Rangkap Jabatan Membuka Peluang Tindakan Korupsi

Korupsi
Ilustrasi: istockphoto

Fenomena rangkap jabatan sudah menjadi polemik dan permasalahan yang sering dijumpai di Indonesia. Rangkap jabatan adalah kondisi di mana seseorang memegang jabatan atau memiliki lebih dari satu cabang kekuasaan di saat yang bersamaan.[1] Praktik rangkap jabatan sangat sering ditemukan di BUMN.

Berdasarkan temuan Ombudsman Republik Indonesia, tercatat di tahun 2019 setidak-tidaknya terdapat 397 pejabat publik yang merangkap jabatan di ranah BUMN/D.[2] Sebelumnya perlu ditarik kembali bahwa fenomena rangkap jabatan bukan fenomena yang baru-baru ini terjadi, tetapi sudah ada sejak zaman orde baru.

Pada era tersebut dapat dilihat bahwa seorang pegawai negeri sipil atau anggota ABRI yang merangkap sebagai menteri, gubernur, dan jabatan-jabatan yang lain serta tetap berhak menerima gaji tetap dari negara.[3]

Bacaan Lainnya
DONASI

Namun, hal tersebut diperbaiki dengan peraturan yang mengatur tentang rangkap jabatan yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyatakan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya atau menjadi komisaris/ direksi pada perusahaan negara/ swasta atau merangkap sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/ APBD.

Meskipun ketentuan tersebut secara expressive ferbis menunjukkan adanya larangan bagi menteri untuk melakukan rangkap jabatan, realitanya masih banyak menteri yang merangkap jabatan di suatu instansi yang dibiayai oleh APBN/APBD.

Fakta Rangkap Jabatan

Dalam Kementerian Keuangan, tercatat sebanyak 39 pegawai Kemenkeu yang merangkap jabatan yang mayoritas menjadi Komisaris di BUMN.[4]

Hal tersebut tentunya bertentangan dengan ketentuan dalam UU Kementerian Negara yang melarang adanya rangkap jabatan di instansi yang dibiayai oleh APBN, pasalnya BUMN merupakan suatu perusahaan yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara baik itu asetnya maupun kepemilikannya.[5]

Lebih lanjut, fenomena ini juga melanggar ketentuan dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik khususnya di Pasal 17a telah disebutkan bahwa pelaksana pelayan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.

Namun, di sisi lain terdapat pendapat yang menyatakan bahwa seorang pejabat di Kementerian Keuangan dapat merangkap jabatan dan hal tersebut merupakan amanat dari UU Keuangan dan UU BUMN.

Salah satu alasan diperbolehkannya rangkap jabatan bagi pejabat di Kementerian Keuangan adalah untuk memudahkan koordinasi antara Kemenkeu sebagai bendahara negara dan pemegang otoritas fiscal sehingga dirasa penting untuk menempatkan perwakilan kementerian sebagai pengawas.[6]

Maka dari itu, fenomena tersebut merupakan sebuah polemik yang perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui potensi permasalahan yang timbul dalam rangkap jabatan.

Tindakan Korupsi dalam Rangkap Jabatan

Berkaca dari fenomena tersebut. Maka perlu disadari bahwa fenomena rangkap jabatan tersebut berpotensi tinggi munculnya tindakan yang bersifat koruptif. Rangkap jabatan oleh pejabat negara ini tidak hanya melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga berpotensi adanya konflik kepentingan.

Konflik kepentingan merupakan situasi di mana pejabat publik memiliki kepentingan pribadi atau kepentingan lainnya yang memengaruhi atau terlihat memengaruhi kinerja jabatan publiknya yang seharusnya objektif dan imparsial.[7]

Dalam hal rangkap jabatan, potensi konflik kepentingan tersebut sangat besar. Munculnya konflik kepentingan jika dibiarkan sangat dimungkinkan terjadinya korupsi. Salah satu bentuk konflik kepentingan yang mungkin dapat terjadi dalam rangkap jabatan oleh pejabat negara adalah dimungkinkannya pembuatan kebijakan yang menguntungkan perusahaan.

Selain itu, adanya rangkap jabatan yang terjadi di BUMN berarti juga adanya rangkap penghasilan pula. Berdasarkan peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-04/MBU/2014 yang diubah dengan PER-02/MBU/06/2016 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN dinyatakan bahwa penghasilan Dewan Komisaris BUMN tidak hanya bersumber dari gaji/ honorarium lainnya, tetapi juga tunjangan, failitas, dan insentif kerja.[8]

Dengan fakta tersebut, juga dimungkinkan alasan pejabat publik melakukan rangkap jabatan di BUMN hanya untuk sebatas menambah penghasilan. Maka dari itu, pemerintah sudah saatnya menindaklanjuti fenomena rangkap jabatan tersebut.

Rekomendasi

Rangkap jabatan merupakan hal yang berpotensi menimbulkan kasus korupsi karena adanya konflik kepentingan. Sebenarnya, hal tersebut sepenuhnya tidak menjadi permasalahan apabila pejabat yang melakukan rangkap jabatan tersebut mampu mengontrol dirinya.

Adanya pejabat pemerintahan dalam lingkup BUMN seperti menjadi komisaris juga diperlukan dalam hal untuk merepresentasikan pemerintah dan mengawasi keberlangsungan program pemerintah. Namun, di sisi lain pemerintah perlu membuat kebijakan yang mampu mengurangi adanya konflik kepentingan di dalam rangkap jabatan, terutama di BUMN.

Kebijakan yang diatur oleh pemerintah antara lain, pertama, pemerintah harus dapat membuat kebijakan mengenai teknis perekrutan pejabat negara yang bisa merangkap jabatan di BUMN. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perekrutan seperti integritas, kapasitas, kapabilitas, dan hal-hal lain yang mampu menunjang proses pengawasan sehingga tidak memunculkan adanya konflik kepentingan.

Kedua, melihat adnaya penghasilan ganda tersebut, pemerintah juga perlu membuat kebijakan mengenai single salary system sehingga pejabat yang melakukan rangkap jabatan di BUMN hanya mendapatkan gaji dari salah satu instansi sehingga keinginan seseorang untuk rangkap jabatan hanya untuk mendapatkan penghasilan tambahan juga dapat diminimalisasi.

Penulis: Bonifasius Destian Recky Husodo
Mahasiswa Hukum Universitas Gadjah Mada

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi


[1] Indonesia Corruption Watch. Konflik Kepentingan: Rangkap Jabatan. Research Brief ICW

[2] Indonesia Corruption Watch. Rangkap Jabatan, Timses, Hingga Mantan Terpidana Korupsi: Cacat Integritas dan Potensi Konflik Kepentingan dalam Pengangkatan Direksi & Komisaris BUMN. Rangkap Jabatan, Timses, Hingga Mantan Terpidana Korupsi: Cacat Integritas dan Potensi Konflik Kepentingan Dalam Pengangkatan Direksi & Komisaris BUMN | ICW (antikorupsi.org) (accessed on June 18th 2023)

[3] UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara

[4] Achmad Dwi. Penjelasan Kemenkeu soal 39 Pejabat Rangkap Jabatan Komisaris BUMN. Detik.com Penjelasan Kemenkeu soal 39 Pejabat Rangkap Jabatan Komisaris BUMN (detik.com) (accessed on June 18th 2023)

[5] Pasal 1 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN

[6] Rahma Arifa. Puluhan Pejabat Kemenkeu Rangkap Jabatan di BUMN, TII Sebut Membuka RUang KorupsiPuluhan Pejabat Kemenkeu Rangkap Jabatan di BUMN, TII Sebut Membuka Ruang Korupsi | Narasi TV (accessed on June 18th 2023)

[7] Pusat Edukasi Anti Korupsi. Mengenal Konflik Kepentingan dan Cara Mencegahnya. Mengenal Konflik Kepentingan dan Cara Mencegahnya – ACLC KPK (accessed on June 18th 2023)

[8] NOV. ‘Simalakama’ Rangkap Jabatan: Mengawal Kepentingan Pemerintah dan Potensi Korupsi. ‘Simalakama’ Rangkap Jabatan: Mengawal Kepentingan Pemerintah dan Potensi Korupsi (hukumonline.com) (accessed on June 18th 2023)

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI