Merdeka Belajar dan Ikhtiar Memerdekan Pembelajaran

Ismail Suardi Wekke
Penulis: Ismail Suardi Wekke (Dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sorong Papua Barat Daya)

Sejak adanya Merdeka belajar di Kampus Merdeka (MBKM) melalui kepemimpinan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menjadi kesempatan bagi perguruan tinggi untuk berhenti sejenak dari pola yang sudah ada. Kemudian berusaha untuk mengidentifikasi peluang yang dapat dilakukan.

Hanya saja, MBKM boleh jadi adalah sebuah kasus membuat onde-onde. Bulatnya onde-onde tidak memiliki ukuran. Sehingga setiap pembuat onde-onde memiliki kesempatan untuk mengupayakan kebulatan sebuah onde-onde dengan versinya masing-masing.

Akhirnya, terjebak kepala kesalahpahaman. Sebagaimana dalam kasus pengiriman mahasiswa magang di Jerman. Ini kemudian menjadi masalah di kemudian hari. Dimana justru yang terjadi adalah tindak pidana.

Bacaan Lainnya
DONASI

Walaupun anggapan metode onde-onde ini tidak dapat diterima begitu saja. Dalam implementasi MBKM terdapat indikator kinerja, dan juga panduan yang menjadi pedoman dalam pelaksananaan program. Serta tersedia pula sistem pelaporan, sehingga dapat dipantau sesuai dengan tata kelola perguruan tinggi yang terintegrasi dengan penjaminan mutu.

Maka, tindakan yang dapat dilakukan adalah bagaimana memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa dengan tidak hanya terpaku semata-mata di ruang kelas. Tembok kelas tidak menjadi batasan dan kungkungan. Sehingga bukan lagi cerita masa depan yang diberikan dan bagaimana antisipasinya, tetapi justru hanya tentang sebuah materi dan itupun merupakan sejarah belaka.

Di sinilah yang menjadi masalah tersendiri. Dimana orientasi pendidikan bukan lagi pada masa depan tetapi justru terjebak pada masa lalu.

Selanjutnya, keterasingan pendidikan dengan realitas global dan kontemporer. Seperti pada pelajaran fikih dimana contoh yang dikemukakan jikalau dalam pembahasan fardu kifayah pada penguruan jenazah.

Padahal, ada kondisi tertentu yang juga bia dijadikan sebagai studi kasus untuk fardu kifayah, seperti sampah, ataupun urusan yang harus ada yang mengurusinya. Jikalau itu tidak ada yang mengurusi, maka akan menjadi masalah tersendiri. Selain sampah, ada soal air bersih, jalanan umum. Ada di antara kita yang perlu ambil pusing terkait dengan itu. Jikalau tidak ada yang menjadikannya sebagai urusan, maka hampir pasti akan menjadi “dosa” bersama.

Begitu pula dengan kondisi hafalan. Sebagai contoh, menghafal ibukota negara, atau ibukota provinsi. Jikalau itu untuk anak-anak yang terisolir, tidak punya kesempatan mengadakan perjalanan, maka perlu kembali diidentifikasi terkait dengan relevansi belajar itu semua.

Olehnya, keberadaan MBKM juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengartikulasikan kondisi kekinian dan juga relevansi. Dimana mahasiswa dapat memilih situasi belajar yang sesuai dengan minat masing-masing yang tidak terikat pada monodisiplin.

Interaksi yang dominan dengan gawai dan juga perangkat eletronik lainnya tidak memberikan kesempatan untuk mengasah kepekaan naluri dan perjumpaan dengan sosok manusia. Maka, ada peluang untuk menempuh pendidikan dengan menjadi seorang relawan, termasuk di situasi bencana.

Sekalipun awalnya, MBKM dianggap sebagai jargon belaka. Namun, dalam perjalanan empat tahun terakhir ini justru ada upaya untuk mengartikulasi apa yang menjadi konsep merdeka kemudian diterapkan sesuai dengan kondisi masing-masing.

Di sinilah titik orientasi yang perlu diperhatikan. Dimana ketika wujud sebuah perguruan tinggi di wilayah pertanian, maka tentunya tidak akan sama dalam pelbagai hal dengan sebuah institusi pendidikan tinggi yang berada di pesisir.

Masing-masing lembaga memiliki kekhasan dan kesempatan untuk memformulasikan arah pendidikan yang dijalankan. Untuk itu, sekalipun memiliki nama program studi yang sama tetapi dalam praktiknya justru ada perbedaan yang signifikan antara prodi yang satu dengan jurusan yang lainnya.

Satu hal lagi, MBKM justru mensyaratkan gotong royong. Dimana diperlukan kemauan dan kemampuan untuk berkolaborasi. Tidak lagi hanya sinergi dalam kertas atau setakat surat semata. Tetapi tidak lagi dalam bentuk kepura-puraan, yakni pura-pura kerjasama.

MBKM hanya akan terwujud jikalau ada jalinan kerjasama dalam bentuk impelemtasi kegiatan. Pada saat yang sama, masing-masing turut berkontribusi dalam pelaksanaan kegiatan. Bukan lagi seperti di masa lalu, kerja kelompok. Tetapi realitasnya justru hanyalah individu dalam kelompok yang bekerja.

Untuk itu, diperlukan sama-sama bekerja dan bekerja bersama-sama. Sehingga akan mencapai titik ideal untuk mendapatkan lulusan yang akan menghadapi tantangan masa depan dengan tetap perlu belajar dari masa lalu.

Di sini pulalah relevansi merdeka belajar bagi mahasiswa dan juga dosen. Dimana setiap orang akan merdeka dari keadaan yang serba terbatas. Tetapi justru membebaskan diri untuk memiliki batasan yang lebih luas dan dalam skala global.

Penulis: Ismail Suardi Wekke
Dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sorong Papua Barat Daya

Editor: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI