Pertambahan populasi narapidana selalu jauh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan kapasitas hunian penjara itu sendiri. Pembangunan Lapas baru tidak pernah mampu menampung jumlah narapidana yang terus bertambah.
Berdasarkan data World Prison Population List, sejak tahun 2000, total populasi penjara di dunia meningkat sebesar 24% atau sama dengan perkiraan pertumbuhan populasi dunia pada periode yang sama.
Peningkatan populasi narapidana terbesar terjadi di Oseania, sedangkan di benua lain seperti Eropa, jumlah narapidana mengalami penurunan sebesar 22%.
Di Asia, populasi penjara menunjukkan peningkatan sebesar 38%. Meningkatnya jumlah narapidana yang dipenjara tidak dapat dilepaskan dari tradisi sistem peradilan pidana yang dianut oleh aparat penegak hukum, yaitu pemberlakuan pidana penjara bagi para koruptor.
Pidana penjara merupakan putusan yang sering dipilih oleh hakim, tidak hanya untuk kejahatan berat tetapi juga untuk kejahatan dengan hukuman ringan.
Hal ini pada akhirnya berkontribusi besar terhadap kepadatan penjara. Ini otomatis membawa efek domino dari masalah lain.
Penjara seperti sekolah kriminal di mana penjahat pemula bisa belajar dari seniornya yang lebih berpengalaman sebagai penjahat, dan kemudian setelah dibebaskan mereka akan melakukan kejahatan lagi.
Narapidana mengalami deprivasi atau penurunan kualitas hidup karena lapas kesulitan memenuhi kebutuhan hidup narapidana yang jumlahnya lebih besar dari anggaran yang disediakan negara.
Masalah peningkatan jumlah penghuni penjara di berbagai dunia tersebut di atas juga terjadi di Indonesia.
Lembaga Pemasyarakatan Indonesia (Lembaga Pemasyarakatan) memiliki persentase jumlah penghuni dan jumlah penghuni lapas yang tidak seimbang.
Dalam kurun waktu 5 tahun sejak 2015 hingga 2019, terjadi peningkatan populasi lapas yang signifikan, dari 36,19% pada 2015 menjadi lebih dari 100% pada 2019.
Oleh karena itu, Lembaga Pemasyarakatan Indonesia seringkali dihadapkan pada banyak permasalahan, mulai dari kekerasan antar warga binaan, homoseksualitas, huru-hara hingga tidak terpenuhinya hak-hak warga binaan yang semuanya berujung pada tidak efektifnya pendampingan warga binaan di Lapas sehingga akibatnya kejahatan sering terjadi kembali di masyarakat.
Situasi kepadatan penjara saat ini menempatkan Indonesia pada tahap rentan dengan persentase kepadatan mencapai 188%.
Baca juga: Dampak Overcrowded pada Pemenuhan Hak Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Hal ini pada gilirannya menimbulkan berbagai permasalahan seperti kaburnya narapidana, kerusuhan, peredaran narkotika yang dikendalikan dari dalam lapas, pembakaran lapas oleh narapidana, pungutan liar oleh petugas lapas, dan persoalan lainnya.
Permasalahan tersebut dipicu oleh beberapa faktor seperti kesalahan atau kekeliruan petugas Lapas dalam pelaksanaan juklak pemasyarakatan yang benar, kurangnya sarana dan prasarana, serta pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang kurang efektif.
Masalah-masalah tersebut pada gilirannya membuat hukuman alternatif semakin mengemuka di hampir semua sistem hukum di dunia, termasuk Indonesia.
Penjatuhan pidana alternatif dianggap sebagai salah satu solusi yang paling efektif dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ada di Lapas.
Penambahan fasilitas lapas hampir tidak bisa menyelesaikan masalah karena pidana penjara masih menjadi pilihan pidana yang paling disukai di mata aparat penegak hukum di Indonesia.
Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Tindakan Non-Penahanan, yang juga dikenal sebagai Peraturan Tokyo, juga mendorong hukuman non penjara sebagai langkah untuk mengurangi kepadatan penjara dan mempercepat kebutuhan reintegrasi sosial narapidana.
Pidana alternatif dalam konteks ini berupa pidana pengabdian masyarakat dan pidana percobaan. Pidana alternatif didefinisikan sebagai bentuk hukuman di luar penjara yang berupa denda atau kerja bakti dari 3 bulan sampai satu tahun di pusat-pusat pelayanan masyarakat.
Program ini dapat berupa pelatihan atau penempatan di pusat-pusat profesional tertentu. Tujuan dari pemidanaan alternatif ini adalah untuk mengatasi masalah kepadatan penjara dan masalah lain yang timbul karenanya.
Bentuk pemidanaan pidana ini sering disebut sebagai model baru dalam konsep pengendalian sosial. Di negara-negara Barat, kajian dan penerapan hukuman alternatif telah dilakukan cukup lama.
Penjatuhan hukuman alternatif sering dijumpai dalam berbagai istilah lain seperti “hukuman alternatif”, “tindakan non-penahanan”, dan “sanksi alternatif”.
Tujuh puluh persen koruptor di penjara hanya perlu ditempatkan di pusat-pusat kegiatan pembangunan berbasis masyarakat.
Dengan kata lain, ini adalah penjahat dengan kategori hukuman jangka pendek. Menempatkan narapidana di lapas hanya akan menimbulkan berbagai masalah lapas.
Hal ini ditegaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh Chaerudin yang berpendapat bahwa pidana penjara dianggap kurang efektif karena terpidana tidak menjadi orang yang lebih baik dengan menjalani pidana penjara.
Demikian pula, jika hukuman penjara dijatuhkan kepada anak-anak dan remaja, peluang mereka untuk melakukan kembali kejahatan lain setelah selesai menjalani masa penjara akan semakin besar. Hal ini karena penjara juga diyakini sebagai fasilitas yang dapat mereproduksi kejahatan.
Berdasarkan analisis untung-rugi, pidana penjara juga dianggap sebagai beban keuangan APBN. Sebab, ketika seseorang divonis penjara, pemerintah wajib menanggung kebutuhan dasar narapidana selama 24 jam sehari dan 365 hari setahun selama menjalani masa tahanan.
Negara juga menanggung biaya perawatan kesehatan dan pengobatan ketika narapidana sakit. Faktor ini membuat anggaran pemasyarakatan menjadi mahal.
Lapas pada dasarnya tidak dirancang dengan mekanisme perawatan kesehatan fisik dan mental yang memadai.
Di Indonesia, keterbatasan pemenuhan kebutuhan dasar seringkali mendorong keinginan narapidana tertentu untuk meminta fasilitas mewah di Lapas.
Keuntungan finansial yang dimiliki para narapidana ini memudahkan maraknya tindakan penipuan yang bertujuan untuk meminta fasilitas tersebut, yang seharusnya tidak pernah ada di lembaga pemasyarakatan.
Di beberapa negara, hukuman alternatif telah dilaksanakan sebagai bagian dari koreksi berbasis masyarakat (CBC).
Melalui kacamata teori labeling, konsep KBK merupakan suatu bentuk program pembinaan bagi narapidana atau pelanggar hukum yang bertujuan agar mereka tidak dikucilkan oleh masyarakat tempat mereka berada.
Snarr dan Wolford berpendapat bahwa di Amerika Serikat, konsep CBC telah banyak diadopsi dan sejalan dengan konsep reintegrasi sosial.
Oleh karena itu, segala kegiatan yang melibatkan masyarakat yang dilakukan untuk menyatukan kembali atau mengintegrasikan kembali narapidana dengan masyarakat dapat dimaknai sebagai KBK.
Konsep KBK telah dimulai sejak tahun 1950-an dengan maksud untuk mendukung pengembangan konsep baru tentang hukuman. Berdasarkan laporan United Nations on Drugs and Crime (UNODC) yang diterbitkan pada tahun 2007, beberapa negara telah berhasil menerapkan KBK.
Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini, terdapat dua alternatif bentuk pidana baru selain pidana penjara, yaitu pidana kerja bakti dan pidana percobaan.
Warisan kolonial dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada. Sanksi pengabdian masyarakat dalam konteks ini tidak boleh mengandung aspek komersial.
Oleh karena itu, implementasinya murni ditujukan untuk mewujudkan teori keadilan restoratif. RUU KUHP saat ini sedang dibahas di DPR RI dan diharapkan segera disahkan untuk menggantikan KUHP warisan kolonial.
Dengan latar belakang tersebut, Lapas sebagai penyelenggara pidana perlu bersiap-siap menghadapi konsekuensi dari pidana alternatif ini. Hal ini akan berdampak pada perubahan dan penambahan fungsi Lapas.
Berdasarkan pengalaman beberapa negara yang telah menerapkan hukuman alternatif ini, biaya yang dikeluarkan negara akan lebih ringan dibandingkan dengan pemenjaraan, dan juga memberikan perlakuan yang lebih manusiawi kepada narapidana.
Namun, masih ada kemungkinan narapidana yang menerima hukuman alternatif ini tidak dapat diterima oleh masyarakat, apalagi jika pelaksanaan hukuman alternatif tidak dilakukan secara transparan dan adil berdasarkan perspektif korban.
Dengan latar belakang permasalahan seputar pelaksanaan pidana alternatif yang telah dibahas di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pidana alternatif berupa pengabdian masyarakat dan pidana percobaan menurut RKUHP Indonesia saat ini.
Tataran analisis dalam kajian ini difokuskan pada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh sistem pemasyarakatan Indonesia, yaitu pembenahan peraturan perundang-undangan serta kesiapan infrastruktur dan sumber daya.
Penulis: Sarlan Alberto Marani
Mahasiswa Manajemen Pemasyarakatan, Politeknik Ilmu Pemasyarakatan
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi