Indonesia menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa mulai dari upacara adat, tari-tarian, hingga warisan sejarah dan kuliner tradisional.
Potensi ini semestinya menjadi kekuatan utama dalam sektor pariwisata.
Namun, ironisnya, pariwisata budaya Indonesia justru belum berkembang secara maksimal.
Di tengah gempuran tren global dan era digital, inovasi dalam sektor ini justru jalan di tempat.
Menurut saya, kurangnya inovasi ini bukan hanya membuat pariwisata budaya Indonesia tertinggal, tapi juga berpotensi menggerus identitas lokal.
Budaya yang tidak disajikan secara relevan dan menarik bagi generasi kini baik wisatawan maupun masyarakat lokal perlahan akan ditinggalkan.
Ini bukan sekadar isu ekonomi, tapi juga soal keberlanjutan warisan budaya kita sendiri. Salah satu masalah utama adalah pendekatan pariwisata budaya yang masih terlalu tradisional.
Misalnya, pertunjukan tari daerah di banyak destinasi masih disajikan dengan format monoton, tanpa elemen interaktif atau narasi yang kontekstual.
Wisatawan zaman sekarang mencari pengalaman yang personal dan imersif bukan sekadar menonton dari kejauhan.
Baca juga: Menjaga Indonesia Lewat Keberagaman: Refleksi atas Realitas Suku dan Budaya yang Multidimensional
Di sisi lain, pemanfaatan teknologi pun masih sangat minim. Bandingkan dengan Jepang yang menggabungkan teknologi augmented reality di museum atau Korea Selatan yang memasarkan budayanya lewat platform digital secara masif.
Sementara itu, di Indonesia, promosi wisata budaya seringkali hanya mengandalkan spanduk dan brosur.
Padahal, media sosial, aplikasi interaktif, dan bahkan virtual tour bisa jadi cara efektif menarik wisatawan terutama generasi muda.
Lebih miris lagi, masyarakat lokal perlahan kehilangan keterlibatan dalam pelestarian budaya. Tanpa inovasi yang berdampak ekonomi, mereka melihat budaya bukan sebagai peluang hidup, tapi sekadar beban atau nostalgia.
Ketika budaya tidak lagi “menghidupi”, maka tak heran bila minat untuk melestarikannya pun memudar.
Lihat saja bagaimana Thailand memanfaatkan festival budaya sebagai produk unggulan.
Festival Songkran, misalnya, bukan hanya perayaan tahunan, tapi telah dikemas sebagai atraksi wisata kelas dunia yang menyumbang miliaran baht setiap tahunnya.
Bandingkan dengan banyak festival budaya di Indonesia yang masih digelar seadanya, tanpa dukungan branding maupun strategi promosi yang serius.
Begitu juga dengan Korea Selatan yang berhasil menjadikan budaya tradisional mereka sebagai produk ekspor mulai dari makanan hingga hanbok dan musik tradisional semuanya dikemas dengan cita rasa modern.
Sementara di Indonesia, potensi serupa seperti kain tenun, gamelan, atau wayang, masih kurang diangkat secara inovatif dan konsisten.
Menurut saya, masalah ini juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah. Banyak regulasi pariwisata masih berorientasi pada pembangunan fisik dan kuantitas wisatawan, bukan pada penguatan konten budaya dan kreativitas.
Program seperti desa wisata memang sudah ada, tapi pendekatan dan pendampingannya belum sepenuhnya mendorong inovasi berbasis masyarakat dan teknologi.
Pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang membuka ruang bagi kolaborasi kreatif antara seniman, komunitas lokal, pelaku industri pariwisata, hingga startup teknologi.
Tidak cukup hanya membuat event besar, tapi bagaimana warisan budaya kita bisa terus hadir dan relevan di tengah kehidupan modern, secara berkelanjutan.
Melihat besarnya potensi yang dimiliki Indonesia dalam sektor pariwisata budaya, sayangnya, keterbatasan inovasi menjadi penghambat utama dalam pengembangan sektor ini.
Pendekatan tradisional yang tidak adaptif terhadap perkembangan zaman, minimnya penggunaan teknologi, serta kebijakan yang belum mendukung kreativitas justru membuat pariwisata budaya kehilangan daya saing bahkan terancam ditinggalkan oleh generasi muda dan wisatawan global.
Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi nyata dari berbagai pihak, terutama pemerintah dan pelaku industri pariwisata, agar lebih berani keluar dari pola lama.
Perlu ada investasi pada kreativitas, pemanfaatan teknologi digital, dan penguatan peran masyarakat lokal sebagai aktor utama pelestarian budaya.
Baca juga: Potong Gigi Tanda Kedewasaan? Tradisi Metatah Bali Miliki Banyak Makna bagi Penduduknya
Dengan begitu, pariwisata budaya Indonesia tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang secara relevan dan berkelanjutan, tanpa kehilangan akar identitasnya.
Penulis: Farah Amelia
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News
informasi menarik