Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Hisab dan Rukyatul Hilal

Islam
Ilustrasi: istockphoto

Penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal adalah masalah penting sebab berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT, yaitu ibadah puasa serta shalat hari raya Idul Fitri, di mana penetapannya berdasarkan pada Al-Qur’an serta al-Hadis.

Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hampir selalu terdapat perbedaan pemahaman dan penerapan hadis Rasulullah SAW tentang awal bulan Qamariyah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah.

Efek tambahannya adalah munculnya tiga arus utama “mazhab”, yaitu pertama, mazhab Rukyah yang dihadirkan oleh ormas Islam (NU) terbesar di Indonesia; kedua, Mazhab Hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah; dan tiga imkan al-ru’yah yang diangkat oleh pemerintah.

Bacaan Lainnya
DONASI

Perbedaan pendapat ulama tentang hisab (perhitungan matematis) serta ru’yatul hilal (pengamatan hilal) pada penetuan awal Ramadan serta 1 Syawal adalah persoalan yang sudah lama diperdebatkan pada dunia Islam.

Pendapat-pendapat ini berkaitan menggunakan metode yang digunakan untuk menentukan kapan bulan Ramadan dimulai serta kapan Idul Fitri atau 1 Syawal dirayakan.

Beberapa ulama berpendapat bahwa penggunaan hisab atau perhitungan matematis untuk menentukan awal Ramadan serta 1 Syawal ialah sah dan  dapat diterima. Hisab melibatkan perhitungan astronomi serta matematika yang canggih untuk memprediksi posisi hilal di langit pada suatu saat tertentu.

Metode ini berdasarkan pada pergerakan benda langit serta rumus matematis yang dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim.

Para pendukung hisab berargumen bahwa dengan menggunakan perhitungan matematis, kita dapat dengan akurat mengetahui posisi hilal, bahkan sebelum terjadi pengamatan. Ini memungkinkan kita untuk menentukan tanggal awal Ramadan serta 1 Syawal secara sempurna serta menjauhkan perbedaan pendapat yang mungkin muncul sebab kesalahan pada pengamatan hilal.

Di sisi lain, terdapat ulama yang berpendapat bahwa penetuan awal Ramadan serta 1 Syawal harus didasarkan pada pengamatan langsung hilal secara visual dengan mata telanjang atau menggunakan bantuan alat pengamatan seperti teleskop. Metode ini dikenal menjadi ru’yatul hilal.

Para pendukung ru’yatul hilal berargumen bahwa Rasulullah Muhammad SAW juga memakai pengamatan langsung untuk menentukan awal Ramadan serta 1 Syawal pada masanya.

Mereka berpendapat bahwa pengamatan langsung dengan mata adalah cara yang lebih akurat untuk menentukan keberadaan hilal, serta metode ini juga memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk merasakan serta menghargai proses melihat hilal.

Perbedaan pendapat ini terutama ada sebab interpretasi berbeda terhadap sumber-sumber hukum serta juga kemajuan teknologi pada perhitungan astronomi.

Meskipun ada perbedaan pendapat, penting bagi umat Islam untuk menghormati serta menerima keputusan yang diambil oleh otoritas keagamaan setempat dan mengikuti tradisi yang telah berlaku di masyarakat daerah mereka tinggal.

Secara umum metode yang digunakan pada penentuan persoalan hisab rukyat ada dua: sebagian umat Islam (Muhamadiyah) memakai metode Hisab sedangkan sebagian yang lain (Nahdahatul Ulama) memakai metode Ru’yat, sehingga sulit untuk disatukan.

Di Indonesia penentuan awal Ramadhan serta 1 Syawal sangat susah untuk mengadakan penyatuan karena. Masing-masing menggunakan metode yang berbeda.

Jika dalam penentuan awal Ramadhan serta 1 Syawal antara tokoh agama, perintah serta organisasi masyarakat Islam belum terdapat titik temu, maka menurut para tokoh agama serta pejabat pemerintah, mencoba membuat ormas-ormas Islam jangan menunjukkan egonya, tetapi persatuan dan kesatuan mereka harus didahulukan.

Bahkan apabila diperlukan salah satunya ada yang mengalah demi persatuan umat Islam. Bahkan Jika perlu salah satunya ada yang mengalah demi persatuan umat Islam.

Dalam buku Penggunaan sistem Hisab serta Rukyah di Indonesia yang menyatakan bahwa dampak perbedaan pendapat NU dan Muhammadiyah perihal hisab dan rukyah mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi kekerabatan dalam keluarga, di mana hal itu terjadi dampak antara suami, istri, anak-anak, serta anggota keluarga lainnya dalam sebuah keluarga, memulai awal puasa serta berlebaran di hari yang berbeda menjadi dampak dari hasil penerapan metode hisab serta rukyah yang berlainan.

Kenyataan ini menyebabkan potensi perseteruan intern keluarga, karena solat Id dan merayakan lebaran tidak dilakukan di hari yang sama.

Perkara Idul Fitri 1444 H adalah contoh nyata situasi yang terjadi di masyarakat. Kemudian, undangan yang disiapkan untuk kumpul keluarga dibatalkan karena perbedaan hari Idul Fitri.

Penulis: Muhammad Hafidh Hibatullah
Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI