Perusahaan Tak Taat Aturan, Para Petani Sawit Rugi Besar

Petani Kelapa Sawit
Petani Kelapa Sawit (Foto: Shutterstock)

Kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng yang ditetapkan pemerintah telah berlaku sejak 28 April 2022. Bahan baku minyak goreng yang dilarang diekspor terbatas pada produk turunan kelapa sawit tertentu saja, yaitu berupa refined, bleached, deodorized (RBD Palm Olein).

Kebijakan ini akan terus diberlakukan sampai harga minyak goreng di pasaran kembali normal, yakni sebesar Rp 14.000 per liter.

Pelarangan ekspor ini berimbas kepada turunnya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Sebelum kebijakan diumumkan, harga TBS kelapa sawit mencapai Rp 3.000, namun kini harganya semakin merosot hingga 70%. Harga TBS kelapa sawit di Riau diketahui menurun menjadi Rp 1.100 per kilogram.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca juga: Kerjasama Pengendalian Harga dalam Jual Beli Kelapa Sawit

Sedangkan, di Kalimantan harga TBS kelapa sawit sebesar Rp 800 per kilogram dan merupakan harga sawit terendah. Jika harga TBS terus menerus mengalami penurunan, maka para petani sawit akan mengalami kerugian karena tidak dapat menutup biaya produksinya.

Seharusnya, larangan ekspor produk turunan sawit tidak mempengaruhi konsumsi TBS kelapa sawit dan harga TBS kelapa sawit di tingkat petani. Karena yang dilarang diekspor hanyalah RBD Palm Olein.

Dan dengan adanya larangan ekspor RBD Palm Olein bukan berarti konsumsi TBS untuk produk lain seperti oleokimia, biodesel, refined PKO, Crude PKO dan CPO ditiadakan.

Sehingga yang seharusnya digunakan untuk ekspor RBD Palm Olein dapat dikonversikan TBS ke produk turunan sawit lainnya.

Selain itu, pada dasarnya harga TBS di tingkat petani mengikuti harga CPO secara internasional. Saat ini harga CPO internasional mengalami kenaikkan, namun harga TBS kelapa sawit di tingkat petani malah mengalami penurunan.

Baca juga: Ihtikar Minyak Sawit

Hal ini diduga karena perusahaan-perusahaan kelapa sawit atau Pabrik Kelapa Sawit (PKS) ingin memperoleh keuntungan secara sepihak di tengah adanya kebijakan larangan ekspor.

Sebenarnya, Pemerintah Pusat maupun Daerah telah menetapkan kebijakan tentang penetapan harga pembelian TBS di tingkat petani.

Salah satunya adalah Surat Edaran Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, yang mengingatkan bahwa pembelian TBS sudah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 1 tahun 2018, sehingga tidak dibenarkan untuk membeli TBS di bawah harga yang telah ditetapkan.

Kebijakan ini dibuat dengan harapan mampu mencegah penurunan harga dan menciptakan keadilan harga bagi semua pihak. Namun masalahnya, peraturan ini lagi-lagi tidak dipatuhi oleh PKS.

Banyak PKS di berbagai daerah yang menetapkan harga TBS kelapa sawit secara sepihak dan di bawah harga yang telah ditetapkan pemerintah.

Ketua umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, menilai bahwa PKS tidak mematuhi kebijakan dari Pemerintah, baik itu dalam soal pemenuhan Domestic Market Obligation (DMO) maupun Domestic Price Obligation (DPO).

Selain itu, dalam konferensi pers sikap Partai Buruh bersama SPI terkait larangan ekspor CPO (27/4/2022), Henry juga mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit telah banyak melakukan perampasan tanah terhadap para petani maupun masyarakat adat, dan juga banyak para pekerja yang bekerja di sana hanya sebagai buruh tidak tetap atau buruh harian lepas dengan kondisinya yang tidak baik.

Maka dari itu, pemerintah diharapkan dapat menindak tegas para PKS yang telah menurunkan harga TBS kelapa sawit secara sepihak dan tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah. Bagi para PKS yang telah membeli TBS dari petani dengan harga yang tidak sesuai, harus membayar kerugian petani, baik dengan membeli kelapa sawit sesuai dengan harga yang ditentukan pemerintah, maupun membayar klaim sawit yang telah dibeli sebelumnya sesuai dengan ketentuan harga.

Baca juga: “WOW” Mengejutkan! Harga Minyak Goreng Kembali Turun

Apabila PKS tidak mau melakukannya, maka harus diberikan sanksi sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 1 tahun 2018, yang merujuk pada UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan pemberdayaan Petani (Perlintan) dan kebijakan lainnya yang melindungi harga produksi petani.

Kemudian, dibutuhkan juga peran Pemerintah Daerah baik Bupati maupun Wali Kota untuk seacara aktif mengawasi para PKS agar tetap tunduk dan patuh pada kebijakan yang telah ditetapkan.

Yang paling penting dalam proses mengembalikan harga TBS kelapa sawit di tingkat petani adalah adanya kerja sama dan komunikasi yang baik antara Pemerintah Pusat, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah, sampai dengan para petani kelapa sawit.

Penulis: Aldina Alfi Cahyani
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang

Editor: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI