Setelah 3 tahun lamanya tidak diadakan acara Festival Lampu Colok dikarenakan Covid, akhirnya pemerintah Karimun kembali menggelar Festival Lampu Colok pada tahun ini. Tradisi ini biasanya dilakukan pada 27 Ramadhan sampai dengan 30 Ramadhan, sekaligus dalam rangka menyambut malam takbiran dan lebaran.
Tradisi lampu colok ini sendiri berawal dari keinginan masyarakat Melayu untuk memberikan penerangan di bulan Ramadhan, sekaligus merupakan syiar Islam sebagai hiasan-hiasan lampu yang selalu bernuansa islami.
Dalam bahasa Melayu, colok artinya penerang atau juga disebut pelite yakni sejenis lampu teplok, yang dibuat menggunakan kaleng bekas minuman, sumbu kompor, serta bahan bakarnya minyak tanah atau bisa juga dengan bahan bakar solar.
Baca Juga: Identitas Nasional, Jati Diri Suatu Bangsa
Awalnya masyarakat Melayu menggunakan penerangan ini sebagai hiasan di depan rumah, terutama menghadapi malam lailatul qadar. Kemudian lampu colok ini disusun hingga menyerupai kubah-kubah masjid dan hiasan kaligrafi, hingga kini Festival Lampu Colok dijumpai di seluruh daerah Kepri dan Riau, serta merupakan khazanah warisan budaya.
Agar tidak hilang budaya tersebut, Bupati Karimun melakukan upaya lomba pembangunan lampu colok untuk warga setempat Kabupaten Karimun, serta jutaan rupiah hadiah untuk lampu colok terbaik. Selain itu Bupati Karimun juga mengadakan 2 kategori Festival Lampu Colok tahun ini yaitu lampu colok biasa dan lampu elektrik.
Warga Kabupaten Karimun sangat antusias dengan acara tersebut dan pemuda-pemudanya berlomba-lomba membangun lampu colok yang bagus dan sangat kreatif. Pemuda-pemuda kami membangun lampu colok ini sebagus mungkin agar kampung kami menjadi juara.
Tapi sangat disayangkan sekali di balik festival yang keren dan sangat dinanti-nantikan ini masih ada dampak negatifnya yaitu mengganggu aktivitas kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang karena dibangun di tengah jalan raya.
Menurut warga, “Susah sekali dan seram sekali lewat bawah lampu colok yang dibangun di tengah jalan seperti ini.”
Selain itu juga masyarakat takut jika rumah yang di sekitar bisa terbakar karena dekat dengan lampu colok yang bahan bakar utamanya berasal dari minyak tanah dan solar sebab gampang sekali terbakar jika terjadi kesalahan dalam pemasangan lampu colok tersebut.
Saran dari pengunjung yang ingin melihat lampu colok, “Sebaiknya ketika membangun lampu colok seperti ini bagusnya disediakan lapangan agar tidak mempersulit kendaraan yang lalu lalang dan memudahkan pengunjung melihat festival tersebut.” Dan juga harus dijauhkan dari rumah warga agar lebih aman dan warga pun merasa lebih tenang.
Selain itu ada juga dampak positifnya yaitu banyak wisatawan dari luar yang datang ke Kabupaten Karimun untuk melihat adanya Festival Lampu Colok tersebut.
Wisatawan luar daerah, ”Saya datang ke sini untuk melihat budaya yang ada di Karimun ini karena sangat unik dan tradisionalnya dapat sekali.” Maka dari itu pemerintah terus mengembangkan tradisi kebudayaan lampu colok ini agar tidak hilang.
Penulis:
Asri Indah Lestari
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Karimun
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi