Tahun Politik dan Eksistensi Kaum Intelektual

Tahun 2018 disebut sebagai Tahun Politik, pasalnya ada 171 Provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota menggelar pesta demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak.

Demam Pilkada kini telah menyebar hampir merata di berbagai kota, kabupaten ataupun provinsi yang menyelenggarakan perhelatan demokrasi. Dengan irisan kepentingan menyongsong Pemilu 2019, tensi politik menjadi memanas, suhu politik mulai mendidih menyebabkan pertarungan membangun citra kian hingar-bingar seiring berbagai publisitas yang dimainkan oleh media. Partai politik, elite politik, simpatisan, dan calon kepala daerah sudah tentu berlomba mati-matian untuk meraih kemenangan dengan berbagai strategi dan manuver.

Segudang janji politik ditawarkan, halaman-halaman surat kabar, media online, pamplet, baliho dan media yang lain mulai dipenuhi oleh gambar, foto dan profil para kandidat. Ada janji yang sifatnya retorik belaka dan ada pula yang utopis. Janji-janji tersebut bukannya tanpa imbalan namun di balik itu terdapat maksud kekuasaan lewat perebutan simpati rakyat.

Bacaan Lainnya

Dilema Praktik Politik Pragmatis
Pilkada yang notabene sebagai kontes perebutan kekuasaan memang selalu menguras emosi, tenaga, fikiran, bahkan biaya. Sehingga tak jarang banyak orang yang terjebak kedalam praktek politik yang pragmatis seperti, money politics (politik uang), mahar politik, politik balas budi bahkan kasus korupsi. Mereka sudah tidak peduli dengan akibat yang dihasilkan dari manuver yang dilakukan, karena yang terpenting adalah bagaimana cara menduduki kursi kekuasaan sehingga bisa mendapatkan keuntungan.

Kita masih ingat beberapa bulan yang lalu, La Nyala Mattalitti membongkar mahar politik yang terjadi selama ini dan sekaligus tingginya biaya politik berkompetisi dalam Pilkada. La Nyala yang merupakan kader Gerindra dan seorang pendukung Prabowo pada Pilpres 2014 menyatakan bahwa dia dimintai uang Rp 40 miliar untuk uang saksi yang harus diserahkan sebelum tanggal 20 Desember 2017. Kalau tidak bisa La Nyalla tidak akan direkomendasikan sebagai Calon Gubernur Jawa Timur.

Dengan demikian, realitas sistem demokrasi yang terjadi sekarang adalah berbiaya tinggi (high cost). Sehingga bukan rahasia lagi, seseorang ikut berkiprah dalam dunia politik dengan sistem Pemilu, Pilpres dan Pilkada harus mengeluarkan uang dari koceknya dengan jumlah angka fantastis yang tidak sembarang orang bisa menjangkaunya. Cost itu jauh melebihi modal mendirikan sebuah perusahaan bisnis berskala besar.

Selain money politic dan mahar politik, permasalahan besar bangsa kita saat ini adalah maraknya kasus korupsi. Mulai dari pemerintahan tingkat desa sampai pemerintahan tingkat kota. Baik di tataran eksekutif, legislatif maupun yudikatif banyak yang telah terjerat kasus korupsi.

Sebagaimana yang diberitakan oleh banyak media, pada tahun 2018, tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah cukup marak. Buktinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil menciduk tiga kepala daerah dalam dua minggu terakhir lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Ketiga kepala daerah tersebut adalah Nyono Suharli Wihandoko (Bupati Jombang, Jawa Timur), Marianus Sae (Bupati Ngada, NTT), dan yang terbaru adalah Imas Ayuningsih (Bupati Subang, Jawa Barat). Padahal ketiga kepala daerah tersebut merupakan salah satu calon dalam Pilkada serentak 2018.

Dengan demikian, realitas politik bangsa Indonesia saat ini masih jauh dari kata ideal seperti yang dicita-citakan “Founding Father” sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila. Politik kita saat ini masih banyak mempertontonkan konflik yang mencampuradukan kepentingan politik dengan issue SARA, sehingga menimbulkan kekerasan yang menyebabkan banyak rakyat yang menjadi korban, baik secara fisik maupun jiwa. Jelas hal ini menjadi sebuah ancaman yang serius, dan harus diselesaikan secara segera.

