Politik Uang di NTB: Tantangan dan Harapan Menuju Demokrasi Bersih

Politik Uang di NTB: Tantangan dan Harapan Menuju Demokrasi Bersih
Sumber: pixabay.com

Mataram, NTB – Seperti yang kita tahu, menjelang pemilihan umum lebih tepatnya di NTB, banyak terjadi kasus suap menyuap antara pihak paslon dengan pemilih atau Masyarakat, atau yang lebih kita kenal sebagai praktik politik uang.  Praktik ini kembali menjadi masalah penting di Nusa Tenggara Barat (NTB). (03/12/2024)

Politik uang atau politik perut (Money politics) adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Nusa Tenggara Barat (NTB) selalu menjadi ajang yang menarik perhatian. Selain karena dinamisnya perebutan kekuasaan di tingkat lokal, Pilkada NTB juga mencerminkan kompleksitas sosial dan ekonomi masyarakat daerah tersebut.

Namun, meskipun Pilkada di NTB telah berjalan dengan berbagai perbaikan dalam aspek prosedural dan teknis, satu masalah klasik yang tak kunjung hilang adalah praktik politik uang yang masih menghantui setiap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada.

Bacaan Lainnya

Laporan terbaru dari Bawaslu NTB menunjukkan ada peningkatan yang cukup besar dalam kasus politik uang. Pada Pemilu 2024, terdapat peningkatan laporan mengenai praktik ini sebesar 25% dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan kekhawatiran tentang integritas proses pemilu serta dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.

“Politik uang dan politisasi SARA cukup rawan terjadi pada masa kampanye, karena Paslon akan bersentuhan langsung dengan pemilih. Ada kemungkinan transaksi politik uang, politisasi SARA, serta keterlibatan pihak-pihak yang dilarang, seperti ASN, TNI, Polri dan Kepala Desa,” ujar Komisioner Bawaslu NTB, Hasan Basri, Jum’at (12/9/2024).

Baca Juga: Analisis Praktik Politik Uang dan Dampaknya terhadap Etika dalam Pemilihan Umum di Indonesia

Hasan menambahkan, bahaya politik uang dan politisasi SARA ini dapat memicu konflik antar kelompok pendukung, terutama jika terdapat hubungan kekerabatan atau ikatan emosional yang kuat antara Paslon dan masyarakat. “Misalnya, jika seorang calon gubernur memiliki anggota keluarga yang juga menjadi calon wakil bupati. Hal ini berpotensi menimbulkan persaingan yang tidak sehat,” jelasnya.

Ketua Bawaslu NTB, Muhammad Khuwailid, juga mengungkapkan, “Politik uang bukan hanya merugikan proses pemilu, tetapi juga menciptakan ketergantungan politik yang dapat merusak tatanan sosial.” Ia menekankan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas dan pendidikan politik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahayanya politik uang.

Masyarakat NTB juga mulai menunjukkan perlawanan terhadap politik uang. Sejumlah organisasi masyarakat sipil telah meluncurkan kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya suara yang bebas dari pengaruh uang. 

Harapan untuk perubahan tetap ada, terutama melalui inisiatif lokal yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pemilu. Jika inisiatif ini dapat diterapkan secara luas di NTB, ada harapan bahwa masyarakat dapat terlepas dari pengaruh politik uang dan membangun sistem demokrasi yang lebih sehat dan berintegritas.

Maka dari itu, dengan langkah yang tepat, NTB dapat berpotensi menjadi teladan bagi daerah lain dalam memerangi praktik politik uang dan menciptakan lingkungan politik yang lebih transparan dan akuntabel.

 

Penulis: Nilna Ilyana
Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Mataram

 

Editor: I. Khairunnisa

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses