Dunia sedang dihebohkan oleh kemunculan virus yang sangat mematikan, yaitu virus Corona yang menewaskan ribuan orang. Pemerintah melakukan berbagai macam upaya dalam meminimalkan kasus, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu penerapan karantina wilayah atau PSBB (Pemberantasan Sosial Berskala Besar).
Dalam rangka penerapan karantina wilayah ini sejumlah tempat di tutup sementara waktu. Penutupan sekolah dan perguruan tinggi bukan berarti sama sekali tidak belajar, seperti yang diketahui merebaknya virus corona ini sudah dari pertengahan Maret 2020, maka pemerintah memberikan beberapa kebijakan untuk dapat meringankan masyarakat, diantaranya yaitu keringanan dalam pembayaran pajak.
Berbagai macam upaya dilakukan oleh pemerintah untuk memerangi pandemi Corona, dari berbagai negara yang sudah terjangkit maupun belum mereka mengambil tindakan untuk melindungi negara dan masyarakatnya dari penyebaran Coronavirus ini.
Baca Juga: BISUY (Bincang Santuy ) Wacana PPN pada Produk di Sektor Pasar
Salah satu tindakan yang diambil pemerintah untuk memerangi pandemi dan meminimalkan bertambahnya positif Corona adalah dengan memberlakukan lockdown. Sejak awal pemerintah memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB) masyarakat masih bisa beraktivitas akan tetapi sedikit dibatasi, dibatasi di sini seperti kegiatan di luar rumah dan tempat-tempat keramaian, seperti pasar tempat-tempat umum dan lainnya.
Dalam menerapkan dana desa “sederhana merupakan salah satu syarat pemungutan pajak” dalam artian tidak memberatkan masyarakat dan tidak membingungkan masyarakat dengan banyaknya hal-hal yang perlu diperhatikan lebih. Dengan begitu di dalam UU Pajak Penghasilan juga membutuhkan sederhana, namun di dalam penerapannya UU Pajak Penghasilan menerapkan formulir-formulir perpajakan sehingga menjadi rumit.
Menurut analisa yang saya lihat, dari penerapan UU tersebut tidak bermaksud untuk memperumit keadaan, akan tetapi formulir tersebut berusaha untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan-ketentuan perpajakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Namun di dalam penerapannya ada kalanya masyarakat yang belum terbiasa dengan penerapan formulir tersebut merasa bingung dan merasa bahwa “sederhana” yang dimaksud di dalam salah satu syarat pemungutan pajak sudah dihilangkan. Padahal hal tersebut tidak hanya saja perlu dilakukan pembenahan terhadap pemahaman masyarakat.
Baca Juga: Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Meningkatnya Angka Pengangguran di Indonesia
Dilandaskan UU No 6 Tahun 1983, pajak merupakan kontribusi yang wajib dibayar kepada negara. Alasan perlu dilakukan perbedaan antara pajak dengan pungutan lainnya. Padahal kedua duanya dimaksudkan untuk mengisi APBN karena retribusi sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa pemungutan resmi yang diberlakukan oleh pemerintah kepada perorangan atau badan usaha, supaya bisa mendapatkan keuntungan negara atas apa yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha. Pajak dijelaskan sebagai kontribusi wajib sedangkan pungutan lainnya seperti sumbangan merupakan pungutan yang dilakukan dengan cara seseorang yang terkait mendapatkan jasa dari pemerintah.
Terdapat berbagai macam permasalahan yang terjadi di masyarakat selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia, kondisi tersebut mengharuskan pemerintah untuk dapat mengambil langkah yang efektif dalam mengatasi sekelumit permasalahan yang terjadi.
Kebijakan terkait permasalahan pajak memiliki tujuan untuk meringankan masyarakat dan memberikan solusi untuk dapat menyeimbangi kehidupan mereka di masa pandemi Covid-19. Di antara kebijakan pajak PPh yang diberlakukan oleh pemerintah yaitu seperti pembebasan barang impor (Pajak Penghasilan (PPh) Ps. 22), selain itu, pengurangan tarif angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Ps. 25, dan percepatan restitusi (Munandar, 2020).
Pemerintah dapat memberikan bantuan yang sangat banyak bagi masyarakat dan juga bisa untuk meningkatkan kehidupan ekonomi Indonesia di saat pandemi seperti sekarang ini. Salah satu tujuan diterapkan kebijakan paham di Indonesia yaitu untuk dapat memberikan tarif yang efektif kepada seluruh lapisan masyarakat yang menerima dampak dari pandemi Covid-19 ini.
Baca Juga: Jangan Sampai Korupsi Menjadi Budaya
Dibalik itu semua, harapan yang ingin dibangun oleh pemerintah Indonesia yaitu untuk dapat membangkitkan nilai ekonomis di Indonesia yang sempat sangat turun karena Covid-19. Pemerintah tidak tinggal diam dalam mengatasi sekelumit masalah yang terjadi di masyarakat, oleh karenanya pemerintah mengeluarkan 14 kebijakan terkait pajak dan diantaranya termasuk PPh.
Banyak yang terjadi di dalam memberikan konsekuensi kewenangan terhadap pemungutan Pajak Daerah kepada Pemerintah Daerah tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan dan bertentangan dengan kepentingan umum, secara garis besar dilihat secara keseluruhan banyak manfaat yang diperoleh dari pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah karena di suatu daerah, pemerintah daerahlah yang paling tahu tentang keadaan daerah tersebut, seperti perlu dilakukan perubahan dalam aspek keringanan kepada masyarakat, bantuan masyarakat miskin dan lain sebagainya.
Namun ada hal lainnya yang menjadi pertimbangan dari kewenangan yang diberikan kepada pemerintah Daerah seperti pemegangan kekuasaan penuh. Dengan kata lain, masyarakat seperti tidak punya kuasa dalam mengatur terlaksananya kepemerintahan, padahal kalau ditinjau secara umum, masyarakat mempunyai kewenangan untuk mengatur dan memberikan suara terhadap putusan yang diberlakukan oleh pemerintah. Dan hal tersebutlah yang ditakutkan terjadi dan menjadi konsekuensi terhadap kewenangan pemungutan pajak yang diberikan kepada Pemerintah Daerah.
Risqullah Zukhruf
Mahasiswa Universitas Syiah Kuala
Editor: Diana Pratiwi