Di dalam kitab Al Fiqhu ‘ala Mazhabil Arba’i Jilid Awal: qiyamul ibadah, dijelaskan bahwa shalat tarawih itu sunah muakkad menurut 4 imam mazhab kecuali Imam Maliki. Menurut Imam Maliki, shalat tarawih itu hanya sunah saja.
Pelaksanaan shalat tarawih itu sangat disunahkan secara berjamaah baik di masjid atau di rumah karena Imam Syafi’i dan Hambali mengatakan jika melaksanakan shalat tarawih di rumah dan itu sendiri, maka kehilangan pahala shalat berjamaah. Kemudian Imam Maliki mengatakan bahwa shalat tarawih berjamaah itu sunah saja, sedangkan Imam Hanafi fardu kifayah.
Apa dasarnya jika shalat tarawih berjamaah itu disunahkan?
Di dalam kitab ini, Bukhari dan Muslim mengatakan bahwa pada suatu malam di bulan ramadhan, Rasulullah keluar di pertengahan malam. Tepatnya pada hari ketiga, kelima, ketujuh, dan kedua puluh. Para sahabat shalat berjamaah bersama Rasulullah dengan 8 rakaat.
Kemudian masing-masing dari mereka itu menyempurnakan sisa jumlah rakaatnya di rumah mereka. Nah artinya di sini tidak menutup kemungkinan jika jumlah rakaatnya lebih dari 8 atau tidak dibatasi, yang 8 itu hanya dilakukan bersama Rasul di masjid.
Dan juga oleh karenanya, di sini tampak jelas bahwa Rasul menyunahkan kepada para sahabat shalat tarawih dan menyunahkan berjamaah dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, Rasulullah tidak shalat bersama mereka dengan 20 rakaat sebagaimana 20 rakaat ini dilakukan pada masa para sahabat.
Rasulullah juga tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah bersama mereka secara penuh seperti yang tadi sudah disebutkan, Rasulullah hanya keluar 4 kali karena takut shalat tarawih itu diwajibkan kepada mereka.
Abu Hanifah atau biasa disebut Imam Hanafi suatu saat ditanya tentang apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar yaitu mengatakan bahwa shalat sunah sangat dianjurkan dan dilaksanakan dengan 20 rakaat.
Lalu Abu Hanifah mengatakan bahwa shalat tarawih itu sunah muakkad dan Umar tidak berbuat bid’ah karena Umar mengatakan pada saat itu dengan dalil. Umar dan para sahabat menyaksikan Rasulullah secara langsung, jadi tidak mungkin Umar menyalahi atau berbeda dengan Rasulullah.
Pada masa Umar bin Abdul Aziz, rakaat shalat tarawih ditambah lagi menjadi 36 rakaat. Alasannya agar mereka mendapatkan persamaan keutamaan dengan penduduk Mekah karena mereka yang di Mekah itu setiap selesai 4 rakaat, mereka melakukan tawaf.
Hingga kemudian Umar bin Abdul Aziz ini punya inisiatif menambah rakaat sampai 36 rakaat agar pahalanya sama dengan orang yang shalat tarawih di Mekah. Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa setiap satu kali tawaf disamakan dengan 4 rakaat.
Di kitab ini juga dijelaskan bahwa telah tetap shalat tarawih itu 20 rakaat selain witir. Waktunya di waktu isya, jadi jika shalat isya-nya di-jama’ taqdim, maka shalat tarawih tetap dilakukan di waktu isya sampai fajar.
Dan juga shalat tarawih sah dilakukan sebelum atau sesudah witir, tetapi afdhal-nya sebelum witir. Tetapi Malikiyyah mengatakan bahwa itu makruh jika dilakukan setelah witir.
Penulis:
Adam Raihan Ramadhan
Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi