Kecanggihan AI dan Ancaman terhadap Keaslian Seni
Di tengah derasnya kemajuan teknologi dan kecepatan arus digital, masyarakat modern semakin terbiasa dengan segala sesuatu yang instan. Konten visual menjadi salah satu bagian paling cepat dikonsumsi, disukai, dan dibagikan.
Kini, kita tidak lagi harus menjadi seniman profesional atau belajar bertahun-tahun untuk bisa menghasilkan gambar yang estetik dan “layak unggah”. Cukup dengan mengetikkan perintah atau mengunggah foto ke program berbasis AI, siapa pun bisa mendapatkan ilustrasi bergaya profesional dalam hitungan detik.
Salah satu tren terbaru yang mencuat adalah gambar-gambar bergaya Studio Ghibli yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan. Gaya Ghibli, yang dikenal dengan warna lembut, latar yang magis, dan suasana nostalgia, kini seolah bisa diproduksi massal oleh siapa saja dengan bantuan teknologi.
Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kecanggihan teknologi modern, tetapi juga menyingkap sisi gelap dari penggunaan AI dalam dunia seni. Studio Ghibli, yang selama ini dikenal dengan karya-karyanya yang menyentuh hati dan penuh makna, bukan sekadar rumah produksi animasi biasa.
Di balik setiap filmnya, tersimpan filosofi hidup, kritik sosial, hingga pesan-pesan spiritual yang dalam. Hayao Miyazaki, sang pendiri, selalu menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dan emosi sebagai inti dari setiap karya.
Ketika AI mulai meniru gaya visual Ghibli tanpa izin dan tanpa jiwa, kita dihadapkan pada dilema besar: apakah kita masih peduli pada makna sebuah karya seni, atau kita hanya tertarik pada tampilannya semata?
Perspektif Hayao Miyazaki dan Nilai Filosofis Ghibli
Studio Ghibli adalah salah satu studio animasi paling ikonik di dunia, dikenal karena karya-karya animasinya yang memukau secara visual dan emosional. Berdiri pada tahun 1985 di Tokyo, Jepang, Studio Ghibli telah menghasilkan sejumlah film animasi yang tidak hanya sukses secara komersial, tetapi juga diakui secara kritis di seluruh dunia.
Ciri khas dari film-film Ghibli adalah kedalaman cerita, penggambaran karakter yang kuat, dan perhatian luar biasa terhadap detail latar serta dunia fantasi yang dibangun.
Baca Juga: Tenggelamnya Mahasiswa dalam AI
Beberapa karya terkenalnya antara lain My Neighbor Totoro, Spirited Away, Princess Mononoke, dan Howl’s Moving Castle. Tidak seperti banyak studio animasi lain, Ghibli sering mengeksplorasi tema yang lebih kompleks seperti lingkungan, perang, identitas, dan hubungan manusia dengan alam.
Studio ini didirikan oleh dua sutradara legendaris, Hayao Miyazaki dan Isao Takahata, bersama dengan produser Toshio Suzuki. Miyazaki adalah sosok yang paling dikenal dari trio pendiri tersebut, dengan gaya penyutradaraan dan ilustrasi khas yang memadukan imajinasi tinggi dengan pesan moral yang kuat.
Ia dikenal sebagai seorang perfeksionis dan seniman sejati yang selalu terlibat dalam setiap detail proses produksi film, mulai dari cerita hingga storyboard. Takahata, di sisi lain, membawa pendekatan yang lebih eksperimental dan realistis terhadap animasi.
Filmnya seperti Grave of the Fireflies menunjukkan sisi kelam kehidupan manusia dengan gaya naratif yang lembut namun menghantam. Kombinasi antara visi artistik Miyazaki dan Takahata serta dukungan manajerial dari Suzuki menciptakan fondasi kuat bagi kesuksesan Studio Ghibli.
Kesuksesan Studio Ghibli tidak hanya terletak pada kualitas teknis dan artistik, tetapi juga pada kemampuannya menyentuh hati penontonnya. Banyak film Ghibli yang mengangkat tokoh perempuan muda yang kuat dan mandiri, mencerminkan pandangan progresif tentang gender dalam cerita anak-anak.
Selain itu, pesan-pesan filosofis yang terkandung dalam film-film mereka sering kali tidak disampaikan secara langsung, tetapi diselipkan secara halus dalam simbol, dialog, dan suasana.
Studio Ghibli juga dikenal karena konsistensinya menolak pendekatan industri Hollywood, lebih memilih untuk mempertahankan independensi kreatif mereka dan menghindari eksploitasi teknologi digital secara berlebihan.
Hal ini menjadikan karya-karya mereka memiliki sentuhan khas yang hangat dan manusiawi, membedakannya dari film animasi lain di dunia.
Baca Juga: Dapatkah Robot atau Kecerdasan Buatan Menggantikan Seniman dalam Menciptakan Karya Seni?
Etika, Hak Cipta, dan Krisis Apresiasi terhadap Seniman
Namun belakangan ini, dunia maya dipenuhi dengan gambar-gambar indah bergaya Studio Ghibli. Awal mulanya dari satu akun TikTok yang mengunggah hasil AI Ghibli entah itu mulai dari pemandangan kota, foto-foto liburan, bahkan selfie orang-orang diubah menjadi ilustrasi seperti film “Spirited Away” atau “My Neighbor Totoro”.
Yang bikin heboh, gambar-gambar itu bukan dibuat oleh seniman manusia, tapi oleh kecerdasan buatan (AI). Bahkan ada orang-orang yang sekarang mulai membuka jasa untuk mengedit foto menjadi gaya Ghibli dengan bantuan AI. Sekilas terlihat keren dan menghibur, tapi di balik tren ini, ada masalah besar yang patut kita renungkan.
Masalahnya bukan hanya soal teknologi canggih yang bisa meniru gaya gambar Studio Ghibli. Masalahnya lebih dalam dari itu. Hayao Miyazaki, pendiri dan otak kreatif di balik Studio Ghibli, sudah sejak lama menolak keras penggunaan AI dalam seni.
Dalam salah satu wawancaranya yang viral, Miyazaki berkata bahwa seni yang dibuat AI terasa tidak manusiawi. Menurutnya, karya seni seharusnya datang dari pengalaman, emosi, dan jiwa manusia. Baginya, seni bukan sekadar gambar indah, tapi sebuah cermin dari kehidupan dan perasaan manusia.
Jadi, bisa dibayangkan betapa kecewanya beliau saat melihat karya-karya yang ia perjuangkan bertahun-tahun dengan sepenuh hati, kini ditiru oleh mesin hanya dalam hitungan detik. Hayao Miyazaki juga menambahkan bahwa ini adalah penghinaan terhadap seni pada AI.
Yang lebih memprihatinkan lagi, ada orang-orang yang memanfaatkan tren ini untuk mencari keuntungan. Mereka menjual jasa edit foto menjadi gaya Ghibli padahal hasilnya dibuat oleh AI.
Ini menimbulkan banyak pertanyaan: apakah ini etis? Apakah ini adil bagi para seniman yang belajar bertahun-tahun untuk bisa menggambar dengan gaya tertentu? Apakah kita masih menghargai proses kreatif manusia, atau kita lebih mementingkan hasil yang cepat dan murah dari mesin?
Keunikan seni Ghibli terletak pada kemampuan visualnya yang tidak hanya memanjakan mata, tapi juga menyentuh batin. Setiap filmnya dirancang dengan komposisi warna yang penuh makna, pencahayaan yang lembut, dan latar yang tidak hanya menjadi tempat berlangsungnya cerita, tapi menjadi karakter itu sendiri.
Alam, hujan, angin, dan cahaya matahari sering kali tampil sebagai elemen yang hidup bukan sekadar latar mati. Inilah seni yang meresapi nilai-nilai Jepang tentang keharmonisan antara manusia dan alam. Gaya visual seperti ini bukan sekadar “gaya gambar”, melainkan representasi dari filosofi hidup yang mendalam.
Ketika AI hanya meniru gaya luarnya saja tanpa memahami konteks, nilai, dan semangat di baliknya, maka yang muncul hanyalah tiruan kosong yang kehilangan jiwa.
Di sisi lain, Hayao Miyazaki sendiri dikenal sangat teliti dalam menyusun narasi visual. Ia sering kali menghindari penjelasan verbal berlebihan, dan lebih memilih membiarkan gambar yang “berbicara”.
Baca Juga: Menyelamatkan Industri Kreatif: Urgensi Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Era Digital
Adegan-adegan sunyi dalam film-film Ghibli seperti karakter yang duduk sendiri menatap pemandangan atau berjalan menyusuri hutan tanpa dialog adalah momen kontemplatif yang penuh makna.
Unsur-unsur ini sulit ditiru oleh AI karena tidak bersumber dari algoritma, melainkan dari sensitivitas manusia terhadap emosi, kesunyian, dan waktu. Seni semacam ini lahir dari kepekaan yang dilatih, dari pandangan hidup yang matang, dan dari proses kreatif yang sangat manusiawi.
AI bisa meniru bentuknya, tetapi tidak bisa memahami kedalamannya. Dalam dunia seni, setiap goresan punya makna. Setiap detail dalam gambar punya cerita. Ketika AI meniru gaya Ghibli, yang diambil hanyalah tampilan luarnya – warna yang lembut, latar yang magis, dan karakter yang imut.
Tapi jiwa dari karya itu tidak ada. Tidak ada cerita personal. Tidak ada pergulatan batin seniman. Tidak ada rasa. Semua hanya hasil dari perintah singkat seperti “ubah foto ini jadi gaya Ghibli.”
Beberapa orang mungkin berpikir, “Lho, ini kan hanya hiburan. Bukan masalah besar.” Tapi kalau kita membiarkan ini terus terjadi, lama-lama seni bisa kehilangan maknanya. Bayangkan jika semua karya seni di masa depan hanya dibuat oleh AI.
Apakah kita masih bisa merasakan emosi yang sama saat menonton film, membaca komik, atau melihat lukisan? Atau semuanya jadi terasa hambar karena tidak lagi dibuat dari hati? Lebih dari itu, masalah ini juga menyangkut hak cipta. Gaya gambar Studio Ghibli bukan gaya sembarangan.
Itu adalah ciri khas yang dibangun Miyazaki dan timnya selama puluhan tahun. Meniru gaya itu tanpa izin adalah bentuk pelanggaran, meskipun tidak secara langsung menjiplak karakter atau cerita.
Sama seperti kita tidak bisa menjual produk dengan logo Nike palsu, kita juga seharusnya tidak bisa menjual jasa dengan gaya Ghibli yang ditiru tanpa izin. Bahkan sutradara dari One Piece ngamuk dan meminta Hayo Miyazaki untuk mengambil tindakan hukum.
Masalah ini juga memperlihatkan bagaimana sebagian masyarakat mulai mengaburkan batas antara “inspirasi” dan “eksploitasi”. Mengagumi gaya visual Studio Ghibli adalah hal yang wajar banyak seniman muda yang belajar menggambar karena terinspirasi film-film Miyazaki.
Namun, saat teknologi digunakan untuk meniru secara langsung dan menghasilkan produk komersial darinya tanpa izin atau penghargaan pada pencipta asli, maka itu bukan lagi bentuk penghormatan. Itu adalah bentuk pemanfaatan yang tidak etis, apalagi jika dilakukan demi keuntungan pribadi atau sekadar popularitas viral semata.
Lebih ironis lagi, para pengguna AI justru mulai merasa bahwa mereka adalah seniman. Padahal, hanya karena seseorang tahu cara menggunakan alat, tidak serta-merta ia bisa disebut pencipta karya seni. Seni adalah tentang pilihan yang sadar tentang narasi, emosi, dan teknik yang tumbuh dari pengalaman hidup.
AI tidak memiliki pengalaman itu. Ia hanya mengolah data dari karya yang telah ada. Maka, sangat penting untuk membedakan antara “hasil visual” dan “karya seni” agar kita tidak salah menempatkan apresiasi.
Jika kita tidak segera menyadari pentingnya menjaga nilai-nilai orisinalitas dan penghargaan terhadap seniman, maka dunia seni bisa terjebak dalam krisis identitas.
Anak-anak muda yang bercita-cita menjadi animator atau ilustrator mungkin akan kehilangan semangat karena melihat bahwa kerja keras bertahun-tahun bisa digantikan oleh klik tombol dalam satu aplikasi. Dunia seni bukan hanya tentang visual yang viral, tapi tentang perjalanan manusia yang menjadikannya bernilai.
Dan itu adalah sesuatu yang tidak pernah bisa digantikan oleh teknologi kita memang tidak bisa menghentikan perkembangan teknologi. AI akan terus berkembang, dan akan semakin canggih ke depannya. Tapi kita masih punya kendali untuk menentukan bagaimana kita menggunakannya.
Kita bisa memilih untuk menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti manusia. Kita bisa mendorong teknologi untuk mendukung seniman, bukan menggantikan mereka. Kita juga bisa mulai lebih sadar sebagai masyarakat. Jangan mudah terpesona dengan hasil instan. Belajarlah menghargai proses, bukan hanya hasil.
Apresiasi karya seniman manusia yang dibuat dengan susah payah, bukan hanya karena tampilannya keren di media sosial. Dan yang paling penting, jangan biarkan mesin mengambil alih sesuatu yang seharusnya datang dari hati.
Seni bukan soal apa yang tampak indah di layar, tetapi tentang cerita, makna, dan jiwa yang tersembunyi di baliknya. Dan itu, tidak bisa dibuat oleh AI.
Penulis: Nafa Syahwa Salzabila
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News