Revitalisasi Peran Olahraga untuk Bangsa: Refleksi setelah Peringatan Hari Olahraga Nasional ke-40

Olahraga
Ilustrasi: istockphoto

Di bulan September ini, kita sebagai bangsa selalu memperingati Hari Olahraga Nasional (Haornas). Peringatan Haornas di berbagai daerah telah dilangsungkan, ada kesan kuat peringatan Haornas kali ini tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya dan miskin dari perbincangan masyarakat luas.

Hal itu tercermin pula pada peringatan puncak Haornas secara nasional yang telah dilaksanakan di International Velodrome di Jakarta, Sabtu (9/9/2023), tanpa kehadiran presiden, cukup diwakili oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, dan seolah luput dari liputan media baik cetak maupun elektronik.

Semoga fenomena puncak peringatan Haornas ke-40 tahun 2023 tetap memiliki arti penting sebagai tonggak sejarah perjuangan dan pembinaan olahraga nasional Indonesia.

Bacaan Lainnya

Jika mencermati sejarahnya, Haornas bermula dari penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) I di Surakarta, Jawa Tengah pada 9-12 September 1948. Ketika itu, kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia masih belum diakui penuh oleh masyarakat dunia dan Inggris, salah satu negara yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.

Oleh karena itu ketika Inggris menjadi tuan rumah Olimpiade XIV 1948, pemerintahannya melarang atlet Indonesia mengikuti olimpiade tersebut, kecuali menggunakan paspor Belanda. Syarat itu ditolak, atlet Indonesia hanya akan hadir di olimpiade jika mewakili Indonesia.

Atas dasar inilah, Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) memutuskan untuk menyelenggarakan kompetisi olahraga di dalam negeri yang dikenal sebagai PON.

Penyelenggaraan PON adalah bukti kepada dunia internasional bahwa Indonesia yang baru merdeka mampu menyelenggarakan kegiatan olahraga skala nasional.

PON pertama tahun 1948 sebagai ajang olahraga pasca kemerdekaan Indonesia, dan 35 tahun kemudian tepatnya 9 September 1983, Presiden Soeharto ketika itu menetapkan tanggal itu sebagai Haornas.

Peran Olahraga bagi Bangsa

Menilik perjalanan sejarah bangsa dari masa ke masa, olahraga memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia. Di era Soekarno, olahraga digunakan sebagai sarana dalam membangun karakter dan jati diri bangsa. Bahkan dijadikan sebagai arena memperkuat pandangan negara, untuk mempertahankan kehadirannya di panggung internasional.

Di era Soeharto, menerjemahkan isu global keolahragaan pada piagam UNESCO’78, bertepatan dengan Haornas, 9 September 1983 menetapkan semboyan “sport for all” yang menjadi cikal bakal munculnya semboyan “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga”.

Di era reformasi yang usianya sudah memasuki 25 tahun, belum memiliki kembali visi pembangunan olahraga Indonesia yang serupa dengan yang telah dibangun di bawah dua kepemimpinan bangsa sebelumnya, yaitu memiliki kekhasan dari konsep kebijakan olahraga yang diterapkan.

Mekipun di sisi lain di era reformasi ini telah menghasilkan dua UU olahraga sebagai landasan untuk pembangunan olahraga nasional, yaitu Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, dan  UU Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.

Kehadiran UU tersebut dalam pengejawantahannya lebih diarahkan untuk meningkatkan citra bangsa melalui prestasi olahraga, belum menyentuh bagaimana olahraga sebagai alat perjuangan bangsa untuk menangani masalah kualitas sumber daya manusia dalam berbagai aspek, seperti membangun karakter generasi muda dan kesehatan masyarakat.

Padahal dewasa ini tren dalam perumusan suatu sistem roda pemerintahan negara-negara di dunia, tertuama negara maju, kebijakannya selalu mengaitkan dengan deklarasi PBB yang menjadi salah satu landasan dalam program Sutainable Development Goals (SDGs) 2015-2030, khusus pada bidang olahraga yaitu pada isu Sport for Development and Peace (SDP) (Nauright, 2020).

Revitalisasi Pengembangan Olahraga

Memaknai peran olahraga dalam pembangunan bangsa harus disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat suatu bangsa dan perkembangan olahraga di dunia internasional. Pemahaman dan implementasi itu menjadi urgen agar nilai-nilai olahraga memiliki makna nyata bagi kepentingan bangsa.

Artinya adalah keniscayaan dalam merealisasikan amanat UU Keolahragaan untuk diarahkan ke tujuan itu. Selama 25 tahun era reformasi khususnya hampir satu dekade terakhir ini.

Olahraga lebih dimaknai dan diimplementasikan untuk citra bangsa, melalui penyelenggaraan event-event akbar olahraga internasional, seperti SEA Games, Asian Games, kejuaraan dunia sepakbola, kejuaran dunia bola basket, dan pembangunan infrastruktur olahraga super megah dengan menelan biaya triliunan rupiah, sebut saja di antaranya pembangunan Sirkuit Mandalika, berbagi stadion sepakbola, dan lain-lain. Tidak keliru, karena itu bagian dari upaya membangun prestasi olahraga.

Namun diingatkan oleh Kristiansen & Houlihan (2017), bahwa selain capaian dalam suatu pembinaan olahraga yaitu prestasi yang dikenal dengan istilah “Sport Development Outcome” perlu memperhatikan bahwa olahraga adalah salah satu dari sejumlah pendekatan yang dapat digunakan untuk berkontribusi pada tujuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang dikenal dengan istilah “Development Societal Outcome.

Ke depan perlu ada prioritas lain untuk menjadikan olahraga sebagai sarana membangun bangsa disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi bangsa. Setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi bangsa ini.

Pertama, Indonesia sebagai bangsa yang multikultural, penuh perbedaan. Perbedaan itu merupakan karunia Tuhan, tetapi di balik perbedaan itu sangat rentan terjadinya konflik. Bibit konflik inilah sekarang yang justru terjadi dan tidak terpisahkan dari sistem pengelolaan politik bangsa dan negara saat ini. Fenomena ini terjadi dan muncul ke permukaan serta sangat terasa dalam satu dekade terahir ini.  

Nelson Mandela, negarawan, dan mantan Presiden Afrika Selatan menegaskan, olahraga memiliki kekuatan untuk mengubah dunia, memiliki kekuatan untuk menginspirasi, memiliki kekuatan untuk menyatukan orang dengan cara yang tidak bisa dilakukan orang lain, olahraga itu berbicara kepada kaum muda dalam bahasa yang mereka pahami, olahraga bisa menciptakan harapan dari keputusasaan.

Olahraga lebih kuat daripada pemerintah dalam berperan menurunkan hambatan rasial dan semua jenis perilaku diskriminatif (Mandela, 2000).

Hasil Konferensi Maglingen kedua di Swiss yang diadakan pada bulan Desember 2004 hingga saat ini, gagasan olahraga sebagai alat untuk perubahan dan pembangunan sosial telah muncul sebagai dalil yang valid (Mwaanga dan Adeosun, 2019).

Gagasan dan makna besar olahraga itu sudah terformulasi dan berkembang dalam program yang disebut “Sport for Development and Peace” (SDP) atau Olahraga untuk Pembangunan dan Perdamaian. SDP mencakup area global yang luas dan sedang berkembang dengan pesat di mana aktivitas olahraga, permainan, dan kegiatan fisik digunakan untuk mencapai berbagai tujuan sosial di luar olahraga.

Tujuan SDP meliputi pembangunan perdamaian dan pengurangan konflik, pemberdayaan gender, peningkatan kesehatan dan penanggulangan penyakit, pengurangan kejahatan dan kekerasan perkotaan, penanggulangan radikalisasi, inklusi sosial kelompok sosial yang terpinggirkan seperti etnis minoritas, penyandang disabilitas, dan pengungsi, serta membangun ketahanan masyarakat (Colison, 2020).

Pembangunan di Indonesia tidak bisa mengabaikan peran olahraga yang strategis ini. Sudah saatnya olahraga dijadikan strategi intervensi sosial bagi berbagai komunitas yang kurang beruntung untuk kepentingan pembangunan bangsa ke depan.

Tantangan kedua, adalah budaya akan aktivitas olahraga di Indonesia sudah mulai terkikis, padahal  pembudayaan olahraga merupakan salah satu langkah penting pembangunan nasional di bidang keolahragaan karena bersentuhan dengan meluasnya tingkat partisipasi masyarakat, sehingga upaya meningkatkan kemajuan kehidupan masyarakat secara menyeluruh dapat dicapai.

Gilchrist & Wheaton (2019), menyampaikan bahwa karakteristik penting dan tren yang semakin intensif di abad kedua puluh satu adalah tumbuhnya budaya olahraga di kalangan masyarakat dunia yang mengalami peningkatan jangkauan dan keragaman praktik olahraga, khususnya kegiatan yang lebih informal dan individualistis.

Tren kemunculan dan pertumbuhan berbagai istilah olahraga ekstrim, alternatif, petualangan dan gaya hidup. Thorpe & Wheaton (2011), menegaskan olahraga sebagai gaya hidup telah mengalami pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan telah menarik masyarakat dan pengikut dari lingkungan geografis global yang semakin beragam.

Mereka terus melakukannya berkembang melalui konjungtur sejarah unik komunikasi global, korporat sponsorship, dan industri hiburan, yang menyadari potensi menguntungkan dari sebuah demografi kaum muda global dan makmur.

Tantangan ketiga, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan peningkatan jumlah proporsi penduduk Indonesia berusia lebih dari 10 tahun yang kurang melakukan aktivitas fisik jumlahnya meningkat dari 26,1% pada tahun 2013 menjadi 33,5% pada tahun 2018 (Kementerian Kesehatan RI, 2018).

Kecenderungan menurunnya aktivitas fisik tersebut, diperkuat hasil penelitian yang dilaporkan Huang, Aubert, Tremblay, dan Wonge, (2022) dengan judulGlobal Matrix 4.0 physical activity report cards grades for children and adolescents: A comparison among 15 Asian countries and regions”, dari 15 negara yang diteliti anak dan remaja Indonesia memiliki nilai buruk untuk aktivitas fisik dan perilaku pasif umumnya dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya yang menjadi sampel penelitian itu.

Padahal aktivitas fisik secara teratur adalah salah satu hal terpenting yang dapat remaja lakukan untuk kesehatannya. Aktif secara fisik dapat meningkatkan kesehatan otak, membantu mengatur berat badan, mengurangi risiko penyakit, memperkuat tulang dan otot, serta meningkatkan kemampuan remaja dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Centers for Disease Control USA, 2023).

Remaja yang aktif dan secara reguler melakukan aktivitas fisik adalah modal dasar dalam menghadapi tantangan masa depan bangsa terutama dikaitkan dengan bonus demografi menuju Indonesia emas 2045.

Berangkat dari tantangan tersebut sudah seharusnya para pengambil kebijakan dan stakeholders olahraga nasional melakukan revitalisasi peran olahraga tidak hanya diarahkan untuk menuju prestasi dan prestise demi citra bangsa, tapi lebih dari itu harus bisa dijadikan media untuk mengatasi berbagai tantangan riil bangsa.

Peringatan Haornas ke-40 tahun 2023 yang telah berlangsung kemarin seyogyanya bisa dijadikan momentum untuk itu semua. Semoga.

Penulis: 

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI