Indonesia Fatherless Country Ketiga di Dunia: Urgensi Kesetaraan Gender demi Ketahanan Keluarga Indonesia

Keluarga
Ilustrasi: istockphoto

Abstrak

Ika Ayuni Lestari,  Indonesia Fatherless Country Ketiga di Dunia: Urgensi Kesetaraan Gender demi Ketahanan Keluarga Indonesia, HMI Komisariat Syariah, Cabang Pontianak, 2023.

Tujuan dari artikel ini: 1) Mengetahui pengertian fatherless yang disematkan dunia kepada Indonesia; 2) Mengetahui fungsi kesetaraan gender dalam keluarga; 3) Mengetahui peran perempuan dalam membentuk ketahanan keluarga.

Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian normatif. Teknik pengumpulan data ialah studi kepustakaan dengan sumber data primer dari data lembaga dan sumber data sekunder dari referensi literasi.

Bacaan Lainnya
DONASI

Hasil penelitian: 1) Fatherless berasal dari bahasa Inggris yang artinya tanpa ayah. Maksudnya adalah situasi di mana seorang ayah absen dalam pola pengasuhan anaknya entah itu karena meninggal, cerai, masuk penjara, kerjaan, atau faktor apa pun yang menyebabkan seorang ayah tidak turut hadir dalam proses tumbuh kembang seorang anak. 2) Sebuah keluarga yang saling support kesetaraan gender antara perempuan dan lelaki membentuk keluarga yang cenderung harmonis. Keluarga yang harmonis adalah tujuan ketahanan keluarga. 3) Perempuan berperan lebih besar dalam melahirkan dan membentuk anak yang tidak pro patriarki atau pada hal paling dasar pembentukan sebuah keluarga adalah memilih pasangan yang mendukung kesetaraan gender untuk sama-sama mematri generasi yang lebih baik dengan pola asuhan orang tua yang lengkap. Karena kesetaraan gender tidak akan bisa menumbangkan akar patriarki tanpa adanya dukungan dari laki-laki.

Kata Kunci: Fatherless, Kesetaraan Gender, Ketahanan Keluarga.

Pendahuluan

Tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk paling padat di dunia menjadikan pemerintah Indonesia menerapkan aturan Keluarga Berencana dengan slogannya ‘Dua Anak Lebih Baik’.

Menuju perkembangan Revolusi Industri 4.0 yang mulai berganti menjadi Society 5.0 mengharuskan para generasi negara ini untuk tidak berbangga akan jumlah penduduk yang ramai, tetapi terfokus untuk mementingkan kualitas masyarakatnya daripada angka kuantitas penduduk yang tinggi.

Peningkatan level kualitas penduduk dimulai dari sektor politik paling kecil dari sebuah negara yaitu keluarga. Berkaca dari jumlah penduduk yang ramai, nyatanya dalam sebuah survei yang disebutkan oleh Menteri Sosial RI Khofifah Indar Parawansa, keluarga di Indonesia tercatat sebagai keluarga dengan tingkat fatherless country ketiga di dunia.

Fatherless adalah situasi di mana seorang ayah absen dalam pola pengasuhan anaknya entah itu karena meninggal, cerai, masuk penjara, kerjaan, atau faktor apa pun yang menyebabkan seorang ayah tidak turut hadir dalam proses tumbuh kembang seorang anak.

Penyebab Indonesia menjadi negara fatherless sebagaimana yang dimuat dalam jurnal oleh Kezia dan Tri bahwa terdapat beberapa fakta yang menyebabkan hilangnya peran ayah di Indonesia yakni tingkat perceraian yang meningkat menjadi 14% di tahun 2014, serta hukum tradisional pernikahan Indonesia tahun 1974 yang membagi posisi ayah hanya sebagai penyedia kebutuhan ekonomi, sementara ibu yang berperan untuk mengurus rumah dan merawat anak (Kezia, 2019).

Pemahaman patriarki tradisional yang kental pada masyarakat menjadi salah satu penyebab angka perceraian yang tinggi, di mana pernikahan dini yang lumrah terjadi di Indonesia membuat seorang ayah muda kurang tertanam ilmu parenting sebelum pernikahan yang kadang juga dicekoki seksisme oleh generasi tua dan banyak ayah yang bahkan sudah di usia matang merasa lebih memiliki superior atas kekuasaan penuh istrinya.

Pernikahan dini yang rentan untuk rumah tangga para anak muda terlebih mereka yang kekurangan segi finansial, menuntut seorang ayah lebih banyak disibukkan dengan pekerjaan dan meminta ibu yang memegang kendali penuh untuk pengasuhan anak.

Keluarga merupakan sumber utama dan pertama dalam proses penanaman nilai dan norma. Penanaman ini dilakukan lewat interaksi sosial. Nilai itu dapat diartikan sebagai sikap dan perasaan yang diperlihatkan oleh seseorang tentang baik-buruk, benar-salah, suka-tidak suka terhadap objek material maupun non material (Husmiati, 2018).

Untuk membentuk generasi berkualitas dimulai dari sejak anak masih kecil, dan pola pendidikan anak adalah meniru. Maka interaksi dan porsi yang seimbang antara suami sebagai ayah dan istri sebagai ibu perlu diperlihatkan agar anak belajar tentang urgensi kesetaraan gender.

Tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara suami-istri. Istri mendapat hak dan kewajibannya yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri (MUI, 2018). Di mana pengasuhan seorang ayah memiliki banyak perkembangan positif untuk tumbuh kembang anak.

Sebuah keluarga yang saling support kesetaraan gender antara perempuan dan lelaki membentuk keluarga yang cenderung harmonis.

Keluarga yang harmonis adalah tujuan ketahanan keluarga, maka perempuan berperan lebih besar dalam melahirkan dan membentuk anak laki-laki yang tidak pro patriarki atau pada hal paling dasar pembentukan sebuah keluarga adalah memilih pasangan yang mendukung kesetaraan gender untuk sama-sama membentuk generasi yang lebih baik dengan pola asuhan orang tua yang lengkap.

Pembahasan

Indonesia: Negara Fatherless Ketiga di Dunia

Tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk paling padat di dunia, nyatanya dalam sebuah survei yang disebutkan oleh Menteri Sosial RI Khofifah Indar Parawansa, keluarga di Indonesia tercatat sebagai keluarga dengan tingkat fatherless country ketiga di dunia.           

Sebuah riset terbaru dari Global Fatherless Children atau Fatherless Country dengan laporan studi berjudul Fatherless in Indonesia and Its Impact on Children’s Psychological Development yang dilakukan Yulinda Ashari menjelaskan bahwa fatherless bisa berarti ketiadaan peran dan figur ayah dalam kehidupan seorang anak.

Laporan “State of the World’s Fathers” yang dirilis Rutgers Indonesia pada 2015 juga menyebut budaya patriarki sebagai salah satu alasan ketidakhadiran ayah dalam perkembangan anak di Indonesia (Siera, 2023).

Fatherless berasal dari bahasa Inggris yang artinya tanpa ayah. Maksudnya adalah situasi di mana seorang ayah absen dalam pola pengasuhan anaknya entah itu karena meninggal, cerai, masuk penjara, kerjaan, atau faktor apa pun yang menyebabkan seorang ayah tidak turut hadir dalam proses tumbuh kembang seorang anak.

Penyebab Indonesia menjadi negara fatherless sebagaimana yang dimuat dalam jurnal oleh Kezia dan Tri bahwa terdapat beberapa fakta yang menyebabkan hilangnya peran ayah di Indonesia yakni tingkat perceraian yang meningkat menjadi 14% di tahun 2014, serta hukum tradisional pernikahan Indonesia tahun 1974 yang membagi posisi ayah hanya sebagai penyedia kebutuhan ekonomi, sementara ibu yang berperan untuk mengurus rumah dan merawat anak (Kezia, 2019).

Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Diana Setiyawati menyampaikan bahwa fenomena fatherless ini perlu diperhatikan. Pasalnya, dampak dari minimnya peran ayah cukup besar bagi anak. Peran ayah ikut membentuk identitas seksual anak.

Keterlibatan ayah memberikan gambaran mengenai perbedaan gender, terutama pada anak laki-laki ayah menjadi role model dalam menjalankan perannya sebagai laki-laki. Sikap hangat dan positif ayah terhadap anak terutama laki-laki dapat membentuk maskulinitas. Cara mengasuh anak, tentu melibatkan kehadiran ayah secara tatap muka.

Pengasuhan juga memengaruhi perkembangan emosi. Relasi positif antara ayah dan anak akan membantu anak mengembangkan emosi yang matang. Tak hanya itu, ayah yang memberikan dukungan emosi atau terlibat pengasuhan bisa mengurangi beban yang dimiliki ibu sehingga turut memengaruhi kualitas hubungan antara ibu dan anak (Caesaria, 2023).

Kesetaraan Gender dalam Keluarga

Gender adalah peran dan tanggung jawab yang ditujukan kepada laki- laki dan juga perempuan. Peran ini ditetapkan oleh masyarakat dan budaya (konstruksi sosial).

Gender mempunyai kaitan dengan suatu proses keyakinan (ideologi), mengenai bagaimana seorang laki-laki dan perempuan diharapkan untuk dapat berpikir maupun bertindak, sesuai dengan ketentuan sosial dan juga budaya pada wilayah mereka masing-masing.

Pembahasan mengenai gender dapat diartikan sebagai pembahasan tentang posisi perempuan dan laki-laki dalam hal akses, peran, dan kontrol keduanya terhadap sumber-sumber kehidupan, tanggung jawab, manfaat. hak-hak, dan lain-lain (Dalimoenthe, 2020).

Berbicara tentang gender, maka tak bisa dilepaskan dengan peran gerakan feminisme. Di mana tujuan feminisme adalah penyamarataan hak dan kedudukan antara lelaki dan perempuan, sedangkan kesetaraan gender adalah keinginan sosial yang mengharapkan porsi sikap dan mindset yang bebas dan tidak ditentukan patriarki tradisional, yang selalu berkutat bahwa lelaki harus maskulin dan perempuan wajib feminin.

Feminisme adalah gerakan politik, budaya, atau ekonomi yang bertujuan untuk menegakkan persamaan antara hak dan perlindungan hukum bagi perempuan.

Feminisme melibatkan teori dan filosofi politik dan sosiologis yang berkaitan dengan masalah perbedaan gender, serta gerakan yang mengadvokasi kesetaraan gender bagi perempuan dan kampanye untuk hak dan kepentingan perempuan.

Feminisme adalah gerakan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, dan penindasan. Jelas bahwa masalahnya adalah seksisme (Gaviota, 2021).

Ditegaskan bahwa gerakan feminisme adalah penyetaraan  politik, budaya, ekonomi, hak dan perlindungan hukum bagi perempuan, bukan perihal fisik.

Bisa saja mental perempuan lebih kuat dari lelaki, tapi perihal fisik sangat jelas bahwa perempuan akan selalu kalah dari lelaki. Oleh karenanya peran seorang ayah dalam keluarga sangat berarti untuk mengimbangi fisik perempuan pada perannya mendidik anak.

Sebuah keluarga yang saling support kesetaraan gender antara perempuan dan lelaki membentuk keluarga yang cenderung harmonis.

Keluarga yang harmonis adalah tujuan ketahanan keluarga, maka perempuan berperan lebih besar dalam melahirkan dan membentuk anak yang tidak pro patriarki atau pada hal paling dasar pembentukan sebuah keluarga adalah memilih pasangan yang mendukung kesetaraan gender untuk sama-sama mematri generasi yang lebih baik dengan pola asuhan orang tua yang lengkap.

Karena kesetaraan gender tidak akan bisa menumbangkan akar patriarki tanpa adanya dukungan dari laki-laki. Feminisme juga memerlukan lelaki.

Faktanya perempuan yang berusia lebih tua lebih kuat menanamkan budaya patriarki kepada penerusnya, penyebabnya sederhana, mereka merasa harus menganut faham seksisme karena khawatir pasangannya mengganti mereka dengan perempuan yang lebih muda.

Penyebab Indonesia menjadi negara fatherless sebagaimana yang dimuat dalam jurnal oleh Kezia dan Tri bahwa terdapat beberapa fakta yang menyebabkan hilangnya peran ayah di Indonesia yakni tingkat perceraian yang meningkat menjadi 14% di tahun 2014, serta hukum tradisional pernikahan Indonesia tahun 1974 yang membagi posisi ayah hanya sebagai penyedia kebutuhan ekonomi, sementara ibu yang berperan untuk mengurus rumah dan merawat anak.

BPS (Badan Pusat Statistik) menyebutkan bahwa dari 700.000 laki-laki yang menikah, 3,17%-nya adalah ayah yang masih remaja, di mana mereka menjadi ayah ketika masih sangat muda, masih sekolah, dan masih bergantung dengan orangtua mereka sendiri. Hal ini berdampak pada ketidaksiapan mereka dalam berperan sebagai ayah (Kezia, 2019).

Pengasuhan anak dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (2015) Bab XII tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 77 Nomor 3 bahwa suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya.

Terdapat kesetaraan gender dalam keluarga dalam pengasuhan anak mengacu pada KHI. Namun KHI juga dualisme antara kesetaraan gender dengan gender, terdapat konsep patriarki yang cukup jelas diterakan dalam KHI antara kewajiban seorang suami dan kewajiban seorang istri.

Secara lebih rinci, kewajiban seorang suami pada Pasal 80 ialah sebagai pembimbing, pelindung, pemberi keperluan nafkah lahir batin dan pendidikan agama rumah tangganya. Kewajiban istri pada Pasal 83 adalah berbakti lahir batin dan mengatur keperluan rumah tangganya.

Laki-laki sering kali bersedia menerima kesetaraan dengan perempuan di segala bidang kecuali dalam hal seksualitas. Laki-laki tidak pernah beranjak dari asumsi seksis bahwa kinerja seksual perempuan harus ditentukan oleh keinginan lelaki.

Banyak perempuan yang berhubungan seksual hanya karena lelaki menginginkannya. Perempuan harus merasa bebas dalam memilih praktik seksualnya di dunia yang setara (Gaviota, 2021).

Pada perempuan karier, untuk mendapatkan pengakuan atas kekuasaannya, tak jarang lelaki menggunakan kekerasan agar perempuannya tetap patuh pada aturan patriarki.

Kekerasan ini bermacam bentuk, mulai dari kekerasan fisik, seksualitas, bahkan tak jarang anak ikut menjadi korban kekerasan secara langsung, anak yang melihat terjadinya kekerasan juga turut membentuk perilaku yang membuatnya berakhir menjadi pribadi yang membenarkan segala bentuk kekerasan sebagai pembenaran.

Kekerasan terhadap anak ini dilakukan tak hanya oleh laki-laki tapi juga oleh perempuan. Seorang perempuan yang mengajarkan kekerasan lebih membahayakan karena mereka juga turut membentuk pembenaran patriarki kepada penerusnya.

Hanya saja kebanyakan keluarga tidak menyadari bahwa penggunaan kekerasan juga termasuk patriarki dalam hubungan antara suami, istri, dan juga anak, patriarki untuk mendapatkan pengakuan atas kekuasaan penuh.

Sistem hierarki di dalam budaya menggunakan kekuatan koersif untuk mempertahankan domina. Sedangkan di dalam budaya dominasi, setiap orang dapat melihat kekerasan sebagai alat kontrol sosial yang dapat diterima. Pihak dominan mempertahankan kekuasaan dengan ancaman.

Hukuman yang melecehkan secara fisik ataupun psikologis digunakan setiap kali struktur hierarki merasa terancam.

Ketika semakin banyak laki-laki yang menerima upah rendah dan lebih banyak perempuan yang memasuki dunia kerja, maka beberapa laki-laki merasa bahwa penggunaan kekerasan merupakan satu-satunya cara untuk membangun dan mempertahankan kekuasaan dan dominasi dalam hierarki peran seksis (Gaviota, 2021).

Firestone menunjukkan bahwa patriarki laki-laki, juga sosialisasi perempuan dalam keluarga telah mendorong partisipasi sosial seperti tenaga kerja sehingga membenarkan tidak hanya kesenjangan sosial, tetapi ketimpangan kesempatan.

Pada struktur patriarkal, perilaku kekerasan laki-laki tidak dianggap irasional dan muncul dari kekuatan di luar kontrol dan pemahaman mereka, dan patriarki membenarkan penyerangan terhadap istri sebagai salah satu dari banyak bentuk penaklukan perempuan untuk laki-laki (Susanti, 2020).

Dalam level analisa makro, konteks sosial budaya dan ekonomi di dalam keluarga berpengaruh pada cara individu berinteraksi dalam keluarga, serta pada norma dan nilai yang ditularkan kepada anak-anak melalui sosialisasi.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam banyak hal, perilaku individu disusun oleh konteks sosial-budaya dan ekonomi di mana individu berada, serta menunjukkan bahwa ideologi yang berkaitan dengan nilai normatif kekerasan telah diidentifikasi sebagai faktor risiko yang signifikan.

Mereka menekankan bahwa setiap model yang mencoba untuk memahami pasangan kekerasan intim, perlu hadir sebagai asosiasi dan faktor mediasi, serta proses yang terpusat yang dipengaruhi oleh ide-ide tentang maskulinitas dan posisi perempuan dalam masyarakat dan ide-ide tentang penggunaan kekerasan.

Sementara itu, Peacock berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga intim, tingkat kekerasan di masyarakat luas, dan toleransi untuk kekerasan ini saling berkaitan. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam masyarakat memberikan kontribusi untuk kekerasan dalam keluarga, yang diperburuk ketika tingkat ketimpangan ekonomi dan tekanan terkait dengan kemiskinan yang tinggi (Susanti, 2020).

Di sinilah perempuan harus memahami perannya, memilih pasangan dan membentuk generasi dalam keluarga yang saling mendukung kesetaraan gender. Bahwa fokus kesetaraan gender sekarang adalah penanaman pada anak-anak sejak mereka masih kecil.

Ada istilah, ‘Jaga anak perempuanmu, didiklah anak lelakimu’, karena menyangkut persoalan fisik, lelaki akan selalu menang atas perempuan, oleh karenanya penanaman prinsip dan pendidikan kesetaraan pada anak laki-laki perlu ditekankan.

Terlebih kasus kekerasan dan pelecehan lebih banyak dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan daripada perempuan kepada laki-laki. Sekarang kita perlu mengajarkan kepada laki-laki untuk lebih menjaga mata serta fikirannya, dan perempuan untuk menjaga bagaimana dia berpakaian dan bertingkah laku demi membantu mata lelaki.

Maka pendidikan ini dimulai dari seorang ibu dan ayah yang saling bekerjasama memberikan contoh yang baik karena anak adalah seorang peniru yang ulung.

Salah satu intervensi paling positif yang dilakukan gerakan feminis atas nama anak-anak adalah menciptakan kesadaran rentang perlunya laki-laki berpartisipasi secara setara di dalam pengasuhan.

Dalam budaya yang menganggap keluarga patriarkal dengan dua orang tua lebih dihargai daripada pengaturan lainnya, maka semua anak merasa tidak aman secara emosional ketika keluarga mereka tidak memenuhi standar tersebut.

Usaha mengakhiri dominasi patriarki terhadap anak-anak adalah satu-satunya cara untuk menjadikan keluarga sebagai tempat yang aman bagi anak-anak (Gaviota, 2021). Anak-anak yang dididik oleh orang tua lengkap dengan pola asuh cenderung membentuk anak cerdas dan berperilaku baik. Lelaki juga bisa mengasuh seperti perempuan asal mereka mau.

Father involvement itu sendiri merupakan suatu konsep yang muncul dari pemikiran bahwa perkembangan fisik dan psikologis anak yang optimal tidak hanya dipengaruhi oleh faktor keterlibatan ibu dalam pengasuhan, tetapi juga oleh faktor keterlibatan ayah.

Kemampuan seorang laki-laki sebagai ayah dalam pengasuhan anak dikatakan tidak berbeda dengan kemampuan seorang perempuan sebagai ibu apabila keduanya diberikan dukungan untuk melakukan peran pengasuhannya masing-masing (K. Hedo, 2020).

Ketahanan Keluarga

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, ketahanan adalah kekuatan (hati, fisik): kesabaran ketahanan keluarga biasa didefinisikan dengan: suatu keadaan di mana suatu keluarga memiliki kemampuan fisik maupun psikis untuk hidup mandiri dengan mengembangkan potensi diri bagi masing-masing individu dalam keluarga tersebut, untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia, lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat kelak (MUI, 2018).

Ketahanan keluarga sebagai salah satu pondasi ketahanan nasional sudah menjadi perhatian negara dengan dirumuskannya undang-undang yang berkaitan dengan keluarga.

Hal ini dituang pada UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang mendefinisikan: Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.

Ketahanan keluarga atau resiliensi keluarga merupakan suatu kemampuan keluarga sebagai sistem fungsional untuk bangkit dari keterpurukan. Pada dasarnya resiliensi bukan sekadar bertahan dari musibah bahkan menghindarinya, banyak yang bertahan secara fisik melewati musibah namun secara psikologis berlarut-larut dalam trauma dan kecemasan.

Jadi keluarga yang memiliki resiliensi akan merespon secara positif suatu musibah yang buruk dalam berbagai cara, tergantung pada konteks, fase perkembangan, interaksi faktor risiko dan pelindung, dan pandangan bersama keluarga (Fatahillah, 2021).

Ketahanan keluarga tidak hanya membahas persoalan ekonomi keluarga saja, di mana keluarga yang berhasil keluar dari permasalahan perekonomian dianggap keluarga yang bertahan.

Tapi ketahanan keluarga juga mencakup bagaimana kondisi psikologi masing-masing anggota keluarga, bagaimana anggota keluarga keluar dari rasa trauma dan merasa saling melindungi, serta bagaimana pandangan keluarga tersebut.

Pandangan ini salah satunya apakah terdapat kesetaraan gender di dalam keluarga, atau keluarga masih berprinsip seksisme untuk kekuasaan setiap anggota keluarga. Keluarga yang setara akan hak dan kewajibannya membentuk rasa psikologi yang aman dan jauh dari rasa trauma apalagi kekerasan daripada keluarga yang menomorsatukan seksisme pada masing-masing anggotanya.

Urgensi Kesetaraan Gender demi Ketahanan Keluarga

Penanaman kesetaraan gender harus dimulai dari lingkup negara paling kecil yaitu keluarga. Perempuan sebagai yang paling vokal di masyarakat dalam menyuarakan kesetaraan gender dalam segala sektor mulai dari ekonomi, politik, budaya, hak dan perlindungan hukum adalah kunci dari terbentuknya kesetaraan gender dalam ketahanan keluarga.

Pembentukan ketahanan keluarga dengan pola kesetaraan gender dimulai dari memilih pasangan yang saling support tentang hal yang sama, lelaki yang mendewakan patriarki sulit untuk diajak kompromi.

Keluarga yang sama-sama memaklumi kesetaraan gender cenderung melahirkan generasi yang berfaham sama.

Keluarga yang memaklumi kelebihan dan kelemahan gender masing-masing cenderung aman dan harmonis dari kekerasan dalam rumah tangga, yang mana isu KDRT termasuk penyebab paling tinggi dalam perceraian, karena tanpa disadari kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena adanya patriarki yang menginginkan satu personal diakui secara politik dan organisasi.

Anak yang lahir tanpa ikut peran ayah dalam pengasuhannya entah itu karena perceraian orang tua, ayah yang meninggal, ayah yang sibuk bekerja, atau lain hal yang menyebabkan ayah tidak bisa ikut membantu mengasuh, tumbuh dengan kekurangan kasih sayang, anak laki-laki tanpa pengasuhan ayah cenderung membentuk anak yang keras dan egois sedangkan anak perempuan tanpa peran pengasuhan ayah cenderung mudah ditaklukkan lelaki maka ini akan berakhir pada mudahnya terjadi pemerkosaan dan pernikahan dini.

Salah satu kesulitan utama yang dihadapi para pemikir feminis ketika menghadapi seksisme di dalam keluarga adalah kenyataan bahwa orang tua perempuan menjadi penyebar seksisme. Bahkan, di dalam rumah tangga yang tidak memiliki pengasuh orang tua laki-laki dewasa, para perempuan mengajari anak-anak mereka pemikiran yang seksis.

Ironisnya, banyak orang yang beranggapan bahwa setiap rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan akan otomatis menjadi matriarkal.

Padahal, perempuan yang menjadi kepala rumah tangga di dalam masyarakat patriarki sering kali merasa bersalah karena tidak memiliki sosok laki-laki yang dapat menyampaikan nilai-nilai seksis kepada anak laki-laki (Gaviota, 2021).

Penutup

Kesimpulan

Disebutkan oleh Menteri Sosial RI Khofifah Indar Parawansa, keluarga di Indonesia tercatat sebagai keluarga dengan tingkat fatherless country ketiga di dunia.

Fatherless adalah situasi di mana seorang ayah absen dalam pola pengasuhan anaknya entah itu karena meninggal, cerai, masuk penjara, kerjaan, atau faktor apa pun yang menyebabkan seorang ayah tidak turut hadir dalam proses tumbuh kembang seorang anak.

Penyebab Indonesia menjadi negara fatherless salah satunya karena adanya patriarki. Sebuah keluarga yang saling support kesetaraan gender antara perempuan dan lelaki membentuk keluarga yang cenderung harmonis.

Keluarga yang harmonis adalah tujuan ketahanan keluarga, maka perempuan berperan lebih besar dalam melahirkan dan membentuk anak yang tidak pro patriarki atau pada hal paling dasar pembentukan sebuah keluarga adalah memilih pasangan yang mendukung kesetaraan gender untuk sama-sama mematri generasi yang lebih baik dengan pola asuhan orang tua yang lengkap.

Saran

Perempuan berperan lebih besar dalam melahirkan dan membentuk anak laki-laki yang tidak pro patriarki atau pada hal paling dasar pembentukan sebuah keluarga adalah memilih pasangan yang mendukung kesetaraan gender untuk sama-sama membentuk generasi yang lebih baik dengan pola asuhan orang tua yang lengkap.

Maka sebagai perempuan, hilangkan konsep seksisme yang ada dalam diri dan ganti dengan kesetaraan gender, pilih pasangan dengan pemikiran yang mendukung, lahirkan anak-anak yang menghargai gender, maka secara tidak langsung perempuan turut menjaga ketahanan keluarga nasional.

Penulis: Ika Ayuni Lestari     

Daftar Pustaka

Buku:

Dalimoenthe, I. (2020). Sosiologi Gender (1 ed.). PT Bumi Aksara. https://books.google.co.id/books?id=cOUhEAAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false

Gaviota, A. (2021). ABC Feminisme (1 ed.). Brigth Publisher.

K. Hedo, D. J. P. (2020). Father Involvement di Indonesia. Airlangga Unversity Press. https://edeposit.perpusnas.go.id/collection/father-involvement-di-indonesia-sumber-elektronis/62219#

MUI. (2018). Ketahanan Keluarga dalam Perspektif Islam (Cetakan ke-2). Pustaka Cendekiawan Muda. https://www.google.co.id/books/edition/Ketahanan_Keluarga_Dalam_Perspektif_Isla/s42IDwAAQBAJ?hl=id&gbpv=0

Nuansa Aulia. (2015). Kompilasi Hukum Islam (6 ed.). CV Nuansa Aulia.

Susanti, V. (2020). Perempuan Membunuh? Istri sebagai Korban dan pelaku KDRT (1 ed.). PT Bumi Aksara.

Jurnal:

Fatahillah, J. A. (2021). Ketahanan Keluarga Penyitas Covid-19 di Masa Bencana Multidimensional Pandemi Covid-19 [UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/57527/1/JAKHARYAN%20ACHMAD%20FATAHILAH-FDK.pdf

Kezia, T. (2019). Pengaruh Self-Esteem terhadap Agresi pada Remaja dengan Father-Absence. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 8, 65.

Internet:

Caesaria, S. D. (2023). Indonesia Urutan Ke-3 “Fatherless Country”, Psikolog UGM Sebut 5 Dampaknya. Kompas.com. https://www.kompas.com/edu/read/2023/05/25/090000371/indonesia-urutan-ke-3-fatherless-country-psikolog-ugm-sebut-5-dampaknya?page=all

Siera, S. (2023). Indonesia Peringkat Ketiga Negara Fatherless, Ini Peran Ayah dalam Fase Tumbuh Kembang Anak. health.okezone.com. https://health.okezone.com/read/2023/05/25/481/2819713/indonesia-peringkat-ketiga-negara-fatherless-ini-peran-ayah-dalam-fase-tumbuh-kembang-anak?page=2

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI