Strict liability atau tanggung jawab mutlak telah diadopsi oleh peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup di Indonesia. Tanggung jawab mutlak ini dinilai sebagai kemudahan pemerintah untuk menegakkan hukum lingkungan agar dapat menindak tegas para pelanggar.
Berkaitan dengan hal itu, tentu menarik membahas perkembangan pengaturan tanggung jawab mutlak dalam perkara lingkungan hidup di peraturan perundang-undangan Indonesia.
Pengaturan Tanggung Jawab Mutlak Perkara Lingkungan Hidup
Dalam pengaturan lingkungan hidup, konsep tanggung jawab mutlak muncul pertama kali pada Pasal 21 Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada Pasal 21 UU 4/1982, tanggung jawab mutlak diatur dalam pasal tersebut yang berbunyi “Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.
Setelah itu, UU 4/1982 dicabut dengan UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 23/1997). Tanggung jawab mutlak pun diatur dalam Pasal 35 ayat (1) hingga (3).
Pada intinya pengaturan tersebut berisi tentang pengenaan tanggung jawab mutlak yakni terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan/atau kegiatannya berdampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3), dan/atau menghasilkan limbah B3.
Terhadapnya pun diwajibkan membayar ganti rugi langsung dan seketika saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Penanggung jawab tersebut juga dapat dibebaskan dari sanksi itu jika kerusakan yang disebabkan oleh bencana alam atau peperangan, keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia, atau tindakan pihak ketiga. Berkaitan dengan pihak ketiga, maka pihak ketiga lah yang membayar ganti rugi.
Pada bagian penjelasan Pasal 35, ditegaskan bahwa tanggung jawab mutlak merupakan unsur kesalahan yang tak perlu dibuktikan penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ini menjadi lex specialis dalam gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) pada umumnya.
Perkembangan Tanggung Jawab Mutlak Perkara Lingkungan Hidup
Perkembangan pengaturan tanggung jawab mutlak terkait lingkungan hidup, tercantum dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009). UU ini mencabut UU 23/1997 dan mengatur tanggung jawab mutlak pada Pasal 88.
Pasal 88 UU 32/2009 menegaskan bahwa “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Pada bagian penjelasan, disebutkan bahwa maksud dari bertanggung jawab mutlak merupakan unsur kesalahan yang tak perlu dibuktikan oleh penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Sama seperti sebelumnya, ketentuan ini adalah lex specialis dalam gugatan PMH pada umumnya.
Besaran nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Artinya, jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Selanjutnya, UU 32/2009 diubah dengan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketentuan yang menjadi kontroversi dalam pengaturan ini adalah hilangnya frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Undang-undang ini dianggap mengubah orientasi konsep strict liability dan melonggarkan pelanggaran potensial yang dilakukan oleh pengusaha.
Ketentuan ini dianggap mengubah orientasi prinsip tanggung jawab mutlak sehingga sumir/pendek perbedaannya dengan liability based on fault yang secara umum diterapkan dalam proses gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata dan berpotensi melemahkan akses masyarakat terhadap keadilan.
Baca juga: Transportasi Ramah Lingkungan (Sustainable Transportation)
Tanggung jawab mutlak selanjutnya diatur lebih rinci terdapat pada Pasal 501 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam PP tersebut, disebutkan bahwa dalam hal kesimpulan laporan hasil pengawasan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang dinyatakan tidak taat, Pejabat tersebut memberikan rekomendasi tindak lanjut penegakan hukum administratif, perdata, dan/atau pidana.
Selain itu, pejabat yang dimaksud juga dapat menerapkan pembuktian pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban mutlak ini harus dimintakan oleh penggugat dan termuat dalam surat gugatan.
Pertanggungjawaban mutlak dapat dimintakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika usaha dan/atau kegiatannya menggunakan, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.
Namun, pengaturan tanggung jawab mutlak di sini berbeda dengan sebelumnya. Tergugat dapat mengajukan pembelaan dengan pembuktian bahwa ia tidak menggunakan, menghasilkan limbah B3, maupun menimbulkan ancaman serius, dan/atau pencemaran dan/atau pencemaran lingkungan hidupnya bukan disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatannya melainkan pihak lain atau force majeur.
Bahkan, aturan kembali lagi seperti pada UU 23/1997, yakni tergugat dapat dibebaskan dari tanggung jawab mutlak jika dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh bencana alam atau peperangan, keadaan memaksa di luar kemampuan manusia, atau akibat perbuatan pihak lain.
Pihak lainlah yang kemudian bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.
Demikian perkembangan pengaturan tanggung jawab mutlak dalam perkara lingkungan hidup. Selanjutnya dapat diketahui bahwa konsep tanggung jawab mutlak sebenarnya tanpa adanya pembuktian, tetapi dengan adanya UU 11/2021 dan PP 22/2021, justru menegaskan tergugat dapat melakukan pembuktian bahwa ia dapat dibebaskan dari tanggung jawab mutlak.
Selain itu, dapat diketahui pula bahwa ketentuan UU 11/2021 dan PP 22/2021 bertentangan konsepnya. UU No. 11/2021 menegaskan bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh penggugat dan merupakan lex specialis PMH. Namun PP No. 22/2021 mengharuskan adanya pembuktian dalam surat gugatannya.
Penulis: Samuel Berli
Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Lancang Kuning
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi