau 2.170.702 anak hanya diasuh oleh ibu kandung. Jika dijumlahkan, sekitar 2.999.577 anak usia dini tidak hidup bersama ayah mereka.

Angka ini tentu sangat besar, apalagi jika mempertimbangkan anak-anak yang secara fisik tinggal bersama ayah tetapi tidak merasakan kehadiran emosional, perhatian, dan kasih sayang dari sosok ayah. Dampak dari fenomena fatherless pun tidak bisa dianggap remeh.

Anak-anak yang tumbuh tanpa sosok ayah cenderung mengalami masalah dalam regulasi emosi, memiliki kepercayaan diri yang rendah, dan berisiko tinggi mengalami kenakalan remaja atau gangguan psikologis (Amato & Keith, 1991).

Namun, isu fatherless bukan hanya soal kehadiran sosok ayah dari segi tampilan fisik, melainkan juga berkaitan erat dengan dinamika budaya, peran gender, dan nilai-nilai keluarga yang berlaku di masyarakat.

Kuatnya budaya patriarki di banyak daerah di Indonesia seperti anggapan bahwa sosok ayah adalah kepala keluarga, penentu arah, dan penopang ekonomi. Ketika peran ini tidak dijalankan atau hilang, anak dan ibu sebagai pengasuh utama sering mengalami stigma sosial, tekanan ekonomi, serta krisis identitas dalam keluarga.

Menyikapi Fatherless melalui Lensa Konseling Multibudaya

Fenomena fatherless di Indonesia tidak lepas dari pengaruh budaya patriarki, stigma terhadap perceraian, serta persepsi maskulinitas yang salah kaprah. Untuk memahami dan menangani fenomena fatherless, penerapan pendekatan konseling multibudaya menjadi sangat relevan.

Salah satu teori yang dapat digunakan yaitu Teori Kesadaran Budaya (Cultural Awareness Theory) yang dikembangkan oleh Sue & Sue (2016).

Teori ini menekankan bahwa konselor perlu menyadari pentingnya latar belakang budaya yang dimiliki konseli, termasuk nilai-nilai yang memengaruhi cara individu menghadapi permasalahan.

Kembali pada fenomena fatherless, ketika menemukan konseli dengan kondisi seperti ini, konselor perlu menyadari bahwa setiap individu dan keluarga memiliki latar belakang budaya yang berbeda dalam memaknai kehadiran serta peran seorang ayah.

Dalam budaya Jawa misalnya, seorang ayah dapat dimaknai sebagai pemimpin moral dan simbol kekuatan. Sedangkan dalam budaya urban modern, peran ayah bisa lebih fleksibel dan partisipatif.

Kesadaran budaya ini memungkinkan konselor untuk tidak menyamaratakan pengalaman konseli yang mengalami fatherless, tetapi lebih pada memahami bahwa dampak psikologis dan sosial bisa sangat beragam tergantung pada budaya, agama, serta kelas sosial-ekonomi konseli.

Baca Juga: Indonesia Fatherless Country Ketiga di Dunia: Urgensi Kesetaraan Gender demi Ketahanan Keluarga Indonesia

Solusi Praktis Fenomena Fatherless dari Perspektif Konseling Multibudaya

Untuk menangani fenomena fatherless, terdapat beberapa pendekatan yang dapat diterapkan dari perspektif konseling multibudaya di antaranya:

1. Pendidikan Parental Multikultural

Konselor dapat menyelenggarakan program atau kelas untuk para orang tua agar mereka memahami betapa pentingnya kehadiran emosional seorang ayah dalam tumbuh kembang anak.

Dalam kegiatan ini, orang tua diajak berdiskusi dengan cara yang ramah, memakai bahasa yang sederhana, dan tidak menghakimi. Tujuannya adalah mengubah pandangan lama bahwa peran ayah hanya sebatas mencari nafkah.

2. Pendampingan Khusus untuk Anak Fatherless

Anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah sering menyimpan perasaan sedih, kecewa, atau marah. Mereka perlu tempat yang aman untuk bercerita dan mendapat dukungan. Anak yang mengalami fatherless juga perlu mendapat ruang untuk memproses perasaan kehilangan serta membangun konsep diri yang sehat.

Konselor bisa memberikan pendampingan yang memahami latar belakang budaya mereka supaya tidak merasa berbeda atau disalahkan. Pendekatan ini membantu mereka membangun rasa percaya diri dan memahami bahwa mereka tetap berharga meskipun tumbuh tanpa sosok ayah.

3. Pelibatan Figur Alternatif yang Positif

Jika ayah kandung tidak bisa hadir dalam kehidupan anak, konselor bisa membantu keluarga mencari sosok laki-laki lain yang bisa menjadi panutan, seperti kakek, paman, guru, atau tokoh masyarakat.

Anak akan merasa dilindungi dengan kehadiran mereka, diberi bimbingan, dan dicontohkan nilai-nilai yang baik seperti tanggung jawab, keberanian, dan kasih sayang. 

Fenomena fatherless tidak hanya sekadar persoalan keluarga, tetapi masalah budaya yang memengaruhi generasi masa depan bangsa. Indonesia dengan keberagaman budayanya, menjadikan pendekatan konseling harus lebih adaptif terhadap keragaman nilai, norma, dan struktur sosial.

Diharapkan melalui konseling multibudaya dapat menghadirkan solusi yang tidak hanya menyentuh individu tetapi juga membangun kembali harmoni dalam masyarakat.

Penulis: Vannissa Nur Meilandani
Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Sebelas Maret Surakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses