Amanat Undang-Undang dan Ajaran Sosial Gereja untuk Keadilan Hak Asasi Manusia Papua

Akhir-akhir ini berbagai media memberitakan begitu banyak aksi atau gerakan solidaritas bangsa bermunculan yang menuntut keadilan untuk orang-orang Papua. Tatkala tuntutan dari berbagai pihak terkait konflik tak berkesudahan yang terjadi ini, baik di Tanah Papua maupun di luar Tanah Papua yang disebabkan oleh multi-faktor.

Tak mau ketinggalan, berbagai kalangan aktivis yang ada di Kota Samarinda baru-baru ini menggelar diskusi bertajuk Solidaritas untuk Kedaulatan Rakyat Papua, menuntut negara untuk melawan rasisme yang terjadi di Asrama mahasiswa Papua, di Surabaya dan rasisme yang terjadi di Tanah Papua.

Tindakan rasisme yang terjadi adalah tindakan yang tidak manusiawi secara khusus terhadap rakyat Papua. Meski Bangsa Indonesia telah mengamanatkan dalam Undang-undang RI nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia, namun amanat tersebut diabaikan oleh pihak-pihak tak beradab yang rasisme terhadap orang-orang Papua.

Bacaan Lainnya
DONASI

Aksi protes yang digelar oleh berbagai kalangan aktivis adalah bentuk kebebasan berekspresi dan perlawanan terhadap dehumanisasi orang-orang Papua sebagai satu Bangsa, satu Tanah Air. Pada sisi lain juga dapat dikatakan bahwa inilah gambaran bahwa politik rasial masih terjadi di negara ini dan berpotensi menimbulkan konflik yang berkelanjutan dan yang sangat disayangkan adalah konflik-konflik yang terjadi tidak ditangani secara efektif oleh negara.

Ajaran Sosial Gereja Katolik

Gereja Katolik adalah salah satu lembaga sosial keagamaan yang dalam sejarah perkembangannya turut dan sering menyerukan penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa.

Peran Gereja Katolik dalam rangka menegakkan keadilan Hak Asasi Manusia bukan tanpa dasar, Ajaran Sosial Gereja Katolik mengamanatkan bahwa “Semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan Kristus mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antara manusia harus senantiasa diakui” (GS 29).

Ajaran sosial Gereja tersebut di atas mengindikasikan bahwa Gereja Katolik turut mengakui atas pentingnya hak asasi manusia sebagai tujuan untuk menegakkan dan memulihkan hak asasi manusia sebagai citra Allah di bumi (Kejadian 1:26-27). Sejatinya manusia terlahir di dunia ini memiliki hak yang sama, terlahir dalam keluarga, berada dalam lingkungan sosial masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, apabila perwujudannya saat ini dalam bentuk rasisme dan politik rasial maka kedaulatan bangsa akan terpecah belah.

Gereja sebagai umat Allah tentunya tidak boleh tinggal diam melihat ketidakadilan yang terjadi terhadap orang-orang Papua. Gereja adalah sejarah keselamatan dan sejarah pembebasan, yang berarti harus mampu membawa umatnya menuju keselamatan di kerajaan Allah. Gereja harus mampu mendorong baik umatnya maupun masyarakat pada umumnya untuk membebaskan diri dari situasi ketidakadilan secara khusus yang terjadi pada saudara-saudara kita orang-orang Papua.

Gereja yang bersandar pada prinsip dan nilai-nilai universal Gereja Katolik harus mampu melindungi, mengayomi dan membebaskan mereka yang tertindas. Sehingga konteks Gereja hadir dan berperan dalam situasi ini terutama untuk mendorong umatnya ikut aktif dalam setiap proses pembelaan Hak Asasi Manusia dan bersuara kritis untuk peradaban kemanusiaan yang adil dan beradab. Menuntut negara bertanggungjawab serta meminta para pemegang hak untuk menegakkan keadilan semua manusia, secara khusus bagi orang-orang Papua.

Amanat Undang-undang

Tindakan rasisme yang terjadi pada Rakyat Papua menunjukkan bahwa negara belum mampu mewujudkan makna sila Persatuan Indonesia. Hakikat persatuan sebagai dasar negara, hakikat satu yang berarti mutlak atau nasionalis masih terbagi-bagi dan terpisah. Sehingga hak Orang Papua sebagai warga negara, dengan semena-mena direnggut secara paksa dan tidak manusiawi oleh orang-orang rasis yang tidak beradab.

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara khusus menempatkan Hak Asasi Manusia sebagai bagian yang fundamental dalam membangun negara ini. Para pendiri bangsa juga menempatkan hak asai manusia sebagai tolak ukur konstitusi, sebelum proses amandemen UUD 1945. Berbagai hak yang menjadi tolak ukur konstitusi antara lain hak untuk mendapat pekerjaan yang layak, hak untuk beribadah sesuai keyakinan imannya, hak atas pendidikan dan lain sebagainya.

Pasca reformasi, para pendiri bangsa juga menguatkan visi proses politik Indonesia terkait hak asasi manusia. UUD 1945 BAB XA juga secara khusus membahas tentang hak asasi manusia, terlebih secara kuat di katakan pada bagian lain UUD 1945 pasal 28I yang menyebutkan hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun, hak asasi tersebut seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak dan hak untuk diakui secara pribadi di hadapan hukum.

Namun, yang kita lihat saat ini adalah keadilan terhadap hak asasi manusia Papua dan bangsa Indonesia pada umumnya masih sering terpinggirkan dan bahkan tidak dapat diselesaikan oleh negara ini. Hingga saat ini NKRI masih tercatat memiliki hutang sejarah terhadap penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Melihat dari trend yang terjadi akhir-akhir ini, negara memiliki tugas yang aman penting untuk diselesaikan yakni persoalan hak asasi manusia secara khusus yang merenggut hak asasi orang-orang Papua dan secara umum untuk hak asasi manusia Indonesia pada umumnya. Misi negara dan agama merupakan dua elemen yang harus bersinergi antar satu dengan yang lain. Keadilan dan kesetaraan akan tercipta apabila negara dan umatnya mampu membangun tatanan hidup dan menaati tuntunan dengan mendorong relasi yang baik antar sesama umat manusia.

Selayaknya kita bergegas melawan dehumanisasi terhadap orang-orang Papua. Insiden kekerasan terhadap hak asasi manusia Papua harus dilawan karena melanggar kebebasan yang bersifat demokratis dan hak atas rasa aman. Kasus-kasus pelanggaran HAM juga harus diusut tuntas agar tragedi kemanusiaan tidak menjadi catatan bernoda dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia.

Rian Toni
Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan dan Pengajaran Agama Katolik pada Sekolah Tinggi Kateketik Pastoral Katolik Bina Insan Keuskupan Agung Samarinda

Editor: Lorensius Amon

 

Baca juga:
Masa Depan Papua, Menjadi Indonesia Seutuhnya
OPM (Organisasi Papua Merdeka)
Merekat Persatuan dalam Kebhinekaan

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI