Perilaku kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia semakin marak terjadi, baik pada tingkat domestik, lokal, nasional, regional, bahkan dunia, dengan berbagai macam bentuk, seperti pemerkosaan, bahkan pelecehan seksual secara verbal.
Berdasarkan perspektif psikologi sosial, perilaku kekerasan seksual terhadap anak dapat digolongkan sebagai perilaku agresi.
Dengan demikian penulis ingin mengungkap tentang prevensi yang dapat dilakukan secara psikologi sosial dalam melakukan prevensi terhadap kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan seksual terhadap anak.
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan problem perilaku dan problem sosial yang mempunyai dampak merugikan bagi korban, keluarga, teman, maupun komunitas masyarakat.
Tujuan adanya prevensi perilaku kekerasan seksual terhadap anak adalah upaya mencegah kemungkinan-kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan seksual terhadap anak sesegera mungkin.
Bentuk-Bentuk Perilaku Kekerasan Seksual terhadap Anak, di antaranya:
- Menyentuh badan anak secara seksual, baik si anak memakai pakaian atau tidak.
- Semua jenis penetrasi seks, seperti penetrasi ke mulut anak memakai benda atau anggota badan.
- Secara sengaja melakukan aktivitas seksual di hadapan anak, dan tidak menjaga dan mencegah anak menonton aktivitas seksual yang dilakukan orang lain.
- Membuat, mengirim dan menunjukkan tayangan atau film yang berisi adegan anak-anak dalam tindakan tidak senonoh.
- Menunjukkan kepada anak, gambar, atau film yang menampilkan aktivitas seksual.
Supaya perilaku kekerasan seksual terhadap anak dapat direduksi maka prevensi psikologi sosial terkait dengan kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan seksual terhadap anak menjadi hal yang penting.
Menurut Dalton dkk., (2007) prevensi merupakan upaya pencegahan suatu peristiwa atau suatu perilaku tidak terjadi atau usaha-usaha antisipasi agar suatu peristiwa atau perilaku tidak terjadi.
Dalam hal ini prevensi perilaku kekerasan seksual terhadap anak dalam psikologi sosial adalah usaha-usaha psikologi sosial (bidang psikologi yang menjelaskan perilaku individu dalam konteks sosial) yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan agar perilaku kekerasan seksual terhadap anak dapat teratasi.
Prevensi psikologi sosial terhadap perilaku kekerasan seksual terhadap anak dilakukan untuk mencapai tujuan kesejahteraan secara psikologis terhadap anak-anak.
Berdasarkan perspektif psikologi sosial perilaku kekerasan seksual merupakan perilaku agresi yang ditunjukkan kepada objek sasaran perilaku tersebut.
Perilaku agresi adalah perilaku seseorang atau sekelompok orang yang diniatkan untuk menyakiti objek sasaran perilaku agresi tersebut (Colman, 2006).
Dengan demikian perilaku agresi adalah perilaku yang dipelajari baik dari lingkungan sosial, seperti interaksi dengan keluarga, interaksi dengan teman sebaya dan melalui media massa dengan tujuan untuk menyakiti orang lain.
Dalam konteks perilaku kekerasan seksual, perilaku agresi seksual adalah perilaku kekerasan yang ditunjukkan kepada aspek-aspek yang berhubungan dengan sifat-sifat sosial orang atau komunitas lain yang menjadi objek sasaran.
Suatu perilaku dapat dikategorikan sebagai perilaku kekerasan seksual adalah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai perilaku agresi (Hanurawan, 2010).
Syarat-Syarat Perilaku Kekerasan Seksual, di antaranya:
- Adanya niat yang terdapat dalam diri pelaku kekerasan seksual untuk melukai objek sasaran perilaku kekerasan seksual.
- Adanya harapan yang terdapat dalam diri pelaku kekerasan seksual untuk membuat objek sasaran perilaku mengalami penderitaan akibat perilaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku.
- Adanya keinginan objek perilaku kekerasan seksual untuk menghindari perlakuan kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelaku kekerasan seksual.
Apa saja Strategi Prevensi Perilaku Kekerasan Seksual terhadap Anak? Yukkk, Simak Penjelasan di Bawah ini
Prevensi pada Komunitas yang Berjenis Kelamin Laki-Laki
Strategi prevensi pada komunitas yang berjenis kelamin laki-laki adalah dikarenakan laki-laki memiliki alternatif kecendrungan kognitif dan afektif laki-laki untuk melakukan kekerasan kekerasan seksual.
Program ini berdasar pada anggapan bahwa semakin baik pemahaman laki-laki tentang akibat-akibat negatif (seperti sindrom trauma setelah adanya kekerasan seksual) dari terjadinya kekerasan seksual pada diri korban perilaku kekerasan seksual maka hal tersebut dapat membuat mereka untuk memiliki kecendrungan untuk tidak berkomitmen melakukan perilaku kekerasan seksual kepada orang lain terkhusus kepada anak-anak.
Melalui program ini laki-laki dapat belajar untuk mengembangkan sikap negatif terhadap perilaku kekerasan seksual yang dapat menjadi dasar bagi terjadinya perilaku yang menolak komitmen terhadap perilaku kekerasan seksual.
Dalam konteks psikologi sosial, sikap mempunyai keterkaitan erat bagi terjadinya suatu perilaku, termasuk sikap positif terhadap perilaku kekerasan seksual berhubungan dengan kecendrungan tidak melakukan perilaku kekerasan seksual.
Pengembangan pengetahuan terhadap keadaan psikologis korban membantu laki-laki untuk mengembangkan empati terhadap kondisi psikologis korban pasca terjadinya kekerasan seksual.
Secara khusus, dalam konteks psikologi sosial, prevensi terhadap terjadinya perilaku kekerasan seksual dapat pula dengan memberikan bimbingan keterampilan sosial kepada komunitas laki-laki (Hanurawan, 2010).
Bimbingan keterampilan sosial dalam bentuk bimbingan kemampuan interpersonal dan kemampuan sosial sebagai upaya untuk membantu laki-laki yang memiliki kemampuan interpersonal dan sosial yang rendah untuk mereduksi niat melakukan perilaku kekerasan seksual.
Dalam hal ini bimbingan tersebut dapat menolong mereka untuk menunjukkan keinginannya secara tepat kepada orang lain dan peka terhadap tanda-tanda perlawanan yang ditunjukkan oleh orang lain.
Prevensi pada Kemunitas yang Berjenis Kelamin Perempuan
Dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak saat ini, pelaku kekerasan seksual bukan hanya laki-laki, tapi juga perempuan, sehingga prevensi pada perempuan juga penting untuk dilakukan.
Tujuan utama program pencegahan pada komunitas yang berjenis kelamin perempuan adalah untuk mencegah resiko terjadinya perilaku kekerasan seksual terhadap anak-anak dengan memberikan pemahaman kepada perempuan mengenai informasi–informasi resiko terkait perilaku kekerasan seksual, dan bahaya yang akan terjadi pada anak atau pada pelaku itu sendiri.
Prevensi melalui peran orang tua untuk memperkenalkan bagian anggota tubuh sejak dini terhadap anak.
Strategi yang paling utama dilakukan orang tua khususnya kepada anak adalah memperkenalkan bagian anggota tubuh pada anak sejak dini.
Seperti memperkenalkan bagian tubuh yang bersifat peribadi, menjelaskan pengertian kekerasan seksual terhadap anak, hal apa saja yang harus dihindari oleh anak agar tidak terjadi kekerasan seksual, tindakan apa saja yang harus dilakukan anak ketika mengalami kekerasan seksual, dan mendampingi anak belajar melalui video tentang sentuhan yang boleh dan tidak boleh orang lain sentuh pada tubuhnya.
Menurut Insani (2020) bahwa pendidikan seks harus dimulai sejak dini dan bertahap sesuai dengan perkembangan anak. Apabila hal tersebut dilakukan setelah anak beranjak dewasa, mereka akan mencari tau dari lingkungan sekitar yang terkadang menyesatkan.
Reduksi kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan seksual terhadap anak melalui kebijakan pemerintah setempat untuk meningkatkan keamanan terhadap anak.
Strategi kebijakan daerah untuk peningkatan keamanan bagi anak-anak yang rentan menjadi sasaran kekerasan seksual, antara lain dapat melalui, pemasangan kamera pengawas di tempat yang rawan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
Kegiatan patroli polisi secara rutin dan konsisten di tempat yang rawan kekerasan seksual terhadap anak. Seperti adanya operasi dan razia di tempat-tempat tertentu yang berpotensi dijadikannya para pelaku sebagai tempat melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
Adanya Kebijakan Hukum yang Setimpal bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak
Strategi kebijakan hukum ini sesuai dengan prinsip pencegahan perilaku agresi dalam psikologi sosial terkait dengan pemberian hukuman sebagai alat yang efektif untuk prevensi perilaku kekerasan seksual terhadap anak.
Hukuman yang setimpal bagi pelaku kekerasan seksual akan dapat mencegah prevalensi terjadinya perilaku kekerasan seksual terhadap anak.
Selain itu aparat hukum seperti polisi, hakim, harus turut berkontribusi positif terhadap prevensi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Demikianlah beberepa prevensi perilaku kekerasan seksual terhadap anak. Anak sejatinya adalah amanah dari Tuhan yang harus dilindungi, dicintai, sehingga mereka dapat tumbuh bahagia jauh dari kekerasan fisik dan tekanan mental yang dapat menghancurkan masa depannya.
Dan melalui tulisan ini penulis berharap dapat menjadi sebuah edukasi bagi setiap orang, agar dapat menjahui perilaku kekerasan seksual terhadap anak-anak, ataupun perempuan bahkan komunitas secara umum.
Perilaku kekerasan seksual dapat dicegah apabila setiap orang dapat berpikir dengan bijak serta cerdas dalam mengelola emosionalnya. Dengan demikian fenomena dan kasus perilaku kekerasan seksual terhadap anak dapat teratasi dengan baik.
Penulis: Khairun Najah, S.Psi
Mahasiswa Interdiciplinary Islamic Studies Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Referensi:
Colman, A.M. (2006). A Dictionary of psychology. New York: Oxford University Press.
Dalton, J.H., Elias, M.J., Wandersman, A. (2007). Community Psychology: Linking Individuals and Communitities. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
Hanurawan, F. (2010). Psikologi Sosial, Suatu Pengantar. Bandung: Universitas Negeri Malang & PT Remaja Rosdakarya.
Insani, U., & Supriatun, E. (2020). Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak dengan Teknik Audiovisual di Rumah Yatim Tegal. Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat.