Di tengah kemajuan zaman dan kemudahan akses terhadap berbagai hal, manusia modern dihadapkan pada tantangan kesehatan yang tak kalah serius dibanding penyakit infeksi masa lalu: obesitas.
Obesitas bukan hanya sekadar permasalahan estetika tubuh atau citra diri, melainkan kondisi medis kronis yang membawa dampak serius terhadap kesehatan fisik dan mental. Sayangnya, banyak masyarakat masih memandang obesitas secara keliru, menyepelekannya, atau bahkan menghakimi penderitanya.
Secara medis, obesitas didefinisikan sebagai kondisi penumpukan lemak tubuh secara berlebihan hingga dapat mengganggu kesehatan. Biasanya, parameter yang digunakan adalah Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu perbandingan antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m²).
Jika nilai IMT seseorang berada di atas 30, maka ia tergolong obesitas. Namun, cerita di balik angka ini tidak sesederhana kedengarannya. Obesitas dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, ras, atau status sosial ekonomi.
Bahkan, saat ini obesitas tidak lagi identik dengan negara-negara maju saja. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, angka kejadian obesitas terus meningkat seiring perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat.
Salah satu kesalahan umum dalam memahami obesitas adalah menganggapnya sebagai hasil dari kemalasan atau ketidakmampuan individu mengontrol nafsu makan. Padahal, penyebab obesitas jauh lebih kompleks dari itu.
Obesitas merupakan hasil interaksi multifaktor antara genetika, lingkungan, gaya hidup, kondisi medis, hingga aspek psikologis. Secara genetik, beberapa orang memiliki kecenderungan untuk menyimpan lemak lebih banyak atau memiliki metabolisme yang lebih lambat.
Lingkungan modern yang serba cepat dan instan juga mendukung perilaku makan tidak sehat, seperti konsumsi makanan tinggi kalori, lemak jenuh, dan gula tambahan. Kurangnya aktivitas fisik menjadi faktor penting lainnya.
Di era digital, pekerjaan banyak dilakukan di depan layar, mobilitas berkurang, dan waktu luang cenderung dihabiskan dengan aktivitas sedentari seperti menonton atau bermain sosia media secara berlebihan. Kombinasi antara asupan energi berlebih dan pengeluaran energi yang minim menciptakan ketidakseimbangan yang berujung pada peningkatan berat badan.
Tak kalah penting, faktor psikologis seperti stres, depresi, atau gangguan makan emosional juga berkontribusi besar. Beberapa orang menggunakan makanan sebagai pelarian dari tekanan mental, menciptakan siklus berbahaya yang sulit diputus.
Baca juga: Menjaga Berat Badan dengan Isi Piringku: Tips Mencegah Obesitas melalui Porsi Makanan yang Tepat
Dampak obesitas tidak bisa dianggap enteng. Individu dengan obesitas berisiko lebih tinggi terkena berbagai penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, osteoartritis, hingga beberapa jenis kanker (seperti kanker payudara, usus besar, dan prostat).
Selain itu, obesitas juga berdampak terhadap kualitas hidup. Banyak penderita obesitas mengalami gangguan tidur (seperti sleep apnea), kelelahan kronis, hingga gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, dan rendahnya kepercayaan diri.
Dalam jangka panjang, obesitas dapat menurunkan produktivitas kerja dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Yang lebih memprihatinkan, obesitas juga telah menyerang anak-anak dan remaja. Anak yang mengalami obesitas sejak dini cenderung akan membawa kondisi tersebut hingga dewasa, dan lebih rentan terhadap penyakit kronis di usia muda. Ini menjadi peringatan serius bahwa penanganan obesitas tidak bisa ditunda lagi.
Obesitas tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga secara sosial dan emosional. Penderita obesitas sering kali menjadi sasaran ejekan, diskriminasi, atau stereotip negatif.
Masyarakat kerap menganggap mereka sebagai malas, tidak sehat, atau kurang disiplin. Stigma ini sangat merugikan dan justru dapat memperburuk kondisi psikologis penderita, yang berujung pada stres dan pola makan emosional yang makin tidak sehat. Oleh karena itu, penanganan obesitas tidak hanya membutuhkan intervensi medis dan nutrisi, tetapi juga pendekatan yang empatik dan bebas dari penghakiman
Kabar baiknya, obesitas adalah kondisi yang dapat dicegah dan dikelola. Kuncinya terletak pada perubahan gaya hidup secara bertahap dan konsisten.
Pola makan sehat yang seimbang, mencakup buah, sayur, protein tanpa lemak, serta menghindari makanan tinggi gula dan lemak trans, merupakan langkah awal yang penting. Aktivitas fisik juga harus menjadi bagian dari rutinitas harian.
Tidak harus langsung melakukan olahraga berat, berjalan kaki, bersepeda, atau naik tangga bisa menjadi langkah awal yang efektif. Yang terpenting adalah konsistensi dan kesadaran untuk bergerak lebih aktif. Bagi sebagian orang, bantuan medis mungkin diperlukan.
Konsultasi dengan ahli gizi, dokter, atau psikolog dapat membantu membuat rencana penurunan berat badan yang realistis dan sesuai kebutuhan. Dalam beberapa kasus tertentu, intervensi medis seperti obat atau bahkan operasi bariatrik mungkin menjadi pilihan terakhir setelah pendekatan lain tidak berhasil.
Penulis: M. Yusuf Akbar Rizal (24613113)
Mahasiswa Farmasi, Universitas Islam Indonesia
Referensi
- Verywell Health. (2023, Oct 19). Split Opinions on Obesity as a Disease. https://www.verywellhealth.com/how-to-keep-kidneys-healthy-8712635
- Sahoo, K., Sahoo, B., Choudhury, A. K., et al. (2020). Behavioral factors influencing childhood obesity: a systematic review and meta-analysis. Obesity Reviews. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32199860/
- Health.com. (2024). Why Weight Loss Can Be Challenging. https://www.health.com/why-is-weight-loss-so-hard-8692713
- Pflügers Archiv. (2025). The Obesity Pandemic and Its Impact on Non-Communicable Disease Burden. https://link.springer.com/article/10.1007/s00424-025-03066-8
- Koliaki, C., Liatis, S., Kokkinos, A. (2019). Obesity, diabetes, and cancer: epidemiology, pathophysiology, and potential interventions. AEM SciELO Brazil. https://www.scielo.br/j/aem/a/PfbtLHs574XfkSx7LwYQFfL/?
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News