Dalam beberapa dekade terakhir, masyarakat kita telah menjadi semakin terpengaruh oleh fenomena politik identitas. Politik identitas merujuk pada upaya individu atau kelompok untuk memperjuangkan kepentingan dan identitas mereka sendiri, dengan menekankan perbedaan-perbedaan antara mereka dan kelompok lain.
Hal ini seringkali dipicu oleh faktor-faktor seperti perbedaan budaya, agama, etnis, gender, dan lain sebagainya. Di tengah masyarakat yang multikultural, politik identitas dapat menjadi bumerang ganda.
Di satu sisi, politik identitas dapat menjadi cara bagi kelompok-kelompok minoritas untuk menyuarakan hak-hak mereka dan memperjuangkan pengakuan atas identitas mereka yang unik. Namun, di sisi lain, politik identitas juga dapat memicu konflik antar kelompok, memperkuat stereotip dan prasangka, serta mengancam keharmonisan sosial.
Pandangan Archer tentang logical coherence dan causal consensus, yang dia jelaskan dalam teorinya tentang morphogenesis, menggambarkan bahwa individu dan kelompok sosial memiliki kemampuan untuk menciptakan kedua hubungan, baik pertentangan (disharmoni) maupun keteraturan (harmoni).
Menurutnya, dalam sebuah komunitas budaya, beragam konsepsi, gagasan, dan perilaku yang berkembang di antara anggotanya mendorong setiap individu untuk meredefinisi nilai-nilai budaya yang dimiliki guna menyesuaikan dengan nilai-nilai budaya lainnya, atau sebaliknya.
Dengan kata lain, proses ini memaksa setiap anggota untuk menghadapi dinamika interaksi antara nilai-nilai budaya yang berbeda, yang pada akhirnya dapat menghasilkan harmoni atau konflik tergantung pada cara individu atau kelompok menyikapinya (Arifin, 2020).
Secara faktual, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang merupakan entitas yang luas dan beragam. Keberadaannya tidak hanya tercermin dari ukuran wilayah geografisnya yang luas, tetapi juga dari keberagaman kulturalnya yang kaya.
Indonesia dikenal sebagai negara yang menjadi rumah bagi berbagai suku bangsa, agama, bahasa, dan tradisi lokal yang berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bhikhu Parekh, bahwa sebuah masyarakat yang terdiri dari berbagai agama atau bahasa dianggap sebagai masyarakat yang multireligius atau multibahasa, demikian pula masyarakat yang mencakup beragam budaya disebut sebagai masyarakat multikultural.
Konsep kultur merujuk pada pandangan dunia yang dianut oleh individu atau kelompok, yang menjadi dasar untuk tindakan mereka. Ragam budaya di Indonesia memberikan potensi besar bagi kekayaan budaya negara ini. Namun, keberagaman tersebut juga bisa menjadi sumber perpecahan dan konflik horizontal, terutama dalam demokrasi.
Proses demokrasi di Indonesia sangat terkait dengan orientasi identitas agama dan etnis. Sejarah mencatat bahwa politik identitas telah lama menjadi bagian dari dinamika politik di Indonesia. Menurut Geertz, pasca kemerdekaan, muncul sentimen primordialisme yang dipicu oleh perbedaan identitas antara kelompok budaya, agama, dan geografis (Nego, 2020).
Politik di Indonesia tidak jarang ditemukan pada acara pilkada, di mana sering kali dipenuhi dengan berbagai isu politik identitas. Hal ini terjadi karena penerapan sistem demokrasi langsung dalam pilkada. Politik identitas berdasarkan etnis dan agama telah menjadi bagian penting dari politik kontemporer di semua tingkat dan lapisan masyarakat.
Baca Juga:Â Politik Identitas: Apakah Berbahaya?
Tren politik identitas ini dapat dikaitkan dengan pergeseran konflik dari yang semula berbasis ideologi menjadi berbasis identitas. Sistem demokrasi mengakui otonomi relatif warga, termasuk kebebasan mereka untuk memilih, yang secara tidak langsung memberikan ruang bagi perkembangan politik identitas di kalangan partisipan politik.
Namun, penggunaan isu identitas dalam kampanye pilkada di berbagai daerah yang cenderung heterogen dapat memperparah situasi, dengan banyak aktor politik yang memanfaatkan identitas lokal sebagai alat untuk memobilisasi dukungan massa dan melanggengkan kekuasaan (Syahrin et al., 2023).
Identitas saat ini telah bertransformasi menjadi alat politik yang digunakan untuk menarik simpati publik. Kontestasi demokrasi yang bersifat lokal memunculkan banyak kandidat yang mengusung tema etnis dengan klaim mewakili kelompok tertentu.
Hal ini menyebabkan kandidat dari kelompok tertentu menggunakan sentimen etnis untuk memperoleh dukungan dari pemilih. Peran politik identitas etnis memiliki kontribusi dalam mencapai kekuasaan, baik dalam kontestasi demokrasi nasional maupun daerah.
Politisasi identitas etnis dilakukan untuk kepentingan politik, dengan tujuan agar setiap individu memilih berdasarkan pengidentifikasian kesamaan etnis, bukan berdasarkan pada program-program yang dikampanyekan oleh kandidat.
Fenomena ini menjadi hal lumrah dalam kontestasi politik, di mana peran politik identitas etnis dianggap berhasil dalam merebut kekuasaan politik.
Di Indonesia, politik identitas sering dianggap negatif oleh masyarakat karena dimaknai sebagai praktik yang membedakan individu berdasarkan identitas yang berbeda.
Identitas digunakan sebagai alat untuk klaim politik, mempromosikan ideologi, dan memicu tindakan sosial politik, yang seringkali melahirkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan, dengan tujuan untuk menunjukkan kekhasan dan kepemilikan kelompok serta mendapatkan kekuatan dan pengakuan dari kelompok lain yang lebih mapan.
Oleh karena itu, politik identitas di Indonesia sering dipicu oleh ketegangan dan perjuangan tentang hak untuk memetakan masalah dan mendefinisikan kembali penentuan nasib kelompok (Mentari & Alunaza, 2022).
Pada waktu yang sama, multikulturalisme muncul sebagai gambaran dari interaksi antara berbagai komponen masyarakat dalam kehidupan bersama yang berlangsung terus-menerus. Dimensi multikulturalisme yang mencakup beragam budaya, etnis, bahasa, dan suku seharusnya dikelola secara bijaksana di ruang publik agar tidak menimbulkan perpecahan.
Baca Juga:Â Politik Identitas: Alat Politik yang Efektif atau Ancaman Demokrasi?
Politik identitas sebaiknya berperan sebagai alat untuk mempererat persatuan dan kesatuan masyarakat, dengan landasan yang kuat pada nilai-nilai multikulturalisme.
Tampaknya, adanya fenomena politik identitas yang mengancam persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia menunjukkan penolakan terhadap pengakuan atas keberagaman suku, bahasa, etnis, dan agama yang ada di negara ini.
Hal ini menjadi semacam peringatan tentang bahayanya gerakan politik identitas yang memperkuat batas-batas kelompok tertentu dan dapat merusak hubungan antar kelompok serta perdamaian nasional.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menjaga keragaman dan mewariskannya kepada generasi berikutnya, sambil memastikan bahwa politik identitas tidak digerakkan oleh sentimen negatif yang dapat mengancam keutuhan keragaman budaya.
Dengan demikian, politik identitas harus didasarkan pada pemahaman tentang multikulturalisme Indonesia dan setiap langkah yang diambil dalam ranah politik identitas harus memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan upaya menjaga kesetaraan.
Penulis: Hastari Cahya Kamila (NIM: 235120607111054)
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya
Editor:Â Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News