Kaum Intlektual harus Berperan
Sebagai bagian dari komponen bangsa, kaum intelektual (baca: mahasiswa) tidak dapat melepaskan diri dan menghindar dari politik. Sebab hakekat manusia termasuk mahasiswa adalah zoon politicon atau mahluk politik. Pilkada sebagai pengejawantahan sistem demokrasi langsung memberikan ruang yang luas bagi rakyat khususnya mahasiswa untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya secara langsung.

Menurut Coser (1965), kaum intelektual adalah orang-orang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Mereka selalu berpikir soal alternatif terbaik dari segala hal yang oleh masyarakat sudah dianggap baik. Hal Ini dipertegas oleh Shils (1972) yang memandang kaum intelektual selalu mencari kebenaran yang batasannya tidak berujung.

Dari pendapat tersebut, kaum Intelektual adalah pemikir-pemikir yang tidak saja harus menghasilkan “sebuah” pemikiran tapi juga dapat merumuskan dan mengarahkan serta memberikan contoh pelaksanaan dari sosialisasinya di tengah masyarakat agar segala persoalan-persoalan kehidupan baik pribadi, masyarakat, bangsa dan negara dapat terpecahkan, serta dapat menjawab tantangan-tantangan kehidupan kehidupan di masa yang akan datang.

Paling tidak, ada tiga hal penting yang mendasari kenapa kaum intlektual atau mahasiswa harus berperan. Pertama, Mahasiswa sebagai “agent of change”, Peran “merubah” inilah yang menjadi fungsi “change maker” seorang intelektual dapat berjalan dengan baik yang dimulai dari dirinya kemudian dimanfaatkan dan disebarkan kepada masyarakat.

Kemudian yang kedua, Mahasiswa merupakan “Iron Stock”, di mana mahasiswa itu merupakan aset, cadangan, serta harapan bangsa untuk masa depan. Sehingga, mahasiswa ini diharapkan mampu menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya akan  menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Mahasiswa sebagai insan akademis yang selalu berpikir ilmiah dalam mencari kebenaran haruslah mampu menjadi “role model” dalam berpolitik dan kepemimpinan.

Ketiga, Mahasiswa merupakan “Guardian of Value”, artinya mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Nilai yang harus dijaga tersebut adalah suatu kebenaran yang bersifat mutlak, dan tidak ada keraguan lagi di dalamnya. Nilai itu bukanlah hasil dari pragmatisme politik, kerakusan hati yang kotor maupun siasat jahat, nilai itu haruslah bersumber dari suatu dzat yang Maha Benar dan Maha Mengetahui.

Sehubungan dengan ini, Soe Hok Gie pernah mengingatkan, “hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. tetapi aku memilih untuk mardeka”. Begitulah seharusnya mahasiswa, mampu berdiri sendiri dalam posisi tawar, tidak mempunyai kepentingan dan menguntungkan diri sendiri, tetapi tetap jeli dan kritis pada politik.

Dengan demikian, Kaum Intelektual senantiasa dituntut untuk mampu tanggap dalam menyikapi situasi kebangsaan, terutama atas situasi akhir-akhir ini yang rawan potensi konflik dan disintegrasi. Intelektual sejatinya senantiasa memiliki visi untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik, dan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan kelompoknya sendiri, apalagi sekadar material reward (keuntungan materi). Karenanya, komitmen kebangsaan adalah sikap yang harus dipegang teguh secara konsisten oleh para kaum intlektual saat ini.

Ungkapan kaum intelektual sebagai “agent of change” yang mampu membawa bangsa Indonesia ke budaya politik beradab bukanlah sebuah hal yang utopis. Sejarah peradaban dunia ini telah membuktikan bahwa, di tangan kaum intlektual lah perubahan-perubahan besar terjadi. Dari zaman Nabi, zaman sahabat, zaman kerajaan, zaman kemerdekaan hingga reformasi, pemudalah yang selalu menjadi garda terdepan dalam setiap perubahan kondisi bangsa ini.

DADAN RIZWAN
Mahasiswa PKn Pascasarjana UPI

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI