Program Nuklir Korea Utara: Berdampak pada Kontaminasi Air

Program nuklir Korea Utara telah lama menjadi isu global, bukan hanya karena potensi ancaman militernya, tetapi juga karena dampak lingkungannya.

Salah satu aspek yang mulai menarik perhatian saya dalam melihat program ini adalah potensi kontaminasi air akibat aktivitas nuklir tersebut.

Korea Utara diketahui memiliki beberapa fasilitas nuklir utama seperti di Yongbyon, yang telah beroperasi sejak dekade 1980-an.

Baca juga: Menjelajahi Potensi Energi Nuklir: Meningkatkan Kemandirian Energi Listrik NKRI

Bacaan Lainnya

Aktivitas di fasilitas ini termasuk pemrosesan ulang bahan bakar nuklir, yang menghasilkan limbah radioaktif.

Apabila limbah ini tidak dikelola dengan baik, maka dapat mencemari air tanah maupun sungai di sekitarnya, yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan manusia dan ekosistem.

Saya mengutip Laporan dari Institute for Science and International Security (ISIS) menunjukkan bahwa ada bukti citra satelit yang memperlihatkan kemungkinan pembuangan limbah ke sungai Taeryong, yang mengalir ke Sungai Yalu, berbatasan dengan Tiongkok.

Baca juga: Respon Korea Selatan terhadap Uji Coba Nuklir Korea Utara

Hal ini memicu kekhawatiran akan dampak lintas batas, mengingat air dari sungai tersebut digunakan oleh masyarakat di kedua negara, Jadi sangat mengancam keberlangsungan hidup masyarakat.

Selain itu, tingginya tingkat kerahasiaan dari pemerintah Korea Utara menyulitkan pemantauan independen atas pengelolaan limbah radioaktif.

Hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa pencemaran lingkungan, khususnya air, bisa jadi lebih parah dari yang dilaporkan secara resmi.

Baca juga: Germas: Langkah Mudah Tangkal Penyakit dan Dampaknya bagi Lingkungan

Saran saya terkait ini, komunitas internasional harus lebih serius dalam menekan Korea Utara untuk transparan terhadap dampak lingkungan dari program nuklirnya.

Selain melalui sanksi, pendekatan diplomatik dan bantuan teknis untuk pengelolaan limbah bisa menjadi jalan tengah yang lebih efektif demi mencegah bencana ekologi yang lebih besar di kawasan Asia Timur.

 

Penulis: Balngom Uopmabin

Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih

Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses