Fenomena manusia silver di Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya merupakan wajah dari masalah sosial yang kompleks yaitu kemiskinan struktural, kesenjangan ekonomi, dan kurangnya kesempatan kerja yang layak.
Mereka yang rela melumuri tubuhnya dengan cat berwarna perak untuk menarik simpati di jalanan bukanlah semata-mata melanggar ketertiban, tetapi juga representasi dari kegagalan sistem sosial dalam menjamin kesejahteraan semua warga.
Ketika razia dilakukan oleh Satpol PP seperti yang diberitakan, itu adalah langkah normatif berdasarkan hukum, namun belum tentu menyentuh akar permasalahan.
Pemerintah Kota Yogyakarta berpedoman pada Perda DIY Nomor 1 Tahun 2014 yang mengatur tentang penanganan gelandangan dan pengemis.
Dalam perda tersebut, manusia silver termasuk sebagai objek penindakan.
Meskipun demikian, efektivitas pendekatan hukum ini menjadi tanda tanya ketika individu-individu yang telah dirazia dan dibina tetap kembali ke jalanan.
Ini menunjukkan bahwa tindakan represif semata tidak cukup.
Perlu pendekatan yang lebih komprehensif, humanis, dan berbasis nilai-nilai yang telah menjadi fondasi bangsa, yakni Pancasila.
Sila kedua dari Pancasila, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, mengajak kita untuk melihat manusia silver bukan sebagai masalah, tetapi sebagai manusia yang hidup dalam situasi problematik.
Nilai ini menghendaki adanya perlakuan yang menghargai martabat manusia dalam setiap kebijakan dan intervensi sosial (Ramadhani dan Dewi, 2022).
Maka, ilmu dan teknologi seharusnya diarahkan untuk menciptakan sistem penanganan kemiskinan dan pengangguran yang tidak mengabaikan sisi kemanusiaan, seperti platform pembinaan berbasis teknologi atau pelatihan kerja daring untuk kelompok rentan.
Sementara itu, sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, memberikan kerangka etis bagi negara dalam menjalankan kebijakan yang adil dan merata.
Dalam konteks ini, negara dituntut untuk menjamin adanya distribusi sumber daya, informasi, dan peluang kerja secara inklusif.
Pengembangan teknologi yang bersumber dari nilai Pancasila tidak seharusnya hanya difokuskan pada sektor industri dan ekonomi digital yang menguntungkan segelintir orang, tetapi juga diarahkan untuk menjangkau masyarakat marginal agar mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.
Baca juga: Analisis Tingkat Kemiskinan di Indonesia Menggunakan Metode K-Means Clustering
Salah satu solusi yang relevan adalah pengembangan teknologi sosial, yakni penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memecahkan masalah sosial secara berkelanjutan.
Misalnya, pembuatan aplikasi berbasis komunitas untuk memetakan titik-titik keberadaan manusia silver, menyambungkan mereka dengan layanan sosial dan pelatihan kerja, serta menjadi kanal partisipasi warga dalam membantu penanganan kelompok marjinal.
Dengan demikian, masyarakat tidak hanya pasif sebagai pengamat, tetapi ikut terlibat aktif dalam proses pemberdayaan.
Pendidikan pun memiliki peran vital dalam hal ini. Kurikulum pendidikan harus menanamkan pentingnya nilai gotong royong, empati, dan tanggung jawab sosial sejak dini.
Kampus dan lembaga pendidikan tinggi juga dapat menjadikan isu manusia silver sebagai objek penelitian atau pengabdian masyarakat. Inovasi yang dihasilkan pun bisa lebih menyentuh persoalan sosial.
Inilah bentuk nyata bahwa ilmu dan teknologi tidak berada di menara gading, tetapi membumi sesuai kebutuhan rakyat.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, menekankan pentingnya semangat kolektif dalam membangun bangsa.
Dalam konteks manusia silver, masyarakat harus melihat persoalan ini sebagai tanggung jawab bersama.
Banyak warga yang merasa risih atau takut dengan keberadaan manusia silver, tetapi tidak sedikit pula yang mendukung dengan memberikan uang.
Tanpa edukasi publik yang tepat, relasi ini justru memperkuat siklus ketergantungan.
Oleh karena itu, dibutuhkan kampanye kesadaran digital yang memperkuat solidaritas sosial dan mendorong keterlibatan warga untuk mendukung solusi jangka panjang.
Teknologi komunikasi dan informasi dapat dijadikan alat untuk menyebarkan nilai-nilai Pancasila secara lebih luas dan kontekstual.
Misalnya, dengan membuat konten edukatif berbasis media sosial yang menyampaikan pentingnya keadilan sosial, empati, serta bagaimana masyarakat bisa berkontribusi terhadap pemberdayaan kelompok marginal.
Platform-platform ini juga dapat menjadi jembatan antara masyarakat dengan instansi pemerintah atau lembaga sosial dalam memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran.
Selain itu, pendekatan berbasis evidence-based policy perlu diterapkan.
Data dan riset ilmiah mengenai persebaran manusia silver, latar belakang mereka, dan efektivitas program pembinaan harus digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Universitas dan lembaga riset lokal bisa berkolaborasi dengan pemerintah untuk menyediakan data yang akurat, serta menyusun indikator keberhasilan program intervensi sosial. Dengan data yang tepat, solusi yang diambil akan lebih relevan dan berkelanjutan.
Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” memberi semangat agar kebijakan publik dibentuk melalui musyawarah dan keterlibatan semua elemen masyarakat.
Penanganan manusia silver sebaiknya tidak hanya diputuskan oleh otoritas pemerintah saja, tetapi melibatkan suara dari kelompok-kelompok sosial, akademisi, pegiat kemanusiaan, dan bahkan para eks manusia silver sendiri agar program yang dihasilkan benar-benar inklusif.
Kejadian manusia silver yang menggebrak kendaraan, sebagaimana diberitakan, tentu merupakan tindakan yang tidak dibenarkan.
Namun, respons terhadap hal tersebut tetap harus proporsional dan berakar pada pendekatan solutif, bukan semata hukuman.
Jika seseorang bertindak agresif karena tekanan ekonomi atau psikologis, maka upaya rehabilitasi sosial jauh lebih penting dibandingkan kriminalisasi.
Di sinilah nilai-nilai Pancasila menjadi kompas moral dalam mengarahkan kebijakan dan pengembangan ilmu untuk kemaslahatan bersama.
Pengembangan teknologi yang menjunjung nilai kemanusiaan juga bisa berupa integrasi layanan sosial dalam satu platform terpadu.
Misalnya, sistem berbasis AI yang mampu mengidentifikasi individu-individu yang rentan dan menyarankan intervensi sosial yang paling cocok apakah pelatihan kerja, bantuan kesehatan mental, atau program pemulangan ke kampung asal.
Sistem seperti ini akan sangat membantu jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan startup sosial dan kampus teknologi.
Baca juga: Perbudakan Modern di Tengah Hidup Masyarakat Indonesia
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga hendaknya tidak membutakan kita dari realitas sosial (Nuraeni dan Dewi, 2022).
Kemajuan kota dengan jalan yang mulus, lampu lalu lintas yang modern, dan sistem transportasi canggih tidak akan berarti jika di sudut-sudutnya masih ada warga yang bertahan hidup dari cat perak dan simpati orang asing.
Maka, Pancasila hadir sebagai penyeimbang antara kemajuan teknis dan nilai-nilai kemanusiaan, memastikan bahwa perkembangan tidak mengorbankan kelompok yang paling lemah.
Kehadiran manusia silver adalah gejala dari kesenjangan, bukan penyebab dari kekacauan sosial. Maka, dalam semangat Pancasila, setiap kemajuan teknologi, setiap rumusan kebijakan, dan setiap langkah pembangunan harus mengandung nilai keadilan sosial, penghormatan terhadap martabat manusia, dan semangat gotong royong.
Dengan begitu, bangsa Indonesia tidak hanya akan menjadi negara maju dalam hal teknologi, tetapi juga unggul secara moral dan spiritual.
Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, kita punya kewajiban untuk memastikan bahwa ilmu dan teknologi yang kita kembangkan tidak menjauh dari rakyat, tetapi justru hadir untuk menyelesaikan masalah mereka.
Teknologi harus menjadi jembatan menuju kesejahteraan dan keadilan, bukan menjadi simbol keterasingan.
Ketika manusia silver tak lagi hadir di persimpangan jalan karena telah menemukan tempat yang lebih layak dalam masyarakat, maka itulah saat dimana nilai-nilai Pancasila benar-benar hidup dan bekerja dalam setiap kebijakan kita.
Fenomena manusia silver di Yogyakarta mencerminkan realitas sosial yang menantang sekaligus menjadi cermin dari masih adanya ketimpangan dalam sistem sosial dan ekonomi kita.
Pendekatan represif semata tidak akan mampu menyelesaikan akar masalah jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila.
Sebagai landasan moral dan filosofis bangsa, Pancasila menuntun arah pengembangan ilmu dan teknologi agar tidak hanya berorientasi pada kemajuan materi, tetapi juga pada keadilan sosial, penghormatan terhadap martabat manusia, dan pemberdayaan masyarakat marjinal (Assalwa et al., 2024).
Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan dalam kerangka nilai Pancasila, maka keduanya akan menjadi alat yang efektif untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi, adil, dan sejahtera.
Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil sebaiknya membentuk kolaborasi strategis dalam menangani isu manusia silver melalui pendekatan teknologi sosial berbasis data dan nilai kemanusiaan.
Program pembinaan dan pelatihan keterampilan perlu dirancang secara partisipatif dengan memanfaatkan kemajuan digital, sambil tetap menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam prosesnya.
Masyarakat juga perlu diberdayakan melalui edukasi publik agar memahami peran mereka dalam menciptakan keadilan sosial secara aktif.
Dengan sinergi yang kuat dan pendekatan yang berlandaskan Pancasila, kita dapat mewujudkan solusi yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan terhadap berbagai tantangan sosial yang ada.
Penulis: Zoera Dhestreian Lacitara
Mahasiswa Jurusan Psikologi, Universitas Brawijaya
Daftar Referensi
Khusna, R., Susiba. As Salwa, H., & Ripaini, R. F. (2024). Pancasila dan pengembangan ilmu: Sinergi untuk kemajuan bangsa. Jurnal Kajian Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan, 3(2): 1-6.
Daeng, M. F. (2024, Oktober 2). Satpol pp yogyakarta teruskan razia ”manusia silver” yang resahkan pengguna jalan. Kompas. https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/10/02/satpol-pp-yogyakarta-teruskan-razia-manusia-silver-yang-resahkan-pengguna-jalan?open_from=Tagar_Page
Nuraeni, I., & Dewi, D. A. (2022). Peranan pancasila sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jurnal Pendidikan Tambusaim, 6(2).
Ramdhani, D. N., & Dewi, D. A. (2022). Menerapkan nilai-nilai pancasila dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jurnal Kewarganegaraan, 6(1).
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News