Pentingnya Persatuan Bangsa: Pelajaran dari Genosida Rwanda

Genosida Rwanda
Sumber: RRI.

Persatuan bangsa merupakan unsur penting bagi sebuah negara yang bersifat majemuk. Setiap elemen berbeda dari masyarakat yang mencakup suku, agama, dan ras tentunya harus memiliki unsur pemersatu diantara mereka. Unsur pemersatu ini penting untuk mempromosikan nilai toleransi di masyarakat. Dengan dianutnya toleransi dalam masyarakat, maka akan terwujud rasa aman dan damai dalam kehidupan bermasyarakat (Yunita, 2021).

Di Indonesia sendiri, para pendiri bangsa kita telah merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Nilai-nilai toleransi, harmonisasi antar elemen masyarakat yang berbeda, serta sifat ideologi terbuka Pancasila menjadikannya sebagai instrumen pemersatu bangsa yang ampuh (Siahaan et al., 2022).

Adanya Pancasila di masyarakat Indonesia merupakan berkah. Karena tanpa Pancasila, negara Indonesia sendiri tidak akan pernah ada mengingat Indonesia terdiri dari banyak elemen masyarakat yang berbeda-beda.

Bacaan Lainnya
DONASI

Namun, nikmat dari persatuan bangsa ini tidak bisa dinikmati oleh semua bangsa di dunia. Meskipun sekilas terlihat sebagai wilayah dengan ras yang sama, nyatanya Afrika merupakan rumah bagi ribuan etnis yang berbeda secara budaya dan bahasa (Green, 2013).

Dalam sejarahnya berbagai etnis ini saling berinteraksi antar satu sama lain, membentuk komunitas beragam yang hidup dalam harmoni. Tetapi tidak jarang terjadi pergesekan antara berbagai macam golongan yang tinggal di Afrika.

Salah satu pergesekan antar golongan yang terkenal di wilayah Afrika adalah pergesekan antara Suku Tutsi dan Hutu yang mendiami negara Rwanda di Afrika Timur. Kedua suku ini merupakan suku yang dominan di Rwanda dengan Suku Hutu yang menjadi mayoritas sebanyak 85%, Suku Tutsi 15%, dan suku lainnya kurang dari 1% (Storey, 1999).

Konflik dari kedua suku ini datang dari struktur masyarakat Rwanda di mana Suku Tutsi memegang posisi kekuasaan dominan di masyarakat Rwanda, sedangkan Suku Hutu memegang posisi rendah dalam masyarakat. Meskipun adanya perbedaan ini, tetapi kedua suku ini pada dasarnya memiliki bahasa dan budaya yang serupa (Krüger, 2010).

Struktur masyarakat Rwanda yang Tutsi sentris berakhir secara mendadak saat terjadinya Revolusi Rwanda pada tahun 1959 sampai kemerdekaan Rwanda pada tahun 1962.

Dalam revolusi ini, Rwanda yang semula dikuasai monarki Tutsi di bawah otoritas kolonial Belgia berubah menjadi negara demokratis merdeka yang dikuasai Hutu. Meskipun adanya pergantian ini, masyarakat Rwanda masih dipenuhi oleh ketegangan antar etnis.

Otoritas Hutu yang berkuasa meningkatkan persekusinya terhadap Tutsi. Ini dilakukan dengan ethnic segregation dimana pemerintah membatasi orang-orang Tutsi untuk hidup dengan layak (Yakti, 2022). Akibatnya sekitar 300.000 Tutsi melarikan diri dari Rwanda (Takeuchi & Marara, 2016).

Ketegangan tetap terjadi hingga Perang Saudara Rwanda pecah pada tahun 1990 antara pemerintah Rwanda dengan Rwanda Patriotic Front (RPF) yang merupakan milisi Tutsi yang anggotanya terdiri dari Tutsi yang diasingkan ke negara tetangga Rwanda.

Empat tahun berikutnya pada 1994, kedua belah pihak mencoba untuk berdamai. Tetapi ini semua berubah ketika presiden Juvenal Habyarimana terbunuh. Vakum kekuatan ini lalu dimanfaatkan oleh ekstrimis Hutu untuk melancarkan genosida selama 100 hari.

Dalam waktu tersebut, sebanyak 800.000 Tutsi, moderat Hutu, dan Twa tewas dalam pembantaian (Guichaoua, 2020). Pembantaian baru berhenti saat RPF mulai menguasai Rwanda dan mengakhiri genosida.

Baca Juga: Merangkai Keharmonisan dengan Bahasa Persatuan

Dalam kasus genosida Rwanda, Tutsi dan Hutu memiliki banyak persamaan daripada perbedaan. Tetapi, kedua suku ini selalu mengalami perpisahan sepanjang sejarahnya yang menyebabkan mereka berpikir bahwa mereka sangat berbeda. Rasa perbedaan yang mendalam ini akhirnya berubah menjadi rasa kebencian antar satu sama lain.

Rasa kebencian ini ditambah dengan kurangnya instrumen persatuan bangsa di Rwanda menyebabkan rasa kebencian berubah menjadi genosida yang menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dunia.

Sebagai bangsa yang lebih majemuk daripada Rwanda, masyarakat Indonesia patutnya bersyukur dengan kondisi persatuan bangsa yang sudah terbentuk dengan baik sejak kemerdekaan kita.

Eksisnya Indonesia hingga saat ini merupakan bukti bahwa masyarakat majemuk dengan bermacam-macam elemen berbeda di dalamnya dapat bersatu. Sebagai bagian dari masyarakat, tentunya kita harus tetap mengutamakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Dengan terlaksananya nilai-nilai persatuan bangsa dalam Pancasila, maka bangsa kita akan tetap menjadi satu meskipun terdapat banyak perbedaan di dalamnya.

Penulis: Adrian Daffana Viko Putra
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Daftar Pustaka

Green, E. (2013). Explaining African ethnic diversity. International Political Science Review, 34(3), 235–253. https://doi.org/10.1177/0192512112455075

Guichaoua, A. (2020). Counting the Rwandan Victims of War and Genocide: Concluding Reflections. Journal of Genocide Research, 22(1), 125–141. https://doi.org/10.1080/14623528.2019.1703329

Krüger, K. (2010). The Destruction of Faces in Rwanda 1994. L’Europe En Formation, n° 357(3), 91–105. https://doi.org/10.3917/eufor.357.0091

Siahaan, J., Agustina, R., Jonandes, R., & Fitriono, R. A. (2022). Pancasila sebagai Alat Pemersatu Bangsa Indonesia. Gema Keadilan, 9(3). https://doi.org/10.14710/gk.2022.16520

Storey, A. (1999). Economics and ethnic conflict: Structural adjustment in Rwanda. Development Policy Review, 17(1), 43–63. https://doi.org/10.1111/1467-7679.00076

Takeuchi, S., & Marara, J. (2016). Conflict and Land Tenure in Rwanda Shinichi Takeuchi and Jean Marara (Issue October 2009).

Yakti, P. D. (2022). The 1994 Hutu and Tutsi Ethnopolitics Conflict in Rwanda: Genocide Revenge Settlement Through the Gacaca Reconciliation System. Jurnal Hubungan Internasional, 15(1), 37–52. https://doi.org/10.20473/jhi.v15i1.33787

Yunita, T. (2021). Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Menguatkan  Integrasi Bangsa. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(2), 282–290. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP/article/view/34132

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI