Mentari Ramadan menyinari kota, membawa kedamaian dan ketenangan. Namun, di tengah suasana khusyuk ini, riak-riak gelombang fitnah mulai mengusik.
Kabar angin berhembus kencang, menuduh Kementerian Agama melakukan tindakan tercela, mencoreng kesucian bulan suci ini. Mengatasnamakan “mahasiswa”, justru mencoreng nama mahasiswa sebagai kaum terpelajar.
Dengan semangat membara, mereka turun ke jalan, menyuarakan kebenaran. Bukan untuk membela atau menyerang, melainkan hanya berdasar pada “fakta” belaka, mengurai benang kusut fitnah yang menyesatkan.
Sejarah mencatat, fitnah bukanlah hal baru dalam peradaban Islam. Bahkan di masa Rasulullah SAW, fitnah pernah muncul, menguji kesabaran dan keimanan umat.
Namun, dengan kebijaksanaan dan ketegasan, Rasulullah SAW berhasil meredam fitnah, menjaga persatuan umat.
Kini, di era modern, fitnah bermetamorfosis menjadi informasi palsu yang beredar cepat di media sosial. Mahasiswa, dengan kecerdasan dan akses informasi yang luas, berperan penting dalam menyaring informasi, membedakan antara fakta dan fitnah.
Mereka tidak hanya berdemo, tetapi juga aktif mengedukasi masyarakat, memberikan pemahaman yang benar tentang isu yang beredar. Mereka mengadakan diskusi, seminar, dan kampanye di media sosial, mengajak masyarakat untuk berpikir kritis dan tidak mudah percaya pada informasi yang belum terverifikasi.
Di tengah Ramadan yang penuh ujian ini, mahasiswa menunjukkan bahwa mereka tidak hanya peduli pada isu politik, tetapi juga pada nilai-nilai agama dan moral.
Mereka berusaha menjaga kesucian Ramadan dari segala bentuk fitnah, agar umat Islam dapat menjalankan ibadah dengan tenang dan khusyuk.
Baca juga: Refleksi Mahasiswa di Penghujung Ramadan: Antara Ibadah dan Tugas Tengah Semester
Aksi mahasiswa kini, bukan lagi sekadar demonstrasi, melainkan panggilan jiwa untuk menjaga kebenaran dan keadilan. Mereka dapat bergiat melalui pelbagai cara.
Mereka adalah harapan bangsa, generasi penerus yang memiliki integritas dan kepedulian tinggi terhadap agama dan masyarakat.
Ramadan tahun ini dapat menjadi momentum bagi kita semua untuk lebih bijak dalam menyikapi informasi, menjauhi fitnah, dan menjaga persatuan umat.
Mahasiswa, dengan semangat mereka, telah memberikan contoh nyata tentang bagaimana menjaga kesucian Ramadan di tengah badai fitnah.
Mahasiswa dan Kaum yang Berpijak pada Ilmu Pengetahuan
Di tengah arus informasi yang deras, mahasiswa dan kaum terpelajar memiliki peran krusial dalam menjaga akal sehat masyarakat. Bukan dengan dugaan apalagi fitnah, melainkan dengan ilmu pengetahuan sebagai landasan utama. Narasi yang dibangun atas dasar emosi dan prasangka hanya akan memperkeruh suasana, menjauhkan kita dari solusi yang konstruktif.
Sejarah mencatat, peradaban besar dibangun oleh kaum yang mengedepankan rasionalitas. Ilmu pengetahuan menjadi kompas, menuntun langkah menuju kemajuan. Di era disrupsi ini, tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Namun, dengan berbekal ilmu pengetahuan, kita mampu mengurai benang kusut permasalahan, menemukan solusi yang tepat sasaran.
Baca juga: Mahasiswa dan Momen Akhir Ramadan: Menjalin Bakti Kepada Orang Tua
Mahasiswa, sebagai agen perubahan, memiliki tanggung jawab besar dalam menyebarkan semangat ilmiah. Bukan dengan aksi-aksi provokatif, melainkan dengan diskusi-diskusi yang konstruktif, penelitian-penelitian yang mendalam, dan karya-karya yang inovatif. Mereka adalah harapan bangsa, generasi penerus yang mampu membawa perubahan positif.
Kaum terpelajar, dengan segala keilmuan yang dimiliki, juga memiliki peran penting dalam mencerdaskan masyarakat. Mereka adalah sumber informasi yang terpercaya, penyeimbang narasi-narasi yang menyesatkan. Dengan bahasa yang lugas dan argumentasi yang kuat, mereka mampu meluruskan informasi yang simpang siur, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat.
Namun, di era media sosial ini, tantangan semakin besar. Informasi palsu dan ujaran kebencian menyebar dengan cepat, meracuni pikiran masyarakat. Di sinilah peran penting mahasiswa dan kaum terpelajar. Mereka harus menjadi garda terdepan dalam melawan hoaks, mengedukasi masyarakat tentang pentingnya literasi digital, dan mendorong terciptanya ruang publik yang sehat.
Kita harus ingat, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Namun, perbedaan tersebut harus didasarkan pada argumentasi yang rasional, bukan pada fitnah dan ujaran kebencian. Mari kita bangun budaya diskusi yang sehat, di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapat, namun tetap menghormati perbedaan.
Baca juga: Ramadan di Perantauan: Menahan Rindu, Menanti Mudik Lebaran
Mahasiswa dan kaum terpelajar, dengan ilmu pengetahuan sebagai senjata, mari kita jaga akal sehat bangsa. Mari kita lawan fitnah dan hoaks dengan fakta dan data. Mari kita bangun Indonesia yang cerdas dan beradab.
Semoga opini ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua, terutama bagi mahasiswa dan kaum terpelajar, untuk selalu mengedepankan ilmu pengetahuan dalam setiap langkah dan tindakan.
Penulis: Ismail Suardi Wekke
Cendekiawan Muslim Indonesia
Editor: Redaksi Media Mahasiswa Indonesia
Ikuti berita terbaru di Google News