Pinisi Kebanggaan yang Berlayar, Alam yang Tercemar

Pinisi Kebanggaan yang Berlayar, Alam yang Tercemar
Serbuk kayu dan kapar yang berserakan di Bantilang dibiarkan (Sumber: dokumen pribadi).

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) secara resmi menetapkan Pinisi sebagai warisan budaya tak benda pada 7 Desember 2017.

Penetapan ini mengakui keterampilan dan pengetahuan tradisional dalam pembuatan kapal Pinisi yang diwariskan oleh masyarakat Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan. Pengakuan dari UNESCO ini bertujuan untuk melestarikan warisan maritim Indonesia yang telah mendunia.

Sebagai kapal tradisional kebanggaan Sulawesi Selatan, Pinisi mengandung nilai-nilai budaya yang mendalam.  Setiap tahap pembuatannya, mulai dari teknik pengerjaan hingga hari pemotongan tunas, memiliki makna filosofis yang diwariskan secara turun-temurun. 

Keunikan ini menarik perhatian wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, untuk melihat langsung proses pembuatan Pinisi. Bantilang, sebutan bagi tempat pembuatan kapal ini, dapat ditemukan di tiga daerah di Bulukumba, seperti Tanah Beru, Ara, dan Bira. 

Bacaan Lainnya

Mengandalkan teknik tradisional tanpa bantuan alat modern, kapal Pinisi dibuat menggunakan kayu pilihan seperti jati, besi, dan bitti. Sejak dahulu, Pinisi telah berlayar jauh melintasi lautan, bahkan mencapai  Vancouver, Kanada, dalam perjalanan dagang.

Namun, seiring waktu, peran Pinisi bergeser dari alat transportasi perdagangan menjadi kapal wisata yang populer di Labuan Bajo dan Raja Ampat.

Di balik keindahan dan kejayaan Pinisi, ada dampak lingkungan yang seringkali terabaikan. Semakin banyak kapal Pinisi yang dibuat, semakin besar pula jumlah limbah serbuk kayu yang mencemari laut.

Serbuk kayu dan sisa potongan yang tidak terkelola dengan baik terbawa arus, mencemari perairan dan berpotensi merusak ekosistem laut.

Ritual Berbicara dengan Pohon

Dalam proses pembuatan Pinisi,  para pembuat pinisi atau warga lokal kerap menyebutnya Panrita Lopi atau dalam Bahasa Indonesia ‘Pembuat Kapal’  melakukan beberapa tahap, salah satunya tahap menebang, mengeringkan, dan memotong kayu yang dilakukan dengan  beberapa ritual termasuk penentuan hari baik dan ritual berbicara dengan pohon. Ritual ini dilakukan untuk memastikan apakah pohon sudah siap untuk ditebang atau tidak.

Berbanding terbalik dengan pelestarian pohon dan menjaga keseimbangan hutan, justru dalam proses perakitannya, saat pohon telah ditebang, dikeringkan, lalu dipotong, limbah serbuk kayu dan kapar dibiarkan saja menumpuk dan terbawa oleh arus. Hal ini tentunya bisa mencemari laut dan merusak ekosistem di dalamnya.

Baca Juga: Tak Terima Dikritik, BPP KKSS Larang PB IKAMI Sulsel Hadir di Mubes

Merusak Estetika Keindahan Pantai

Banyaknya wisatawan, baik dari mancanegara maupun berbagai daerah di Indonesia, yang datang ke Bulukumba untuk melakukan riset atau sekadar berwisata seharusnya menjadi perhatian utama bagi dinas pariwisata.

Penting untuk memastikan bahwa setiap wisatawan memperoleh pengalaman yang berkesan dan meninggalkan kesan positif terhadap keindahan serta kekayaan budaya Bulukumba. 

Namun, keberadaan serbuk kayu dan kapar yang berserakan tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga merusak estetika keindahan pesisir pantai. Jika tidak segera ditangani, hal ini dapat mengurangi daya tarik wisata dan mengganggu kelestarian alam.

Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret dalam pengelolaan limbah serta kesadaran bersama untuk menjaga kebersihan dan keindahan Bulukumba sebagai salah satu daerah dengan destinasi wisata yang sangat menawan.

Minimnya Perhatian dari Pemerintah

Pinisi selalu diagungkan sebagai simbol kejayaan maritim, bahkan pemerintah rutin menggelar Festival Pinisi, setiap tahunnya dan mendapat penghargaan  Top 110 Karisma Event Nusantara Kementerian Pariwisata Republik Indonesia Tahun 2025,  sebagai upaya dalam menjaga dan melestarikan budaya. Namun, perhatian terhadap dampak lingkungan dari proses pembuatan kapal Pinisi masih minim.

Setiap tahun, aksi bersih pantai dilakukan menjelang festival, tetapi tanpa edukasi dan pengelolaan limbah kayu yang baik, upaya ini hanya menjadi solusi sementara. Perlu ada kebijakan yang jelas dalam pengelolaan limbah  serbuk kayu dan kapar agar kejayaan Pinisi tidak justru menjadi ancaman bagi laut yang menjadi rumahnya.

Baca Juga: Riset Tim PKM-RSH Universitas Negeri Makassar – Ritual Annyorong Lopi

Edukasi bagi Para Panrita Lopi dalam Pelestarian Budaya dan Lingkungan

Pelibatan Panrita Lopi dan warga sekitar sangat penting dalam upaya pelestarian budaya tanpa mengabaikan kelestarian alam. Salah satu langkah edukasi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kesadaran bahwa serbuk kayu memiliki nilai jual dan manfaat ekologis.

Saat ini, banyak Panrita Lopi yang masih membakar serbuk kayu karena dianggap menghambat lahan pengerjaan kapal Pinisi, padahal limbah ini dapat diolah menjadi produk yang lebih bermanfaat.

Edukasi ini juga perlu didukung dengan kaderisasi di berbagai lapisan masyarakat. Anak-anak muda yang melek digital dapat dilibatkan dalam promosi dan inovasi pengolahan limbah, sementara ibu-ibu dapat diberdayakan untuk mengolah serbuk kayu menjadi sumber penghasilan tambahan.

Para Panrita Lopi juga dapat bekerja sama dalam pengolahan serbuk kayu menjadi briket, kompos tumbuhan, bahkan pulp untuk produksi kertas.

Selain itu, pemanfaatan limbah serbuk kayu untuk co-firing di PLTU, seperti yang telah dilakukan PLN EPI di Bengkayang, bisa menjadi referensi dalam pengelolaan limbah yang lebih berkelanjutan.

Dengan sinergi antara berbagai pihak, pelestarian budaya Pinisi dapat berjalan seiring dengan keberlanjutan lingkungan.

Penulis: Ririn Sefty Diana
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar
Aktif juga di Dompet Dhuafa Volunteer

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses