Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia pada tahun 2023 berhasil mengidentifikasi sekitar 3,3 juta hektar lahan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan, di mana 861.008 hektar daripadanya diketahui bahwa penguasaannya adalah berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU), izin usaha perkebunan maupun izin lokasi.
Terkait dengan hal ini, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penerapan HGU (Peraturan Kehutanan) mengamanatkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk keperluan lain di bidang kehutanan dilakukan dengan pengajuan pelepasan kawasan kehutanan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung sesuai rencana tata ruang serta tidak tumpang tindih dengan perizinan di bidang kehutanan.
Adapun kegiatan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (tanpa perizinan) berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU 18/2013) dikategorikan sebagai tindak pidana perusakan hutan.
Dalam UU 18/2013, perusakan hutan didefinisikan sebagai sebuah proses, cara atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah.
Selaras dengan peraturan perundang-undangan dalam bidang kehutanan, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU Agraria) mengatur bahwa apabila tanah yang akan dijadikan obyek HGU adalah kawasan hutan, maka diperlukan persetujuan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.
Pemohon atau pemegang HGU bertanggung jawab secara perdata maupun pidana terhadap kebenaran dan keabsahan dari kelengkapan persyaratan pengajuan permohonan HGU.
UU Agraria juga mengatur bahwa HGU hapus bilamana, salah satunya, dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan yang dipersyaratkan.
Jika HGU tersebut tidak dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, maka HGU tersebut batal demi hukum atau gugur dengan sendirinya.
Dengan demikian, berdasarkan hukum positif dalam bidang kehutanan maupun agraria, penerbitan HGU maupun izin lokasi dalam kawasan hutan hanya dapat terjadi bilamana lahan dalam kawasan hutan yang telah dikukuhkan tersebut telah mendapatkan persetujuan pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Apabila HGU dalam kawasan hutan terbit tanpa dilandasi oleh adanya persetujuan pelepasan kawasan hutan, maka secara perdata HGU tersebut batal demi hukum dan secara pidana tindakan penggunaan kawasan hutan tanpa perizinan (secara tidak sah) tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perusakan hutan sebagaimana diatur dalam UU 18/2013.
Namun, UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang ditetapkan berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2023 mengamanatkan mekanisme yang berbeda terkait tata kelola penyelesaian tumpang tindih perkebunan dalam kawasan hutan, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan (PP 24/2021).
Pasal 110A UU Cipta Kerja pada prinsipnya mengatur bahwa terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai rencana tata ruang, setelah melaksanakan sanksi administratif berupa pembayaran PSDH dan DR, maka:
- untuk kegiatan perkebunan di kawasan hutan produksi, diterbitkan persetujuan pelepasan kawasan hutan;
- untuk kegiatan Perkebunan di kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan konservasi, diterbitkan persetujuan untuk melanjutkan usaha selama 1 daur maksimal 15 tahun sejak masa tanam.
Pasal 110 B pada prinsipnya mengatur bahwa terhadap kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lainnya, setelah melaksanakan sanksi administratif berupa denda administratif, maka:
- untuk kegiatan usaha di kawasan hutan produksi, diterbitkan persetujuan penggunaan kawasan hutan;
- untuk kegiatan usaha di kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan konservasi, diwajibkan menyerahkan areal kegiatan usahanya kepada negara;
- pengecualian sanksi administratif dilakukan terhadap orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat lima tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak lima hektar.
Dua pasal ini kemudian dianggap sebagai pengampunan terhadap para perusak kawasan hutan, di mana pemenuhan kewajiban laporan mandiri semata dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dengan kasus tumpang tindih yang disertai dengan pemenuhan persyaratan (sebagaimana tersebut di atas) dan permohonan pelepasan kawasan kehutanan dengan tenggang waktu tiga (3) tahun setelah UU Cipta Kerja berlaku selanjutnya menjadi alas legalitas bagi si pelaku usaha untuk melanjutkan kegiatan usahanya di kawasan hutan.
Sementara perkebunan sawit yang berada di kawasan lindung maupun konservasi dan belum pernah mendapatkan persetujuan pelepasan kawasan hutan, wajib untuk dikembalikan kepada negara.
Apabila ketentuan ini tidak dipatuhi, maka yang berlaku terhadapnya adalah sanksi administratif (sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 2021), yakni berupa (i) penghentian sementara kegiatan usaha, (ii) denda administratif, (iii) pencabutan perizinan berusaha, dan/atau (iv) paksaan pemerintah.
Perkebunan sawit dalam kawasan hutan jelas mengakibatkan tutupan hutan negara berkurang. Dengan berkurangnya luas hutan, maka ekosistem dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya pun terimbas dan jumlah emisi karbon yang dapat diserap pun berkurang.
Adalah kewajiban negara untuk menjaga dan memelihara hutan dan lingkungan hidup, sehingga perlu kiranya dikaji ulang mengenai implementasi dan dampak dari adanya kebijakan pemutihan ini terhadap kelangsungan hutan dalam jangka panjang.
Yang dapat dilakukan dengan cara meningkatkan koordinasi lintas sektor, meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya-upaya menjaga dan melestarikan hutan, melengkapi kebutuhan aparat pengaman hutan dengan sarana dan prasarana, menyediakan satu peta (one map policy) yang dapat menjadi acuan lintas sektoral dalam menetapkan dasar yuridis batas kawasan hutan, dan memberikan insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan.
Penerbitan aturan hukum baru yang berimplikasi memberikan alasan pemaaf bagi oknum yang sedari mula dengan sengaja maupun dengan kesadarannya telah melakukan pelanggaran hukum untuk mendapatkan manfaat ekonomi bagi dirinya maupun kelompoknya justru menimbulkan kerancuan dan disharmoni dalam penegakan hukum terkait tumpang tindih ini.
Berdasarkan hukum agraria positif, HGU dalam areal tumpang tindih tersebut merupakan produk yang batal demi hukum dan gugur dengan sendirinya karena persyaratan fundamentalnya tidak terpenuhi, sehingga sesungguhnya tidak terdapat alas hak apapun bagi oknum tersebut untuk menggarap lahan perkebunan tersebut.
Lebih lanjut, tanpa adanya alas hak tersebut kegiatan oknum tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan perusakan hutan dan sanksi daripadanya adalah sanksi pidana.
Ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18/2013 sudah cukup tegas untuk diberlakukan pada perseorangan, korporasi dan bahkan pejabat yang sekedar lalai atau sengaja membiarkan terjadinya penggunaan kawasan hutan tanpa izin.
Individu yang dengan sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan atau membawa alat berat untuk kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil perkebunan dari dalam kawasan hutan diancam dengan pidana penjara 3 sampai 10 tahun dan denda Rp1,5 sampai Rp5 miliar.
Ketentuan pidana bagi pelaku korporasi diancam dengan pidana yang lebih berat yakni 8 sampai 20 tahun penjara dan Rp20 sampai Rp50 miliar denda jika mereka terbukti melakukan kegiatan perkebunan di atas kawasan hutan tanpa izin dan membawa alat berat ke dalamnya.
Selain itu, jika yang pejabat lalai dalam melaksanakan tugas mencegah penggunaan kawasan hutan secara tidak sah diancam pidana 6 bulan sampai 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta sampai Rp1 miliar. Pidana penjara dan denda semakin besar ancamannya jika pejabat memang sengaja membiarkan terjadinya penyerobotan kawasan hutan oleh kegiatan perkebunan, yakni pidana penjara 1 sampai 10 tahun dan denda Rp1 sampai Rp10 miliar.
Sesungguhnya, aturan hukum yang telah ada sudah cukup menyediakan “amunisi” bagi pencegahan maupun hukuman bagi tindakan perusakan hutan, yang perlu ditata lebih lanjut justru penegakan hukum beserta sarana dan prasarana pendukungnya.
Namun yang terjadi kini, berdasarkan UU Cipta Kerja, aturannya diubah menjadi pendekatan administratif, termasuk ketika masa tenggang tiga (3) tahun daluwarsa dan permohonan pelepasan kawasan hutan belum diajukan maupun persetujuan belum diperoleh.
Pemutihan yang diberlakukan seyogyanya hanya berlaku sebagai “temporary relief” guna memberikan kesempatan bagi para pihak terkait untuk memenuhi persyaratan yang selama ini terabaikan, dalam tenggang waktu tiga (3) tahun.
Setelah masa pemutihan tersebut daluwarsa, seharusnya dilakukan penegakan hukum sesuai dengan aturan sebelumnya, sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Roscoe Pound menyatakan bahwa aturan hukum dibuat sebagai tatanan untuk mempengaruhi dan bahkan mengubah perilaku manusia. Apabila aturannya ketat, penegakannya tepat, maka tidak akan terjadi pelanggaran hukum.
Namun apabila tidak ditegakkan dengan baik, dan malah dibuat fleksibel dan longgar (lenient), maka tujuan aturan hukum untuk mengubah perilaku manusia tersebut niscaya tidak akan tercapai. Sedihnya, yang akan dirugikan dari kerancuan hukum ini adalah kawasan hutan dan lingkungan hidup kita, yang seharusnya kita jaga dengan prinsip-prinsip hutan lestari.
Penulis: Izabella Indrawati
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB University
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi