Pertemuan Islam dan kearifan lokal melahirkan ragam praktik dan juga keyakinan yang meneruskan semangat keislaman.
Sebagaimana kita saksikan di Kajang, Badui, dan Jambi. Masing-masing etnik itu, menerjemahkan keislaman yang tidak hanya setakat pada ritual dan juga keagamaan dalam bentuk ibadah semata, tetapi juga terkait dengan Islam yang hijau.
Bukan saja dalam arti bagaimana mengikuti kecintaan baginda Nabi dalam warna hijau secara literlate, tetapi hijau dalam arti lingkungan.
Perhatian pada ibadah mahdhah (pokok) tidak berhenti di situ saja, tetapi juga bagaimana harmoni antara manusia dan alam diterjemahkan dalam bentuk perilaku dan itu juga disebut sebagai semangat beragama.
Ali Yafie secara khusus menulis buku fikih terkait dengan lingkungan hidup. Kemudian diteruskan lagi dengan perhatian yang sama oleh ulama dan sarjana muslim lainnya. Tidak sebatas untuk jurnal belaka sebagai adminitrasi untuk kenaikan pangkat belaka. Namun juga terhubung pada aspek dakwah kultural.
Salah satunya dapat kita saksikan adalah Kajang, Bulukumba, (Sulawesi Selatan). Di mana dalam lingkungan adat tertentu yang menjadikan hutan sebagai rumah. Bukan saja untuk didiami tetapi juga sekaligus dijaga dan dipelihara.
Di mana hutan sebagai rumah dan juga kehidupan yang “sederhana” dalam arti membatasi penggunaan teknologi yang berlebihan dan berpotensi merusak alam. Sehingga rumah semata-mata hanyalah tempat istirahat dan sekaligus tetap sebagai bagian dari alam yang dijaga.
Bukan sebagai alat untuk bermewah-mewah dan pada gilirannya akan menjadi instrument dalam perusakan alam.
Bahkan untuk menjaga kedekatan dengan alam melalui keterhubungan secara langung, menghindari pengunaan alas kaki. Kemudian, warna yang dipakai dalam berpakai hanyalah warna hitam saja sebagai lambang keseburuan tanah.
Keemuanya adalah cara yang angat ederhana dalam kecintaan terhadap alam. Termasuk larangan untuk menebang pohon, dan jikalau itu terjadi merupakan sebuah pelanggaran besar dan dapat berakibat pada pengusiran dari lingkungan adat.
Ini juga menjadi kepraktisan sebagaimana Mark Zuckerberg yang juga hanya memiliki satu warna baju untuk kaos. Sehingga tidak perlu pening memikirkan warna baju apa yang akan dipakai setiap hari. Di mana terkadang, ada saja dalam kesempatan tertentu yang menjadi ketentutuan protokol dalam sebuah acara terkait dengan baju.
Baca juga: Mengatasi Kesenjangan Pendidikan: Upaya Mewujudkan Pemerataan Akses dan Kualitas
Ini menjadi semacam “ritual” dimana baju seragam juga menjadi perhatian yang sejatinya bukanlah bagian esensial dari acara itu sendiri. Tetapi semata-mata dengan memanjakan mata, dan ini perlu dihindari jangan sampai urusan baju seragam yang kemudian menjadi penghalang kehadiran pada acara belajar.
Untuk itu, apa yang menjadi perihal dalam kaitan dengan transformasi pendidikan adalah keterhubungan peserta didik dengan alam. Termasuk kemampuan tertentu bagi setiap murid.
Sebagaimana murid sekolah dasar yang lingkungannya dialiri sungai ataupun danau. Maka, dapat dijadikan sebagai prasyarat kelulusan di sekolah terkait dengan kemahiran berenang. Jangan sampai, ada sekolah yang berada di daerah aliran sungai, ataupun pesisir yang muridnya tidak dapat berenang.
Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung tetap saja penting. Sama pentingnya, kemampuan berenang bagi anak yang berdiam di pinggir sungai. Begitu pula bagi anak-anak yang tumbuh dan berkembang di sekitar pantai.
Kemampuan ini dapat diadaptasi sesuai dengan lingkungan masing-masing. Sehingga seorang murid atau siswa jangan sampai terasing dari lingkungannya sendiri. Menyibukkan diri mengenali daerah orang lain, kemudian lalai dan terlupa untuk mengenali diri dan lingkungannya.
Akhirnya, terkait dengan ini dapat saja sekolah atau kawasan tertentu melalui pemerintah kabupaten merumuskan apa yang menjadi muatan kurikulum lokal, sehingga dapat menjadi kesempatan untuk belajar sesuai kondisi lingkungannya.
Tetapi perlu didiskusikan kembali, terkait dengan pilihan menjadi bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Itu dapat saja dilakukan, asal sesuai dengan kondisi lingkungan. Seperti kawasan wisata di pulau Bali yang dalam keseharian senantiasa bertemu dengan wisatawan manca negara.
Dengan kurikulum lokal ini, menjadi kesempatan untuk mengenalkan lingkungan sekitar sekolah, dan juga menjadikan itu sebagai bagian dari proses dan media pembelajaran peserta didik.
Penulis: Ismail Suardi Wekke
Dosen Pacasarjana Institut Agama Islam Negeri Sorong, Papua Barat Daya
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News