Mengenal Sosok Sipir: Sang “Hantu Penjara” Penjaga Gerbang Pengharapan

Mengenal Sosok Sipir
Mengenal Sosok Sipir: Sang "Hantu Penjara" Penjaga Gerbang Pengharapan.

Sosok Sipir dalam Imajinasi Publik

Bagi sebagian orang, kata “sipir” identik dengan kekuatan dan dominasi yang dingin dan keras. Dalam narasi populer, ia kerap disebut sebagai “hantu penjara”—penjaga atau petugas yang berwajah datar, tak mengenal ampun, dan berdiri di antara kebebasan dan penghukuman.

Namun di balik stereotip itu, ada realitas lain yang layak dikenali, sipir sebagai penjaga gerbang pengharapan bagi mereka yang tersesat dan ingin kembali pulang ke masyarakat.

Antara Citra dan Kenyataan (Sipir Bukan Algojo)

Meskipun banyak pemberitaan tentang kekerasan oleh oknum sipir—seperti kasus penyiksaan di Lapas Narkotika Yogyakarta yang diungkap Komnas HAM—tidak semua sipir bersikap represif.

Di banyak lembaga pemasyarakatan, kita menemukan sosok-sosok petugas yang bekerja dengan nurani, menolak kekerasan, dan menjalankan peran pembinaan dengan empati.

UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa pemasyarakatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana.

Dalam hal ini sipir bukan pelaksana hukuman (Algojo), sipir adalah penjaga stabilitas keamanan dan kenyamanan warga binaan, sekaligus sebagai fasilitator pemulihan kodisi psikis warga binaan pemasyakatan (WBP).

Sipir sebagai Pembina dan Pembimbing

Di Lapas Kelas IIA Palopo, program pembinaan berbasis keterampilan dijalankan secara aktif oleh sipir. Salah satunya adalah pelatihan kerajinan kayu dan kertas.

“Kami bukan hanya menjaga, kami juga membina,” ujar salah satu sipir dalam laporan media. Para narapidana menyebutnya bukan sebagai “penjaga,” tapi sebagai “guru.”

Kisah serupa hadir di Lapas Wanita Kelas IIA Yogyakarta, di mana sejumlah sipir perempuan menjadi pendamping warga binaan dalam program kewirausahaan. Mereka membimbing narapidana membuat batik, kue kering, hingga membuka toko daring yang dikelola dari balik tembok penjara.

Baca Juga: Penganiayaan Napi di Lapas Yogyakarta: Korban Sampai Mengalami Trauma?

Menjaga Gerbang Harapan

Sosok sipir yang manusiawi mampu menjadi jembatan antara masa lalu yang kelam dan masa depan yang lebih baik. Ia tidak menutup gerbang penjara untuk menghukum, melainkan menjaganya agar siapa pun yang masuk bisa keluar dengan martabat.

Menurut Prof. Muladi dalam bukunya Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana, pemasyarakatan adalah bagian dari upaya negara dalam menegakkan hak asasi manusia. Di dalamnya, peran petugas pemasyarakatan harus berorientasi pada reintegrasi sosial—mengembalikan narapidana sebagai bagian dari masyarakat yang berfungsi.

Penutup

Sudah waktunya kita merevisi citra sipir dalam benak publik. Mereka bukan hanya “penguasa” jeruji besi, tetapi juga pelayan nilai-nilai keadilan. Di tangan sipir yang beretika dan empatik, penjara bisa menjadi ruang pemulihan, bukan penghukuman.

Sipir yang baik bukan sekadar penjaga pintu keluar, tetapi penjaga harapan. Karena bagi setiap warga binaan, harapan itulah yang menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan—dan berubah.

Penulis:

Rian Suheri Akbar, S.H.

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses