Pendidikan yang Memanusiakan Manusia

Pendidikan di Indonesia seakan menjadi tersangka utama ketidakberhasilannya dalam memanusiakan manusia. Padahal pendidikan di Indonesia sudah bisa dikatakan berhasil dalam memintarkan manusia.

Pernyataan pertama dapat dibuktikan dengan mudah, yaitu dengan melihat hal-hal kecil yang ada di sekeliling kita. Apakah peserta didik bersikap sopan kepada orang lain yang lebih tua? Apakah peserta didik menaati aturan di sekitarnya? Apakah peserta didik selalu datang tepat waktu ke sekolah? Apakah perserta didik memiliki sikap toleransi terhadap sesama? Jawabannya adalah tidak.

Sampai saat ini masih saja ada peserta didik yang tidak bersikap sopan kepada orang lain, bahkan kepada orang tua nya sendiri. Juga masih ada peserta didik yang ketahuan melanggar aturan yang diberlakukan di sekolah. Sebagian siswa juga kedapatan terlambat masuk sekolah, bahkan malah keluyuran atau bolos sekolah kemudian nongkrong di pinggir jalan atau di mall.

Bacaan Lainnya
DONASI

Pernyataan kedua juga dapat dibuktikan dengan mudah, yaitu itu dengan melihat tingkat kelulusan ujian nasional. Setiap tahun, tingkat kelulusan ujian nasional di Indonesia semakin bertambah. Sebagian peserta didik juga mendapat hasil yang memuaskan. Maka bisa dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia telah mampu memintarkan peserta didik.

Filosofi semangat pendidikan adalah memanusiakan manusia, tidak hanya memintarkan manusia. Memanusiakan manusia berarti selalu berperilaku baik, menghargai dan menghormati harkat dan derajat manusia lainnya. Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antar sesama manusia. Memanusiakan manusia juga merupakan perilaku untuk bersikap sopan santun, toleransi, tidak menindas sesama, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti dan perilaku-perilaku lainnya.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunia.

Menurut UU no. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pendidikan sejatinya tak hanya melulu soal prestasi akademik. Pendidikan sejatinya tak hanya mengutamakan nilai akhir pada raport dan ijazah. Pendidikan sejatinya tak hanya bertujuan untuk mencerdaskan dan memintarkan peserta didik. Karena pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Pendidikan karakter yang mulai diterapkan pada kurikulum 2013 diharapkan dapat menjadi solusi dari ketidakberhasilan pendidikan di Indonesia dalam memanusiakan manusia. Pendidikan karakter juga diharapkan dapat menumbuhkan karakter-karakter baik pada diri perserta didik. Namun sampai saat ini, sama sekali tidak ada efek yang dihasilkan. Pendidikan yang memanusiakan manusia hanya akan menjadi angan-angan yang sulit digapai.

Hal tersebut disebabkan karena kurangnya kemampuan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran serta penanaman pendidikan karakter sekaligus. Guru hanya terfokus pada penyampaian materi pembelajaran, karena materi pembelajaran tersebut yang akan diujikan pada ujian akhir nanti. Sedangkan pendidikan karakter yang sebenarnya malah dinomorduakan.

Solusi yang efektif dan efisien untuk memperbaiki karakter peserta didik adalah dengan menghapuskan ujian nasional. Tak hanya ujian nasional, tapi juga ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Dengan begitu, guru dan siswa tidak akan hanya terfokus pada materi akademik namun juga pada pendidikan karakter. Penumbuhan karakter baik pada siswa adalah yang paling penting.

Sehingga guru hanya akan bertanggungjawab terhadap hasil akhir berupa sikap dari peserta didik, yang pada akhirnya akan berimbas kepada hasil akhir akademik peserta didik, bukan malah sebaliknya.

Nilai bukanlah patokan apakah seseorang benar-benar berilmu, tetapi proses dalam belajar itulah yang seharusnya menjadi acuan utama. Selama ujian nasional yang dianut oleh sistem pendidikan Indonesia, maka yang selama ini kita kejar bukanlah ilmu tetapi nilai.

Choirulnisa Mila Erdiana
Mahasiswa Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Universitas Negeri Semarang

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI