Kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak, khususnya dalam lingkungan keluarga, merupakan isu yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia.
Studi-studi menunjukkan bahwa pelaku kekerasan seksual pada anak sering kali berasal dari lingkaran terdekat, seperti ayah, paman, atau kerabat lain, memanfaatkan kepercayaan dan kedekatan emosional untuk melakukan kejahatan tersebut (Syahputri & Syafrini, 2024).
Eksploitasi anak dalam keluarga tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis jangka panjang yang menghambat perkembangan anak (Rahmawati, 2024).
Fenomena ini semakin kompleks dengan berkembangnya teknologi digital.
Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan terungkapnya grup Facebook “Fantasi Sedarah” yang menjadi wadah penyebaran konten pornografi inses, bahkan melibatkan anak-anak sebagai korban (CNN Indonesia, 2025; BBC Indonesia, 2025).
Kasus ini menunjukkan betapa rentannya anak-anak terhadap kekerasan seksual dan eksploitasi, tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di ruang digital yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan bersosialisasi.
Baca Juga:Â Mencegah Eksploitasi Anak melalui Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat
Kekerasan Seksual dan Eksploitasi Anak dalam Keluarga
Kekerasan seksual dan eksploitasi anak dalam lingkungan keluarga merupakan fenomena kompleks yang dipicu oleh faktor multidimensi.
Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya pengawasan orang tua, lemahnya kontrol diri pelaku, minimnya pelaporan korban, serta pengaruh lingkungan dan media sosial menjadi pemicu utama tindakan kekerasan ini (Syahputri & Syafrini, 2024).
Pelaku seringkali memanfaatkan kedekatan emosional dengan korban, seperti ayah, paman, atau kerabat dekat, untuk melakukan kejahatan tanpa rasa bersalah.
Eksploitasi anak dalam keluarga tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik, tetapi juga mencakup pemaksaan anak untuk bekerja, perdagangan seksual, atau penelantaran yang menyebabkan dampak psikologis jangka panjang, seperti trauma, stigmatization, dan merasa tidak berdaya (Rahmawati, 2024; Soetarso, 2004).
Korban seringkali mengalami kesulitan membuka diri, kecemasan berlebihan, atau bahkan kebencian terhadap lawan jenis akibat pengalaman traumatis (Finkelhor dalam Soetarso, 2004).
Kasus “Fantasi Sedarah”: Ancaman Baru di Era Digital
Kasus grup Facebook “Fantasi Sedarah” mengungkap dimensi baru kejahatan seksual terhadap anak di era digital.
Grup ini, yang beranggotakan puluhan ribu orang, menjadi wadah bagi penyebaran konten pornografi anak, termasuk video dan foto eksploitasi seksual dengan motif inses.
Enam tersangka telah ditangkap, dengan peran berbeda: MR sebagai pembuat dan admin grup yang menciptakan platform ini untuk kepuasan seksual pribadi, sementara DK berperan menjual konten pornografi anak dengan harga Rp50.000–Rp100.000 (CNN Indonesia, 2025).
Baca Juga:Â Bukan Sekadar Wacana: Perlindungan Anak Harus Menjadi Prioritas Utama!
Polisi menyita 402 gambar dan 7 video bermuatan pornografi anak dari tersangka, menunjukkan skala eksploitasi yang sistematis.
Korban meliputi anak-anak berusia 7–12 tahun, mengindikasikan bahwa pelaku memanfaatkan kerentanan anak di bawah umur melalui platform yang seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan berinteraksi (BBC Indonesia, 2025).
Kasus ini memperlihatkan bagaimana media sosial telah menjadi alat baru bagi predator seksual untuk mencari, mengeksploitasi, dan memperdagangkan korban.
Grup “Fantasi Sedarah” dan “Suka Duka” tidak hanya mempertontonkan konten asusila, tetapi juga menciptakan ekosistem yang memvalidasi dan mengkomodifikasi kekerasan seksual sebagai “fantasi” yang diterima.
Peran Save The Children dalam Menanggulangi Krisis Perlindungan Anak
Save The Children, sebagai organisasi internasional yang berfokus pada perlindungan anak, telah mengembangkan strategi holistik untuk mengatasi kekerasan seksual dan eksploitasi anak.
Pada tingkat pencegahan, organisasi ini melakukan edukasi keluarga dan komunitas melalui kampanye kesadaran tentang bahaya kekerasan seksual dan cara mengidentifikasi tanda-tanda eksploitasi.
Di tingkat perlindungan, Save The Children bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga hukum untuk memperkuat sistem peradilan, termasuk pelatihan bagi aparat penegak hukum dan advokasi revisi kebijakan yang lebih berpihak pada korban (Save the Children, 2024).
Baca Juga:Â Sejuta Mimpi Anak di Pelosok Negeri
Untuk korban yang telah terdampak, Save The Children menyediakan layanan pendampingan intensif, termasuk tempat penampungan (shelter) dan rehabilitasi psikologis.
Anak-anak yang diselamatkan dari eksploitasi seksual komersial (ESKA) diberikan layanan kesehatan, konseling untuk mengatasi trauma, dan program penciptaan kemandirian melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan (Sulistyaningsih, 2017).
Dalam konteks kasus “Fantasi Sedarah”, Save The Children dapat memperkuat upaya perlindungan anak di ranah digital melalui pendidikan literasi internet, pemantauan konten berbahaya, dan kerja sama dengan platform media sosial untuk memblokir akun pelaku.
Langkah ini selaras dengan komitmen organisasi dalam membangun sistem perlindungan anak yang adaptif terhadap perkembangan teknologi, sebagaimana tertuang dalam kebijakan perlindungan anaknya.
Menyatukan Kekuatan Melawan Eksploitasi di Ranah Digital
Kasus kekerasan seksual dan eksploitasi anak dalam keluarga, yang kini diperparah oleh kemudahan akses digital seperti pada kasus “Fantasi Sedarah”, menjadi alarm keras bagi semua pihak.
Perlindungan anak tidak lagi cukup hanya mengandalkan keluarga, tetapi membutuhkan sinergi antara masyarakat, pemerintah, penegak hukum, dan organisasi internasional seperti Save The Children.
Baca Juga:Â Pengaruh Pemilihan Tontonan yang Baik terhadap Perkembangan Bahasa Anak
Save The Children telah membuktikan peran strategisnya dalam pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual dan eksploitasi anak melalui pendekatan holistik dan kolaboratif.
Namun, tantangan ke depan menuntut penguatan literasi digital, peningkatan pengawasan keluarga, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual berbasis teknologi.
Penulis: Racheliberth G. Raunsai
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih
Daftar Pustaka
BBC Indonesia. (2025, May 19). Viral grup inses ‘Fantasi Sedarah’ di Facebook – Enam orang jadi tersangka kasus asusila dan pornografi, apa saja peran mereka? https://www.bbc.com/indonesia/articles/c9vgepgk2nvo
CNN Indonesia. (2025, May 21). Ada 3 Anak Jadi Korban Grup FB Fantasi Sedarah dan Suka Duka. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250521183312-12-1231730/ada-3-anak-jadi-korban-grup-fb-fantasi-sedarah-dan-suka-duka
Rahmawati, S. (2024). Eksploitasi Anak dalam Keluarga: Menganalisis Kasus Ibu Suherna sebagai Tantangan bagi Kesejahteraan Anak dan Upaya Pemberdayaan. Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 21(1), 45-58. https://journal.unpas.ac.id/index.php/humanitas/article/view/17900
Save the Children. (2024). Protection. https://www.savethechildren.org/us/what-we-do/protection
Save the Children. (2024). Save the Children’s policy on protecting children from sexual abuse and exploitation. https://resourcecentre.savethechildren.net/document/save-childrens-policy-protecting-children-sexual-abuse-and-exploitation
Save the Children. (2024). The Fight Against Child Trafficking. https://www.savethechildren.org/us/charity-stories/child-trafficking-awareness
Syahputri, R., & Syafrini, D. (2024). Faktor Penyebab Pelecehan Seksual pada Anak oleh Keluarga Terdekat di Kota Padang. Jurnal Perspektif: Jurnal Kajian Sosiologi dan Pendidikan, 7(4), 466-476. https://perspektif.ppj.unp.ac.id/index.php/perspektif/article/download/998/437/5859
Wahyuni, H. I. (2025, May 16). Heboh Grup Facebook Fantasi Sedarah, Pakar UM Surabaya Beri Tanggapan. https://www.um-surabaya.ac.id/article/heboh-grup-facebook-fantasi-sedarah-pakar-um-surabaya-beri-tanggapan
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News