Ada sebuah nasehat mengatakan, “Jangan mau jadi pengikut, Jadilah pemimpin”. Belum lama ini wacana kepemimpinan muda tengah ramai menjadi perbincangan warganet di jagat maya. Tentu saja, pemberitaan yang tersebar melalui media sosial itu memberikan kesan tersendiri ditengah panasnya hasil penghitungan suara pasca Pemilu 2019.
Wacana tersebut tak lain adalah mengenai kabar adanya pos kementerian yang akan diisi oleh anak muda (golongan milenial). Dalam sebuah interview-nya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan keseriusan hal tersebut mengenai sosok pemimpin milenial yang akan masuk dalam kabinetnya. Kali ini, Jokowi tampak lebih optimis untuk melibatkan anak muda yang memiliki usia di kisaran 20 tahun masuk dalam jajaran kabinet kerjanya.
Terkait siapa sosok yang dimaksud, perlu diingat juga sejauh mana kebutuhan dan peran anak muda dalam mengelola negara. Tentu saja mengelola suatu negara seluas Indonesia tidak dapat disamakan dengan mengelola perusahaan. Sebuah kehoramatan sekaligus pekerjaan rumah yang tak kecil.
Identiknya, seorang anak muda masih dapat menyandang status sosial sebagai seorang pendobrak perubahan (agent of change). Perubahan yang tentu saja berkaitan dengan kebijakan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Republik ini sudah mencatatkan betapa banyaknya peristiwa sejarah kepemimpinan bangsa yang dipelopori oleh gerakan perubahan anak muda. Dari masa ke masa, kita akan percaya bahwa pemimpin baru akan bermunculan memberikan harapan besar.
Salah seorang Indonesianis, Ben Anderson, mengisahkan bagaimana golongan pemuda Indonesia turut mewarnai perjalanan sejarah pendirian bangsa Indonesia. Pemuda Indonesia kala itu, disebutnya memiliki karakter nasionalisme yang begitu tinggi dan besar atas dasar kesadaran mereka sendiri. Mereka akan berjuang dengan gigih untuk menjaga kedaulatan bangsa.
Oleh sebab itu, kepemimpinan muda sudah tidak perlu diragukan lagi. Tapi, bagaimana dengan kondisi para elit politik kita yang masih didominasi oleh golongan tua? Adakah niat mereka untuk ikut meregenerasikan karir berpolitiknya?
Tentu bukan hal yang mudah bagi seorang Jokowi untuk memilih dari sekian puluh juta anak muda (milenial) yang tersebar diberbagai daerah Indonesia saat ini. Bagaimanapun juga, obsesi seorang Jokowi bukan semata karena Republik ini memang membutuhkan kepemimpinan muda. Jika yang dimaksud seorang Jokowi hanya mengikuti trend global dalam menjaga keseimbangan program pembangunan, maka sudah dapat dipastikan sosok milenial itu hanya sebagai penghias Kabinet saja.
Seharusnya, yang dibutuhkan bangsa kita saat ini adalah adanya pendobrak mentalitas pemimpin yang mau berpolitik agar menggunakan prinsip dan etika politik ideologi, yakni Pancasila.
Belajar dari pengalaman negara ini dalam melaksanakan pergantian kepemimpinan, masih saja dikuasai oleh segelintir kelompok atau golongan yang itu-itu saja. Birokrasi hanya bersifat administratif belaka. Hukum menjadi tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Patut diakui, reformasi yang dilaksanakan sejak 21 tahun silam telah menghasilkan banyak pemimpin berusia muda yang terpilih sebagai Kepala Daerah di seluruh Indonesia. Sayangnya, keberhasilan tersebut masih menjadi catatan merah bagi publik. Penyebabnya, oleh karena kesiapan mental yang dimiliki oleh para pemimpin muda terpilih masih belum bisa terlepas dari jeratan praktek manipulatif maupun KKN di dalam tubuh birokrasi. Masih banyak diantara mereka yang karir politiknya berakhir menjadi status tahanan korupsi.
Selain itu, bobroknya mentalitas dalam berbangsa dan bernegara membuat banyak pemimpin muda kita berkarir secara instan. Meskipun, masih bisa kita temukan para pemimpin muda yang inovatif untuk terus berbenah memajukan daerahnya dengan menyeimbangkan penataan perkotaan dan pedesaan. Dan terutama pelestarian budaya yang harus terus dikembangkan menjadi tantangan tersendiri.
Mengapa pelestarian budaya menjadi sorotan dalam menguji kemampuan seorang pemimpin muda? Sebenarnya, tantangan terberat bagi anak muda (milenial) dalam menjaga identitas bangsanya disebabkan maraknya penggunaan teknologi yang semakin canggih dan mudah diakses oleh siapapun. Sehingga, ada penjajahan non fisik secara tak langsung yang berawal dari datangnya kebudayaan asing untuk memengaruhi perilaku dan kepribadian bangsa kita sendiri.
Meskipun boleh saja kita dibuat iri dengan negara tetangga, Malaysia yang memiliki Syed Saddiq, berusia 25 tahun dipercaya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia. Ada juga Menteri termuda di dunia yang sangat fenomenal, Shamma Al Mazrui, berusia 22 tahun sebagai Menteri Urusan Kepemudaan Uni Emirat Arab. Memang dalam kepemimpinan usia bukanlah menjadi suatu halangan.
Tetapi kita juga harus jujur. Sudahkah para elit politik kita hari ini memberikan kepercayaan yang lebih besar terhadap golongan muda (milenial) untuk terlibat aktif dalam merumuskan kebijakan politiknya? Sejarah sudah banyak mencatat tentang keberanian seorang pemuda untuk melakukan suatu perubahan. Karena hanya mereka yang masih murni dan tidak terikat oleh janji politik lainnya. Hanya golongan muda yang masih bisa menyuarakan keadilan tanpa kepentingan politis.
Sebenarnya demokrasi kita telah mengajarkan Republik ini menjadi lebih dewasa, meski masih secara perlahan. Jika benar apa yang akan dilakukan seorang Jokowi untuk melibatkan pemimpin muda dalam mengisi Kabinet kerjanya, tentu ini sebuah upaya transisi yang perlu disambut dengan optimistis.
Di masa revolusi industri keempat ini, mau tidak mau pemerintahan harus segera beradaptasi melakukan perubahan dan inovasi untuk menyesuaikan diri dalam pergaulan situasi global. Bukan saja pemerintah dituntut lebih modern dalam tata ruang kotanya. Melainkan, pemerintah juga perlu menyiapkan sumber daya manusianya yang memahami industri digital dan teknologi agar tidak tertinggal dengan negara lain.
Oleh sebab itu, narasi kepemimpinan muda yang dibutuhkan bangsa kita saat ini bukan hanya terukur oleh usianya saja. Tetapi, ada satu upaya kesungguhan yang sangat besar serta lebih mengutamakan kembalinya nilai-nilai kearifan lokal yang tetap harus dilestarikan sebagai bentuk peremajaan agar identitas dan budaya bangsa kita tidak sampai hilang.
Jadi, adakah diantara anak muda kita saat ini yang siap menjadi pendobrak untuk membumikan kembali Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Made Bryan Pasek Mahararta, M.AP
Ketua DPP GMNI Bidang Hubungan Internasional
Baca juga:
Pemuda Patani Kampanye Kesatuan Busana Melayu
Wirausaha Muda (Sejak Mahasiswa), Kenapa Tidak?
Tawarkan Banyak Kemudahan, Gadget dan Media Sosial Juga Bisa Jadi Racun Bagi Generasi Muda