Pertanggungjawaban Pidana Pers terhadap Pemimpin Redaksi atau Redaktur

Pers
Pers (Sumber: Freepik.com).

Sebagai media pemberitaan, pers sering disebut sebagai landasan demokrasi setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Hal ini disebabkan karena individu mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam informasi massa, sehingga pendidikan masyarakat berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mencegah terjadinya kerusuhan sosial di suatu negara.

Oleh sebab itu, penting untuk memastikan bahwa orang yang berperan sebagai media informasi dan evaluatif tidak memihak sebelum memulai karirnya sebagai guru.​​​​

Namun menurut pernyataan tersebut, narapidana Indonesia tidak dapat lepas atau mendapat perlindungan hukum dari segala kewajiban hukum  kekebalan sebagai bagian dari sistem hukum dan harus berpegang pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di negara tersebut, dikarenakan berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara termasuk wartawan mempunyai hak hukum.

Bacaan Lainnya

Jika melihat mengenai hukum pers di Indonesia dalam arti perundang-undangan mengenai pers, maka akan memulai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Kemudian undang-undang ini ditambah dan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 tentang Penambahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.

Tindak pidana pers berbeda dengan tindak pidana yang ada di undang-undang seperti pencurian, pembunuhan, dan sebagainya melainkan adanya suatu sebutan terhadap berbagai tindak pidana yang dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan berita dengan melalui tulisan yang telah dituliskan dan mempublikasikan berita.

Tindak pidana yang dapat dilakukan oleh pidan pers dengan maskud untuk mempublikasikan berita melalui tulisan. Seperti penghinaan, pencemaran nama baik, pornografi, penghasutan dan masih banyak lagi. Tindak pidana tersebut tersebar dalam berbagai undang-undang seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Pers, Undang-Undang Penyiaran.

Baca Juga: Esensi Hak Tolak bagi Wartawan 

Pertanggungjawaban menurut pidana pers terdapat pada pasal 15 Undang-Undang Pers Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, menyakan bahwa:

  1. Pemimpin umum bertanggung jawab atas keseluruhan penerbitan baik ke dalam maupun keluar;
  2. Pertanggunganjawab Pemimpin Umum terhadap hukum dapat dipindahkan kepada Pemimpin Redaksi mengenai isi penerbitan (redaksionil) dan kepada Pemimpin Perusahaan mengenai soal-soal perusahaan;
  3. Pemimpin redaksi bertanggung jawab atas pelaksanaan redaksional dan wajib melayani hak jawab dan koreksi;
  4. Pemimpin redaksi dapat memindahkan pertanggujawaban terhadap hukum, mengenai suatu tulisan kepada anggota redaksi atau kepada penulisnya yang bersangkutan;
  5. Dalam pertanggungjawaban terhadap hukum, pemimpin umum, pemimpin redaksi, anggota redaksi, atau penulisnya mempunyai hak tolak.

Pertanggungjawaban dapat dilimpahkan kepada bawahan. Namun, Undang-Undang Pokok Pers ini pun juga berlaku sistem pertanggungjawaban bertangga (stair system) yaitu pelimpahan pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada Pemimpin Redaksi atau seseorang yang memiliki kedudukan tinggi secara struktural dalam perusahaan pers tersebut.

Pertanggungjawaban pidana dalam delik pers adalah dibebankan pada redaktur dengan pengecualian, apabila pemilik tulisan atau barang cetakan yang menyuruh dan mencetak tidak dapat ditangkap dan dilakukan penyidikan terhadapnya maka penerbit dan pencetaklah yang dibebani pertanggungjawaban pidana atas isi yang mengandung sifat melawan hukum itu dan juga apabila terjadi pelanggaran sebagaimana yang telah diatur Pasal 18 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka pembebanan pertanggungjawaban pidana delik pers adalah pada perusahaan pers.

Redaktur adalah salah satu jenis jabatan keredaksian di dalam dunia wartawan. Secara etimologis, redaktur berasal dari bahasa Belanda, redacteur, yang secara umum artinya seseorang yang bertugas melakukan penyuntingan, yaitu memberi judul, memperbaiki kesalahan ejaan, tanda baca, diksi, serta keterpaduan antar paragraf, dari naskah berita yang telah ditulis dan dikirimkan oleh reporter. Redaktur dipertanggungjawabankan sebagai plager apabila:

  1. Jika tulisannya tersebut hasil karyanya sendiri;
  2. Tidak disebut nama penulis aslinya;
  3. Penulis asli tidak dapat dituntuk pidana;
  4. Redaktur telah menambah tulisan sedemikian rupa tanpa sepengetahuan penulis.

Baca Juga: Membenahi Kerancuan Pers Indonesia

Redaktur dipertanggungjawabkan sebagai madpleger atau madeplictige apabila:

  1. Jika tulisan yang strafbaar tersebut tiak diadakan perubahan;
  2. Dalam hal tersebut redaktur mengatakan bahwa tulisan tersebut redaktur yang bertanggung jawab dan isi di luar tanggung jawab redaksi.

Menurut ahli hukum Indrianto Seno Aji menyimpulkan bahwa Undang-Undang Pokok Pers yang baru ini yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers meliputi pertanggungjawaban yang dapat dianggap pertanggungjawaban fiktif, dikarenakan masih menjadi penanggung jawab di perusahaan pers seperti yang ada di dalam bidang usaha dan bidang redaksi.

Namun, dengan memperhatikan penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Pers yang menyangkut adanya pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka makna yang berlaku adalah azas umum dari pertanggungjawaban pidana “individual responsibility” atau pertanggungjawaban individu.

Bagi seorang redaktur sebenarnya terdapat beberapa kemungkinan dalam melakukan suatu perbuatan yang berhubungan dengan pekerjaannya antara lain yaitu kemungkinan bahwa dia sendiri yang menulis karangan tersebut, perbuatannya ini dapat dikualifikasi sebagai pleger.

Redaktur tersebut menerima tulisan dari orang lain dan kemudian dapat mengubah perubahan-perubahan sedemikian rupa, sehingga tulisan tersebut dapat dipandang sebagai hasil karyanya sendiri.

Baca Juga: Tantangan Kebebasan Pres di Indonesia

Perbuatannya ini dapat dianggap sebagai pleger, tetapi apabila redaktur menerima tulisan dari orang lain dan memuat tulisan tersebut dengan tidak banyak atau boleh dikatakan tanpa perubahan-perubahan.

Di sini timbul persoalan, apakah perbuatannya itu dipandang sebagai perbuatan seorang medepleger (turut serta melakukan), ataukah sebagai perbuatan seorang medeplichtige (membantu melakukan).

Untuk selesainya delik pers, maka akan melibatkan banyak orang atau pihak. Peran perbuatan delik pers masing-masing orang tidak bisa dipisahkan. Dikarenakan mereka semua merupakan rangkaian tingkah laku yang melahirkan suatu tindak pidana.

Sejak dibuatnya tulisan sampai pada beredarnya isi tulisan, terdapat perbuatan yang berbeda-beda. Keuntungan perusahaan pers adalah bukan oleh karena terbitnya, melainkan beredarnya media cetak tersebut setelah penerbitan.

Penulis: Muhimmatul Hidayah
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Trunojoyo Madura

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses