Apa dan Siapa Itu Kaum Intelektual?

intelektual

Istilah kaum intelektual tidak saja relevan untuk diperbincangkan, tetapi banyaknya kesalah-artian atas istilah itu sendiri, menjadikannya patut untuk kita persoalkan secara lebih mendalam lagi.

Di kalangan mahasiswa yang hari bergelut dalam dunia kampus, istilah “intelektual” banyak dipandang sebagai simbol yang sudah pasti melekat pada diri seorang mahasiswa.

Intelektual banyak dipakai sebagai kata benda yang sifatnya “lahiriah”. Karena itu, menjadi mahasiswa berarti juga menjadi seorang intelektual. Benarkah mahasiswa identik dengan kata “intelektual”? Apa ciri-ciri mahasiswa sehingga ia bisa disebut sebagai seorang intelektual? Mendefinisikannya memang upaya yang cukup rumit.

Baca juga: Intelektualitas Seorang Akademisi Diuji di Tahun Politik

Bacaan Lainnya

Perdebatan seputar pemaknaannya kerap dibelokkan ke dalam beragam penafsiran. Maka tak heran ketika pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang layak menyandang gelar kaum intelektual, selalu menghadirkan jawaban yang absurd.

Dalam pidatonya, Mohammad Hatta pernah mempersepsikan kaum intelektual sebagai juga kaum intelegensia. Bagi Hatta, kaum intelegensia tidak boleh bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada siapa yang kebetulan menduduki jabatan. Mereka adalah bagian dari rakyat, warga Negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban.

Imbauan Hatta tentu berisyarat bahwa seorang intelektual, jelas sebagai entitas yang diharapkan mampu memberikan pengimbangan peranan Negara dalam pengelolaan politik, ekonomi, dan sosial. Hematnya, mereka adalah pemikul tanggungjawab yang besar, lebih besar dari golongan yang lainnya karena kualitas yang dimilikinya sebagai seorang yang terpelajar.

Di atas, sedikit memberi gambaran bahwa kaum intelektual adalah mereka yang terpelajar. Mesti demikian, terpelajar di sini tentu tak bisa dimaknai sebagai seorang yang bergelut di dunia pendidikan saja (mahasiswa) adalah kaum intelektual. Bahwa semua dari mereka yang bergelut secara professional serta terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan mental, terutama dalam bentuknya yang kompleks dan kreatif, dan dalam perkembangan serta penyebaran budaya, adalah juga kaum intelektual.

Hal ini sama dengan padangan PD Boborykin yang melihat bahwa kaum intelektual merupakan suatu strata sosial yang di dalamnya terdiri dari orang-orang yang berlaku sebagaimana di atas.

Definisi kaum intelektual memang banyak ragamnya. Tak salah ketika Andrew Crider pernah bertutur bahwa intelektual itu bagaikan listrik, mudah diukur tapi mustahil untuk didefinisikan (Azwar, 1996). Jika pada Hatta dan juga Boborykin memaknai intelektual sebagai juga intelegensia, Alvin Gouldner justru membedakannya secara tegas.

Menurutnya, kepentingan intelektual golongan intelegensia pada dasarnya bersifat “teknis”, sedangkan kepentingan intelektual dari golongan intelektual lebih berkategori “kritis, emansipatoris, hermeneutis, dan karena itu juga politis”. Jadi, ciri “politis”-nya itulah yang kemudian membedakan kaum intelektual dengan mereka yang intelegensia.

Terlepas dari pemaknaan beragam tersebut, menyamakan istilah “intelektual” dengan “intelegensia” tentu tidak akan ada ruginya, apalagi sampai mendistorsi pemaknaannya yang hakiki. Entah menggunakan intelektual ataupun intelegensia, mahasiswa jelas merupakan bagian dari keduanya.

Pertanyaannya, mahasiswa yang seperti apa yang layak menyandang gelar tersebut? Apakah mereka yang hanya kuliah, mengejar nilai A dari dosen untuk kepentingan di dunia kerja nanti? Atau mereka yang sukanya berdiskusi atau berdemonstrasi tanpa tujuan yang jelas?

Kembali pada Sejarah

Patut kiranya kita menengok ke belakang. Sejarah Indonesia saat sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan, beragam generasi intelektual sudah terlahir. Tahun 1908 misalnya, generasi intelektual yang lahir, tumbuh, dan besar saat itu layak disebut sebagai Generasi Pelopor. Dengan organisasi Budi Utomo, mereka telah memberikan fondasi terbentuknya kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan.

Tokoh seperti Soetomo, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, Doewes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, Tjokroaminoto, Kartini, memberikan dorongan kuat bagi lahirnya Sumpah Pemuda 1928. Bahwa pemuda pribumi harus bersatu atas tanah air, bangsa, dan bahasanya atas nama Indonesia.

Diproklamirkannya kemerdekaan tahun 1945, kaum intelektual yang mengambil peran besar tersebut tentu layak disebut sebagai Generasi Pendobrak. Seperti yang diusung para founding fathers saat itu, mereka, katakanlah, rela mengorbankan nyawanya demi kebebasan dari belenggu pihak penjajah.

Baca juga: Asosiasi Hak Kekayaan Intelektual: yang Muda yang Berkarya

Sebut misalnya Seokarno-Hatta sebagai Dwi-Tunggal yang sangat dominan publikasinya, KH. Wachid Hasyim, Sutan Sjahrir, DN. Aidit, M. Natsir, dan para penculik Soekarno-Hatta ke Rengasdeklok, mereka bisa disebut sebagai aktor pendobrak kejumudan bangsa, terutama setelah mendengar kekalahan Jepang atas Sekutu.

Naiknya Soeharto sebagai pengganti Seokarno melalui mandat presiden, yakni Supersemar yang misterius itu, sebagai pertanda robohnya Orde Lama diganti dengan Orde Baru. Generasi intelektual di masa ini lebih tepat disebut sebagai Generasi Pembangunan.

Cirinya sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Marak teknorat dan birokrat yang hidup menjadi antek kekuasaan. Para intelektual-konseptor, hanya bisa hidup di bawah kungkungan rezim otoriter Seoharto.

Konsepsi “Asal Bapak Senang (ABS)”

Konsepsi “Asal Bapak Senang (ABS)” menjadi gaya khas pembangunisme pada rezim ini. Penerapan NKK/BKK yang dikonsep oleh kaum intelektual saat itu, justru mempersempit ruang gerak mahasiswa.

Kondisi semacam ini, tentu masih bisa kita rasakan hari ini. Kebijakan kampus yang tidak pro sama sekali terhadap kebutuhan mahasiswa, kerap dianulir sebagai kebijakan yang tidak boleh ditawar-tawar. Kasus Malari misalnya, sangat terang memperlihatkan bagaimana sikap otoriter yang dijalankan penguasa atas nama pembangunan.

Akibatnya, banyak kalangan intelektual setelah lulus dari dunia pendidikan, hanya bisa menjelma sebagai deligitimator kebenaran bagi kekuasaan.

Meski demikian, banyak juga tokoh penting yang lahir di zaman ini. Cak Nur, Gus Dur, Soe Hok Gie, Ahmad Wahib, Arief Budiman, semuanya adalah kelompok intelektual yang masih memiliki perasaan atas kejamnya rezim otoriter. Mereka berusaha merobohkan Orde Lama meski melawan keganasannya tanpa dengan vis a vis.

Runtuh Orde Lama, lahir Orde Reformasi. Generasi intelektual ini bisa disebut sebagai Generasi Harapan. Mereka adalah pemutus mata rantai konsep pembangungan yang korup selama kurang lebih tiga dasawarsa.

Meski mahasiswa yang berperan signifikan di dalam penggulingan Soeharto, tapi peran besar yang menjadi kreator gerakan 98 adalah pemain-pemain lama yang mapan secara ide, finansial, jaringan, maupun dukungan politik, seperti Amien Rais, Cak Nur, Gus Dur, Cak Nun, dan lain sebagainya, yang “memaksa” Soeharto untuk meninggalkan tahtanya secara damai.

Baca juga: Pentingnya Pendidikan Karakter dan Intelektual Bagi Pelajar Milenial

Pasca reformasi, ketotalan dalam gerakan tersebut memang belum bisa dikatakan usai. Menganganya kondisi perekomian yang babak belur diterpa krisis sebelum reformasi, jelas merupakan zaman peralihan yang cukup berat bagi bangsa.

Belum lagi, kepercayaan dunia atas bangsa ini bisa dikatakan runtuh. Kran kebebasan yang terbuka lebar, membuat euphoria yang kebablasan.

Semua orang mendirikan partai, semua orang ingin jadi pahlawan. Para intelektual yang dulu sebagai pengkritik tajam penguasa, justru berbondong-bondong terlibat ke dalam jalur kekuasaan itu sendiri.

Kebebasan para Generasi Harapan yang tidak terkontrol, menjadikan bangsa semakin amburadul. Bangsa yang seharusnya tinggal landas, kini kandas. Generasi yang diharapkan bisa berbuat besar bagi bangsa, hanya bisa terjun bebas dengan mengurus hal-hal sepele.

Kondisi di atas, jelas menuntut generasi hari ini untuk berbuat lebih daripadanya. Sejumlah gambaran formasi tersebut menunjukkan dengan tegas kepada kita bahwa intektual adalah orang yang tidak hanya terpelajar, berpendidikan, berpengetahuan, tetapi lebih utama adalah mampu memahami realitas di sekelilingnya (kehidupan masyarakat).

Mereka adalah pemikul tanggungjawab demi kemajuan. Tanpa merujuk pada spesialisasi tertentu, mereka adalah entitas kolektif dari orang-orang terpelajar.

Mahasiswa, dosen, pegawai, kiai, tukang sayur, PKL, ataupun tukang becak, mereka bisa disebut sebagai golongan intelektual selama terangkum dalam berbagai definisi di atas; mampu memberikan pencerahan bagi lingkungannya, punya nyali berpihak pada kebenaran, dekat dengan rasa keadilan, berkorban dengan tulus dan ikhlas, melawan kezaliman, dan seorang pemikir yang memahami realitas hidupnya. Maka generasi yang demikian, hidup hari ini, pantas kiranya untuk kita sebut sebagai Generasi Pengabdi. Semoga kita semua termasuk di dalamnya.

MS Ahmad
Mahasiswa Ilmu Politik UGM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses