Opini Publik: Banjir Wamena, Tanda Bahaya bagi Tata Ruang dan Respons Bencana di Papua Pegunungan

Opini Publik: Banjir Wamena, Tanda Bahaya bagi Tata Ruang dan Respons Bencana di Papua Pegunungan
Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Jayawijaya

Banjir bandang yang melanda Wamena, Kabupaten Jayawijaya, pada April 2025 bukan sekadar musibah musiman.

Ini adalah peringatan keras atas kelalaian kita dalam mengelola lingkungan hidup dan merancang tata ruang yang tahan terhadap bencana.

Ribuan warga menjadi korban, rumah hanyut, ladang rusak, dan trauma sosial merebak. Bencana ini mengguncang bukan hanya fisik wilayah, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap kesiapsiagaan pemerintah.

Dampak Nyata di Tengah Pegunungan

Lebih dari 11.000 kepala keluarga di 22 distrik terdampak langsung. Jalan-jalan utama lumpuh, akses bantuan terganggu, dan ratusan anak-anak serta lansia terpaksa tinggal di lokasi pengungsian dengan fasilitas yang sangat minim.

Bacaan Lainnya

Dalam situasi seperti ini, masyarakat tidak hanya kehilangan harta benda, tetapi juga harapan dan rasa aman.

Akar Masalah: Ketika Alam Dikesampingkan

Menyalahkan curah hujan sebagai penyebab utama banjir adalah narasi yang terlalu menyederhanakan.

Faktor terbesar justru datang dari ulah manusia—saluran air yang tersumbat karena pembangunan tanpa perencanaan, drainase yang tertutup rumah-rumah warga, dan pembiaran terhadap alih fungsi lahan secara masif.

Hal ini menunjukkan ketidakhadiran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi tata ruang secara berkala.

Baca Juga: Banjir Pontianak Disebabkan Kurangnya Area Resapan?

Respon Pemerintah: Cepat di Atas Kertas, Lambat di Lapangan

Meski pemerintah membentuk Satgas Penanggulangan Bencana dan bantuan logistik mulai berdatangan dari Kementerian Sosial, proses distribusinya banyak dikeluhkan masyarakat.

Beberapa wilayah belum tersentuh bantuan setelah berminggu-minggu. Ketua DPR Papua Pegunungan pun turut menyoroti lambatnya penyaluran bantuan dan minimnya koordinasi antarinstansi.

Bencana seperti ini seharusnya bisa direspons dengan sigap oleh sistem yang solid, bukan sistem yang sibuk mencari alasan.

Langkah ke Depan: Jangan Sekadar Wacana

Rencana pembangunan infrastruktur penanggulangan banjir pada tahun 2026 tidak cukup menjawab kebutuhan darurat hari ini.

Warga butuh solusi konkret—perbaikan drainase segera, relokasi rumah di zona merah, edukasi kesiapsiagaan bencana di tingkat kampung, dan sistem peringatan dini yang benar-benar berfungsi.

Pemerintah juga harus melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan, sebab mereka memiliki pengetahuan lokal tentang alam yang telah diwariskan turun-temurun.

Baca Juga: Dampak Deforestasi terhadap Kehidupan Berkelanjutan di Tanah Papua

Penutup: Bangun Papua Pegunungan yang Siap Hadapi Krisis

Sebagai mahasiswa Papua, saya melihat ini sebagai panggilan untuk kita semua: untuk sadar, peduli, dan bertindak.

Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Butuh kolaborasi lintas sektor, termasuk peran akademisi, media, gereja, dan organisasi masyarakat sipil.

Kita perlu membangun Papua Pegunungan yang tidak hanya indah secara alam, tetapi juga tangguh secara sistem dalam menghadapi krisis.

Banjir Wamena adalah luka kita bersama. Jangan biarkan ia menjadi luka yang terulang.

 

 

Opini Publik: Banjir Wamena, Tanda Bahaya bagi Tata Ruang dan Respons Bencana di Papua Pegunungan

Penulis: Nikson Kwambu
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses