Di tengah derasnya arus globalisasi dan gempuran era digital, pendidikan Indonesia masih dihadapkan pada satu persoalan mendasar yang belum selesai: apa sebenarnya tujuan dari pendidikan kita?
Apakah sekadar mencetak peserta didik yang mampu memperoleh nilai tinggi dan ijazah, atau membentuk manusia utuh yang berkarakter, mandiri, dan memiliki empati sosial?
Pertanyaan ini bukan sekadar retorika filosofis, tetapi justru menjadi refleksi paling konkret dari arah pendidikan nasional yang kini terlalu lama tersesat dalam bayang-bayang angka.
Sudah sejak lama sistem pendidikan kita terjebak dalam pola pikir kuantitatif. Keberhasilan seorang siswa dinilai dari rapor, ranking, skor UTBK, atau akreditasi institusi.
Guru pun didorong untuk “menyelesaikan kurikulum”, bukan mendampingi tumbuh kembang siswa secara personal.
Ujian dan tes menjadi patokan utama, sementara ruang untuk mengasah rasa, nilai, dan keterampilan hidup sering kali dikecilkan atau bahkan diabaikan.
Lembaga pendidikan, baik di kota maupun daerah, tanpa sadar telah menjadi pabrik nilai—menghasilkan lulusan dengan prestasi akademik tinggi, tetapi belum tentu siap menghadapi kompleksitas dunia nyata.
Yang ironis, dalam kondisi tersebut, siswa menjadi objek yang ditekan. Mereka diburu oleh harapan orang tua, tuntutan sekolah, dan persaingan yang tak kenal ampun.
Mereka diajarkan bahwa gagal berarti malu, bahwa nilai rendah adalah aib, bahwa sekolah adalah tempat untuk mencari aman, bukan mencoba hal baru.
Padahal dalam proses tumbuh, anak-anak seharusnya diberi kesempatan untuk salah, untuk bangkit, dan untuk mengenal dirinya sendiri.
Sistem yang kaku dan serba terburu-buru membuat ruang-ruang eksplorasi justru semakin sempit.
Pertanyaannya, apakah kita masih mau terus mengukur keberhasilan pendidikan hanya dari angka dan peringkat, atau mulai berani menilai dari seberapa kuat karakter dan kepedulian yang tertanam dalam diri pelajar?
Banyak kasus membuktikan bahwa angka tidak selalu sejalan dengan akhlak dan karakter. Seseorang bisa saja memiliki IPK sempurna, namun rendah dalam empati.
Ada yang berhasil masuk universitas bergengsi, tapi tidak mampu bekerja sama dalam tim. Ini bukan sekadar anekdot, tetapi cerminan dari krisis yang lebih besar: pendidikan telah kehilangan jiwanya.
Ia berubah dari proses membentuk manusia menjadi proses produksi nilai—dan ini sangat berbahaya untuk masa depan bangsa.
Sementara itu, dunia sedang berubah cepat. Kita sedang memasuki masa di mana soft skills seperti empati, kerja sama, berpikir kritis, dan kepemimpinan justru menjadi lebih penting daripada sekadar kemampuan menghafal atau menjawab soal pilihan ganda.
Dunia kerja dan kehidupan sosial membutuhkan orang-orang yang fleksibel, solutif, punya integritas, dan mampu beradaptasi.
Jika sistem pendidikan tidak segera menyesuaikan diri, maka akan tercipta kesenjangan besar antara lulusan yang dihasilkan dan kebutuhan nyata masyarakat.
Untuk menjawab tantangan itu, pemerintah Indonesia sebenarnya telah mencoba membuat terobosan melalui Kurikulum Merdeka.
Kurikulum ini mengusung semangat fleksibilitas, otonomi sekolah, pembelajaran berbasis proyek, dan penekanan pada pengembangan profil pelajar Pancasila.
Ini adalah langkah yang patut diapresiasi. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal.
Banyak guru belum dibekali pelatihan mendalam, belum tersedia sarana pendukung di berbagai daerah, dan paradigma berpikir di kalangan pendidik masih berkutat pada rutinitas administratif belaka.
Tanpa pemahaman dan komitmen kolektif, kurikulum sebagus apapun hanya akan menjadi dokumen.
Yang dibutuhkan bukan hanya perubahan kurikulum, tetapi transformasi cara pandang semua pelaku pendidikan—terutama guru, kepala sekolah, dan pengambil kebijakan.
Guru harus diberdayakan bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi sebagai pembimbing nilai.
Sekolah harus menjadi ruang aman bagi kegagalan, tempat anak-anak menemukan makna hidup, bukan sekadar tempat mengejar nilai.
Namun, pendidikan tidak hanya tanggung jawab sekolah. Orang tua dan masyarakat juga memegang peran sentral.
Rumah adalah madrasah pertama, tempat nilai ditanamkan secara konsisten. Jika orang tua terlalu sibuk mengejar status sosial dan menyerahkan segalanya pada sekolah, maka pendidikan anak akan pincang.
Demikian pula masyarakat yang menormalisasi perilaku menyimpang seperti korupsi, intoleransi, dan kekerasan, secara tidak langsung sedang merusak nilai-nilai yang ingin dibangun dalam ruang kelas.
Pendidikan karakter tidak akan berhasil jika lingkungan tidak menjadi cerminnya.
Mahasiswa sebagai kelompok terdidik juga memiliki peran strategis dalam perubahan ini. Mahasiswa tidak hanya konsumen pendidikan, tetapi juga agen perubahan.
Suara mahasiswa harus hadir di ruang-ruang kebijakan pendidikan.
Kampus seharusnya bukan hanya tempat kuliah dan tugas, tetapi laboratorium nilai dan ruang pembentukan karakter.
Mahasiswa yang kritis terhadap sistem pendidikan bukan berarti melawan guru, tetapi mencintai masa depan bangsanya.
Kini saatnya kita semua duduk bersama dan menjawab ulang pertanyaan: pendidikan untuk apa?
Jika jawabannya adalah untuk mencetak manusia yang berkarakter, maka seluruh orientasi sistem harus diarahkan ke sana.
Kita harus berani meninjau ulang standar penilaian, memberi ruang bagi pembelajaran kontekstual, menguatkan pendidikan nilai, dan menghargai proses, bukan hanya hasil.
Tidak mudah memang. Tapi jika kita tetap bertahan dalam sistem lama yang hanya melahirkan kompetisi tanpa empati, maka kita akan kehilangan satu generasi yang seharusnya bisa membawa perubahan.
Pendidikan bukan sekadar alat mobilitas sosial, tetapi jalan membentuk manusia. Nilai akademik penting, tetapi ia bukan segalanya.
Dunia tidak sedang kekurangan orang pintar; dunia sedang kekurangan orang jujur, orang bijak, dan orang yang punya nurani. Itulah mengapa pendidikan harus kembali kepada jiwanya.
Pendidikan harus menghidupkan rasa, bukan hanya logika. Ia harus membentuk akhlak, bukan hanya mengukur skor.
Hanya dengan begitu, kita bisa membangun masa depan yang lebih manusiawi dan bermakna.
Penulis: Sarah Zakiyah
Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News