BEM UI vs TNI: Konflik Papua dan Kompleksitas Hak Asasi Manusia

Papua
Sumber foto: bbc.

Berawal dari beredarnya video dugaan penganiayaan pria Papua oleh oknum TNI, BEM UI mengecam tindakan tersebut pada 26 Maret 2024 melalui unggahan di akun Instagramnya, @bemui_official.

BEM UI menyerukan dalam unggahannya bahwa TNI harus menindak secara hukum para oknum prajurit yang terlibat dalam dugaan penganiayaan tersebut serta menghentikan pelanggaran HAM dengan menggunakan pendekatan dialog dalam penyelesaian konflik di Papua.

Menanggapi seruan tersebut, seorang anggota TNI yang bertugas di Papua, dengan akun TikTok-nya, @oreoo_007, menantang anggota BEM UI untuk melakukan KKN di Distrik Okbab, Papua Pegunungan, dengan imbalan berupa gajinya sampai pensiun.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Ketidakseimbangan Perhatian Pemerintah: Rohingya vs Kelaparan di Papua

Tantangan ini menuai berbagai respon dari warganet; ada yang mendukung tantangan tersebut dan ada juga yang menilainya sebagai bentuk intimidasi.

Hingga kini, BEM UI belum memberikan tanggapan resmi mengenai tantangan tersebut. Namun demikian, setiap orang yang mengamati perkembangan konflik antara TNI dan BEM UI akan bertanya-tanya, seperti “Apakah perlakuan TNI terhadap kaum separatis di Papua bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM?”, “Apakah indikasi dari tindakan tersebut yang bisa dianggap mencederai HAM,” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Maka dari itu, diperlukanlah pengulasan kembali untuk memahami makna HAM dan bagaimana konsep itu seharusnya diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Hak Asasi itu Fundamental dan Historis

Pada hakikatnya, Hak Asasi Manusia (atau disingkat HAM) bukan sesuatu yang diberikan oleh pihak lain; itu merupakan atribut yang tertanam pada eksistensi manusia sejak lahir.

Meskipun begitu, pengetahuan mengenai konsep HAM dikonstruksi dan dipertahankan melalui berbagai proses, baik itu dialog, argumentasi, dan aktivisme. Sehingga tak hanya bersifat universal, tetapi HAM juga relatif, mengikuti perkembangan sosial budaya dari suatu individu atau kelompok.

Dalam kehidupan bermasyarakat, HAM dipandang mengandung nilai-nilai luhur berupa keadilan, kebebasan, dan egaliter, yang harus dihormati, dipromosikan, dan dilindungi oleh komponen-komponen masyarakat. Nilai-nilai ini dikomunikasikan dan dipertahankan melalui kebijakan publik dan praktik hukum sehingga menciptakan standar moral dari suatu tindakan.

Secara historis, nilai-nilai dasar HAM dapat ditelusuri semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Hammurabi di Babilonia pada abad ke-18 SM. Namun, konsep HAM lahir dari John Locke, seorang filsuf Inggris pada abad ke-17, yang menyatakan keberadaan hak kodrati, meliputi hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak milik.

Sejarah dunia juga mencatat bahwa HAM sering menjadi pemicu peristiwa-peristiwa penting, seperti Magna Charta, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis.

Di Indonesia, pemahaman dan penerapan HAM disesuaikan dalam konteks Pancasila, khususnya sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”

Berbagai instrumen hukum, seperti Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, digunakan untuk menegakkan HAM dalam segala sendi kehidupan masyarakat.

Ini menandakan bahwa bangsa Indonesia, dengan Pancasila sebagai pandangan hidupnya, mengakui dan menjunjung tinggi HAM sebagai komponen penting dari eksistensi manusia.

Baca Juga: Iplementasi Penerimaan Informasi sebagai Strategi Diplomasi Geoekonomi Indonesia terhadap Negara Anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) dalam Upaya Meredam Isu Internasional Papua

Kesalahpahaman yang Terlalu Luas

All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.”

Itulah isi artikel 1 dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948, seusai Perang Dunia II. Dalam kalimat pertama dari artikel tersebut, terkandung tiga konsep pokok dalam HAM, yakni: 1) “freedom” (kebebasan); 2) “dignity” (kemuliaan); dan 3) “rights” (hak).

Meskipun kebebasan dinyatakan sebagai bawaan lahir, namun konsep tersebut tidak memegang posisi tertinggi dalam konsep kemanusiaan. Justru seluruh umat manusia harus mengarahkan kebebasannya untuk memperjuangkan kemuliaan yang dimiliki, yakni  hak asasi.

Oleh karena itu, demi mencapai tujuan tersebut, manusia dikaruniai dengan instrumen berupa “reason” (akal sehat), “conscience” (hati nurani), serta “spirit of brotherhood” (semangat persaudaraan).

Akan tetapi, konsep HAM dewasa ini sering disalahartikan sebagai pencapaian akan kebebasan manusia saja, sehingga bertentangan dengan esensi artikel pertama DUHAM. Hal ini bisa terjadi ketika individu atau kelompok hanya memperjuangkan kebebasan dirinya, tanpa melibatkan semangat persaudaraan.

Lebih parahnya lagi, mereka tampaknya buta akan kebenaran yang ada, dibuktikan dengan ketidakmampuan dalam menilai aksinya sendiri dengan akal sehat dan hati nuraninya.

Sebagai contoh, permasalahan sosial seperti aktivisme LGBT, jelas-jelas berlawanan dengan akal sehat dan hati nurani.

Tak hanya menyimpang dari norma sosial dan norma agama yang ada, perilaku tersebut berisiko menularkan berbagai penyakit, terutama infeksi menular seksual seperti HIV, sifilis, dan penyakit berbahaya lainnya.

Bahkan, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat mengklaim bahwa pria gay dan biseksual 17 kali lebih mungkin terkena Infeksi Menular Seksual (IMS) dibandingkan pria heteroseksual karena mereka cenderung bergonta-ganti pasangan.

Baca Juga: Amanat Undang-Undang dan Ajaran Sosial Gereja untuk Keadilan Hak Asasi Manusia Papua

Apakah Tindakan TNI Salah?

Dalam perselisihan antara BEM UI dan TNI, kesalahan tidak dapat langsung dilimpahkan pada pihak TNI saja. Anggota TNI yang bertugas di wilayah konflik Papua Pegunungan menghadapi tekanan psikologis yang signifikan, termasuk rasa takut akan kematian, yang memaksa mereka untuk menggunakan segala metode yang dianggap efektif untuk menangani masalah, meskipun kurang empatik.

Namun, tindakan dari anggota TNI itu tetaplah salah karena: 1) lalai dalam menjaga kerahasiaan dari proses interogasi; dan 2) tidak memperhatikan martabat dari pria Papua yang diinterogasi.

Dalam situasi apapun, termasuk konflik, individu atau kelompok tidak boleh hanya memperhatikan kebebasan untuk dirinya saja, tetapi juga harus menghormati dan menghargai pihak lainnya.

Jikapun ada suatu kondisi genting yang memaksa instansi pemerintahan dan militer untuk membatasi HAM demi keamanan, maka mereka harus melakukannya dalam jangka waktu yang sesingkat mungkin dan segera dicabut setelah situasinya membaik.

Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa dalam konteks moral, anggota TNI yang bertugas menghadapi para separatis di Papua, dapat dikategorikan dalam “morally grey,” suatu ranah yang tidak sepenuhnya baik atau buruk secara moral, tetapi berada di antara dua ekstrim tersebut.

Kategori tersebut membuat kita sebagai masyarakat awam dan akademisi tidak bisa asal dalam memberi kritikan, tanpa memperhatikan bagaimana situasi yang terjadi di baliknya.

Penulis:

Paramaputra Adiwangsa
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.