Pemanfaatan Refrigerant CO2 sebagai Sistem Refrigerasi di Retail Makanan dan Potensi Emisi yang Dihasilkan di Indonesia

lingkungan
Ilustrasi: Unsplash.com.

Pendinginan merupakan salah satu cara pengawetan makan yang paling umum digunakan pada industri makanan. Industri makanan yang menggunakan sistem pendinginan adalah retail makanan. Sistem pendinginan pada retail makanan pada umumnya menggunakan refrigerant R22, R404A, dan R507 dengan rangkaian multiple direct expansion (DX).

Namun, dengan sistem rangkaian tersebut dapat menimbulkan potensi kebocoran refrigerant pada sistem pendinginan lebih dari 35% per tahun dengan kebocoran 3-5% setiap kali peralatan pendinginan digunakan (Sharma et al. 2014).

Kebocoran ini digolongkan sebagai kebocoran langsung dan berpotensi dihasilkannya emisi gas rumah kaca. Hal ini dapat terjadi dikarenakan dalam pemakaian yang normal atau terjadinya kerusakan pada sambungan pipa refrigerant dan perawatan yang tidak baik.

Baca Juga: Pembalut Ramah Lingkungan, Apa Kata Dokter?

Bacaan Lainnya

Kebocoran beberapa jenis refrigerant lainnya  seperti R32, R134a, R717, dan R744 yang kemudian mengalami kebocoran dapat berpotensi untuk menimbulkan efek toksisitas dan mudah untuk terbakar (Tsamos et al. 2014).

Salah satu pilihan refrigerant yang dapat digunakan dalam sistem pendinginan yang dapat meminimalisir dampak negatif dari refrigerant adalah CO2. CO2 dapat mengurangi efek gas rumah kaca sehingga aman bagi lingkungan.

Selain itu, CO2 juga tidak memiliki aroma, tidak mudah terbakar, dan dapat dimanfaatkan pada industri pangan (Bansal 2012). Meskipun CO2 dapat mengurangi efek gas rumah kaca, namun efek tersebut dapat meningkat seiring dengan kondisi lingkungan dari sistem pendinginan.

Menurut Tsamos et al. (2017), pada kondisi lingkungan yang hangat emisi yang dihasilkan dari CO2 meningkat yang diakibatkan oleh konsumsi energi yang lebih besar.

Pemanfaatan CO2 sebagai refrigeran dapat disusun melalui beberapa jenis rangkaian seperti dalam rangkain sistem loop sekunder (Secondary loop) dengan memanfaatkan dua, yaitu sirkuit primer DX dan sistem loop sekunder dengan refrigerant CO2.

Kedua sirkuit tersebut dihubungkan oleh penukar panas sekunder fluida. Sistem pendinginan pada CO2 lainnya adalah cascade system di mana pada sistemnya dibagi menjadi dua sirkuit temperature yaitu temperatur tinggi dan temperatur rendah dengan kedua sirkuit itu dipisahkan oleh kondensor bertingkat.

Kondensor ini berperan sebagai evaporator pada sirkuit dengan temperatur yang tinggi dan  kondensor pada sirkuit dengan temperatur yang rendah. Refrigerant CO2 digunakan pada sirkuit dengan temperatur rendah.

Ada beberapa variasi sistem pendinginan dengan basis CO2 dari kedua model rangkaian tersebut seperti, CO2 secondary coolant, CO2 direct Expansion Cascade, combined CO2 secondary cascade, dan combined glycol secondary/ CO2 cascade.

Rangkaian lainnya pada refrigerant CO2 adalah sistem penunjang superkritis (transcritical booster system). Pada sistem ini CO2 berada dimanfaatkan sebagai udara tekanan tinggi pada kompresor yang akan mengeluarkan panas.

CO2 akan didinginkan pada plat penukar panas (SLHX1) dengan kondisi tekanan udara yang telah diturunkan baik sebelum masuk atau setelah meninggalkan plat penukar panas. CO2 kemudian dilepaskan kembali untuk menyerap panas pada suhu pendinginan yang rendah dan sedang.

Baca Juga: Prodi Fisika Mengabdi di Masyarakat melalui Pelestarian Lingkungan dengan Pemanfaatan Barang Bekas Pakai untuk Bertanam Hidroponik

Panas yang diserap dari suhu pendinginan yang rendah akan mengalami pemanasan lebih lanjut pada SLX2 dan panas tersebut akan dibuang pada kompresor yang bertekanan rendah. Panas yang diserap dari suhu pendinginan yang sedang akan memasuki kompresor bertekanan tinggi. 

Ada beberapa variasi sistem pendinginan CO2 dari model superkritis seperti, standard transcritical booster system, transcritical booster system with upstream expansion valve, dan transcritical booster system with bypass compressor.

Menurut Tsamos et al. (2017), ada 4 model yang berpotensi untuk diterapkan pada retail makanan dengan kondisi iklim yang hangat di antaranya, Sistem CO2 dengan bypass gas, sistem rangkaian CO2/ CO2 dengan bypass gas, sistem CO2 booster dengan bypass kompresor, dan sistem rangkaian CO2/ CO2 dengan bypass kompresor.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa dari keempat model tersebut menunjukkan sistem 3 menunjukkan hasil yang paling baik dengan model rangkaian yang ditunjukkan pada gambar 1. Sistem 3 memiliki nilai COP yang paling tinggi dari model lainnya.

 
Text Box: Gambar 1.  Sistem CO2 booster dengan bypass kompresor 
(Tsamos et al. 2017).

Hal ini dikarenakan kompresor bypass pada sistem pendinginan mampu mengatasi gas flash (keadaan di mana refrigerant mengalami perubahan menjadi gas yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan tekanan secara drastis) dengan meminimalisir perbedaan tekanan yang dihasilkan.

Gambar 2. Grafik analisis COP yang dihasilkan dari  4 sistem (Tsamos et al. 2017).

Hasil lainnya juga menunjukkan bahwa sistem 3 memiliki konsumsi energi yang paling rendah yaitu sebesar 3,6% (589,08 MW/h) pada kondisi iklim yang hangat. Hasil ini menjadikan nilai TEWI (Total Equivalent Warming Impact) paling kecil yaitu sebesar 4602,1 ton CO2/ tahun, konsumsi energi yang paling rendah juga menjadikan sistem 3 memiliki biaya operasional yang paling rendah per tahunnya.

Hasil analisis yang didapat dari sistem 3 dapat menjadi referensi analisis untuk dilakukannya evaluasi  sistem pendinginan pada retail makananan di Indonesia terutama beberapa kota di Indonesia yang berada di wilayah pedalaman dan dataran tinggi, hal ini dikarenakan salah satu kota pengamatan yang dilakukan pada iklim hangat yang direpresentasikan pada Kota Athena yang cukup bisa merepresentasikan beberapa wilayah di Indonesia.

Baca Juga: Prodi Teknik Sipil  Pengabdian  Masyarakat melalui Pelestarian Lingkungan dengan Penerapan Lubang Resapan Biopori sebagai Alternatif untuk Meminimalisir Banjir

Penerapan yang dilakukan diharapkan dapat memberikan efisiensi pendinginan yang baik pada retail makanan dengan energi yang diperlukan dan emisi yang dihasilkan rendah.

Penulis: Muhammad Sobbi
Mahasiswa Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Pustaka

Bansal P. 2012. A review-Status of CO2 as a low temperature refrigerant: Fundamental and R&D opportunities. Applied Thermal Engineering. 41:18-29.

Sharma V, Fricke B, Bansal P. 2014. Comparative analysis of various CO2 configurations in supermarket refrigeration systems. International Journal of Refrigeration. 46:86-99.

Tsamos KM, Ge YT, Santosa ID, Tassou SA, Bianchi G, Mylona Z. 2017. Energy analysis of alternative CO2 refrigeration system configurations for retail food applications in moderate and warm climates. Energy Conversion and Management. 150:822-829.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses